Kamis, 16 Mei 2013

Dinasti Demokrat dan Anarki Famili


Dinasti Demokrat dan Anarki Famili
Donny Syofyan Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
TEMPO.CO, 15 Mei 2013

Partai Demokrat tercatat sebagai partai yang paling banyak mencalonkan anggota keluarga sebagai bakal calon anggota legislatif dalam Pemilu 2014. Demokrat disebut sebagai partai yang menerapkan politik dinasti. Daftar Calon Sementara (DCS) yang didapat dari Komisi Pemilihan Umum, Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) menyatakan, setidaknya ada 13 nama calon legislator yang memiliki kedekatan dengan keluarga Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan delapan orang merupakan teman SBY. Sementara itu, tiga orang merupakan teman dari Ani Yudhoyono.

Kubu Demokrat tentu tidak sedang testing the water publik Indonesia, melainkan dengan sadar menyuarakan agenda tersendiri untuk memasang kuda-kuda menyongsong Pemilu 2014 yang menjelang. Politik dinasti ternyata telah mewujud sebagai self-fulfilling prophecy (nubuat yang terpenuhi dengan sendirinya) dalam lanskap perpolitikan Tanah Air ke depan. Saya mencermati bahwa eskalasi politik dinasti dan nepotisme di kubu Demokrat tak bisa dilepaskan dari sejumlah isu enigmatis berikut ini.

Pertama, gagalnya regenerasi politik di tubuh Partai Demokrat. Partainya Presiden SBY ini benar-benar memahami bahwa mereka tidak lagi memiliki politikus muda sebagai calon presiden dan anggota legislatif. Tak terhitung skandal yang menimpa tokoh partai muda—Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, atau Angelina Sondakh—yang mengulangi penyakit politikus senior dalam hal korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Mentalitas jalan pintas (shortcut mentality) yang ditempuh oleh politikus muda Demokrat telah mendorong mereka menghalalkan segala macam cara demi tujuan politik jangka pendek. Mentalitas demikian lagi-lagi terletak pada kegagalan partai dalam melakukan proses perekrutan yang tepat dan identifikasi talenta secara profesional.

Beranjak dari kegagalan tersebut, pilihan Demokrat untuk mencalonkan figur-figur yang dekat dan dikenal oleh pusaran kekuasaan merupakan upaya untuk menegakkan soliditas di atas dinamika. Pertimbangan soliditas partai fungsional untuk mempertahankan kelangsungan dan mengamankan harmoni partai di masa yang akan datang. Orang-orang dekat SBY atau Ani Yudhoyono dianggap mampu menjamin comfort zone kubu Demokrat.

Terjadinya peningkatan calon legislator politik dinasti keluarga dan kolega SBY bisa mendatangkan radikalisme struktural secara politis. Mereka dapat menghapus larangan terhadap tren politik dinasti. Mereka dapat menghapus batasan masa jabatan anggota parlemen. Mereka bisa saja menghilangkan batasan untuk gaji anggota parlemen dan kabinet pemerintahan. Mereka juga berpeluang mendesak peralihan sistem pemerintahan menuju gaya parlementer, yang jauh lebih buruk dibanding sistem presidensial sekarang terlepas dari segenap kekurangannya.

Kedua, terjadinya pelemahan tren sentrifugal dalam lanskap politik Tanah Air. Mendekati Pemilu 2014, menyisakan potret politik buram, karena para eksekutif Partai Demokrat tidak siap membuka pintu bagi orang luar demi mencari sumber daya manusia terbaik. Politikus Demokrat terlihat keberatan menerima anggota non-partai dan aliansi politik dibatasi hanya untuk kepentingan jangka pendek dan pragmatis. Sebagian berpendapat bahwa nepotisme adalah praktek umum di negara-negara demokratis dan non-demokratis; ayah dan anak terpilih sebagai presiden (AS, Korea Utara), perdana menteri (Singapura), atau suami, istri, dan sekarang anak (Filipina). Korea Utara adalah sebuah pengecualian. Perbandingan ini bukan hanya tidak tepat, tapi juga berlebihan karena masyarakat tidak bisa mengidentifikasi kiprah figur-figur yang dekat dengan pusaran sentral Demokrat jauh sebelumnya.

Dalam skenario terburuk, potret politik yang demikian bakal memperkuat zero-sum game di negeri ini, yakni benefit yang dinikmati para politikus paralel dengan kerugian para pemilih. Negara ini tidak akan pernah menghasilkan negarawan, mengingat membeludaknya kekuatan politikus busuk berbasiskan nasab. Kekuatan sentrifugal politik yang ditandai oleh keinginan kuat untuk merangkul pikiran dan talenta terbaik alih-alih membela orang dekat penguasa adalah ciri utama seorang negarawan. Dalam pelbagai pemilu legislatif di daerah, terbukti bahwa politik dinasti telah menyediakan akses yang luas ke sumber daya publik untuk mendukung kepentingan partai dan melemahkan pemerintah lokal. Para anggota legislatif ini berupaya menarik para pengikut mereka untuk tetap setia kepada patronase pemerintah yang telah terjinakkan. Setelah mengepung kekuatan pemerintah, mereka mulai merampas hak-hak rakyat dengan melakukan korupsi, penipuan, kekerasan, pembelian suara, dan intimidasi.

Ketiga, terjadinya marginalisasi kaum intelektual di arena politik secara sehat. Tidak berlebihan bahwa intelektual belum sepenuhnya diberi kepercayaan politik utuh untuk mengarahkan perubahan politik bangsa. Intelektual-birokrat sukses, seperti Sri Mulyani Indrawati atau Anies Baswedan, atau politikus pemberani dengan kepemimpinan yang kuat, semisal Jusuf Kalla, perlu diberi kepercayaan untuk memegang kekuasaan dan memimpin negeri ini. Ini krusial guna memutus kekuasaan berbasis oligarki menuju kekuasaan berorientasikan layanan dan intelektualitas.

Memberikan mandat politik dan kepercayaan kepada para pemimpin hebat dengan kepemimpinan intelektual yang kuat serta jejak rekam yang telah terbukti secara signifikan akan mempercepat reformasi di berbagai sektor. Sri Mulyani dan Jusuf Kalla memenuhi harapan publik akan figur pemimpin ideal. Sementara SMI diakui sebagai tokoh paling penting dalam reformasi birokrasi di Indonesia, JK terkenal karena keberaniannya melahirkan keputusan-keputusan strategis meskipun tidak populer.

Kegamangan Demokrat untuk mempromosikan kaum politikus-cendekiawan akan berdampak pada memuainya jumlah politikus busuk di parlemen. Ini mendapatkan legitimasinya di tengah biaya pemilu yang kian meningkat di banyak daerah, kecuali di kawasan industri, di mana banyak warga kelas menengah berkontribusi pada kampanye calon partai pilihan mereka. Selain itu, negara mendukung parpol melalui subsidi. Sungguh disayangkan mayoritas kelas menengah kita tidak cukup memadai, mendalam, dan efektif sebagai kekuatan pengimbang terhadap kemapanan politik meskipun banyak warga kelas menengah menjadi jauh lebih tegas. Kebanyakan politisi menggunakan kekuasaan dan pengaruh yang mereka miliki untuk mengalihkan dana publik demi kepentingan pribadi melalui politik gentong babi (pork-barrel) yang boros.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar