|
KOMPAS, 24 Mei 2013
Pembakaran
tiga mapolsek di Musi Rawas, Sumatera Selatan (Kompas, 30/4), yang menewaskan
empat warga menambah panjang daftar amuk massa warga terhadap institusi
kenegaraan kita.
Vandalisme
massa itu melengkapi hal serupa yang terjadi pada kuartal pertama tahun ini:
penyerangan Mapolres Langkat, Sumatera Utara (22/1); Mapolres Baturaja, OKU,
Sumatera Selatan (7/3); penembakan narapidana di Sleman, Yogyakarta (23/3);
penyerangan polsek di Kecamatan Barumun Tengah, Padang Lawas, Sumatera Utara
(23/3); dan pengeroyokan terhadap Kapolsek Dolok Pardamean, Simalungun,
Sumatera Utara (27/3). Pertanyaannya, ada apa di balik itu semua? Mengapa
terjadi penyerangan atas institusi negara?
Jika
ditilik secara jernih, pasti ada sesuatu yang salah di balik fungsi-fungsi pranata
negara kita. Hanya ada satu solusi untuk mengatasi itu semua, yakni merestorasi
fungsi dan kinerja lembaga negara ke arah lebih baik dan produktif. Sebab, awal
dan muara vandalisme massa persis terletak di sini: terjadinya disparitas,
kesenjangan atau missing link antara lembaga-lembaga tersebut dan rakyat. Di
sinilah malafungsi lembaga-lembaga negara terjadi dan berujung pada resistansi
di kalangan masyarakat.
Ketidakpercayaan publik
Dalam
struktur negara modern, lembaga-lembaga negara seharusnya memainkan peran
sebagai alat pemenuhan kebutuhan publik (public
service delivery) demi terwujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera,
aman, dan sentosa lahir-batin (Denhardt & Denhardt, 2000). Posisi
lembaga-lembaga negara tidak lebih tinggi dari warga negara. Namun, perubahan
paradigmatik semacam ini belum sepenuhnya disadari para pengambil kebijakan di
republik ini. Yang terjadi justru sebaliknya. Rasa keadilan, kesejahteraan,
jaminan keselamatan, rasa aman, dan kesehatan menjadi urusan pribadi masing-masing
warga. Masyarakat seakan dibiarkan mengurusi nasibnya sendiri.
Tidak
bisa dimungkiri, panggung politik dan birokrasi kita masih dipenuhi para
demagog dan pemburu rente yang haus kekuasaan, jabatan, dan segala bentuk
kenyamanan hedonis. Bagi mereka, posisi politik dan birokrasi adalah zona
nyaman (comfort zone). Mereka akan
mempertahankannya hingga titik darah penghabisan jika ada yang mengusiknya.
Sayangnya, begitu sudah berada di zona tersebut, mereka tak mau tahu nasib
rakyat banyak yang seharusnya menjadi target layanan mereka. Sekalipun zaman
sudah berubah, mentalitas dan nalar politik-birokrasi kita masih tetap sama:
memimpin untuk menguasai dan dilayani, bukan untuk berbagi dan melayani.
Jika
melihat hierarki peraturan perundangan, pelayanan publik merupakan bidang
garapan institusi pemerintah/negara yang telah diamanatkan UUD 1945 dan UU
Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Pasal 15 poin (e) menegaskan,
penyelenggara (baca: lembaga pemerintahan/negara) berkewajiban ”memberikan
pelayanan yang berkualitas sesuai dengan asas penyelenggaraan pelayanan
publik”. Pasal 18 poin (i) menyatakan, masyarakat berhak ”mendapat pelayanan
yang berkualitas sesuai dengan asas dan tujuan pelayanan”.
Yang
menjadi persoalan ternyata rumusan indah di UU tersebut tak seindah kenyataan
di lapangan. Memang, pada kurun tiga tahun terakhir terjadi peningkatan
pelayanan pada sektor publik. Namun, sejumlah instansi dengan reputasi
pelayanan rendah sulit untuk keluar dari citra negatif akibat rekam jejak jelek
pada masa lalu. Akibatnya, muncul gejala ketidakpercayaan (distrust) masif di kalangan warga terhadap sejumlah lembaga yang
dicitrakan negatif tersebut. Dalam konteks ini, kepolisian merupakan lembaga
yang paling banyak disorot warga terkait dengan reputasi negatifnya.
Fenomena
ketidakpercayaan publik atas lembaga kepolisian tidak boleh ditanggapi dingin
lembaga-lembaga publik yang lain, terutama partai politik, DPR, dan lembaga
peradilan. Lembaga-lembaga inilah yang masih memiliki citra negatif di mata
masyarakat. Resistansi dan perlawanan massa terhadap lembaga-lembaga ini
hanyalah soal waktu jika tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi fungsi
publik mereka.
Menggejalanya
fenomena ketidakpercayaan di kalangan masyarakat terhadap pranata kelembagaan
negara harus disikapi serius oleh pihak-pihak terkait. Hal tersebut
menyangkut kewibawaan institusi negara dalam mengeksekusi sebuah
kebijakan. Institusi yang tidak berwibawa akan berdampak pada munculnya
apatisme masyarakat terhadap segala kebijakan negara. Bahkan, lebih jauh
lagi institusi yang tidak berwibawa dapat menimbulkan resistansi dan
pembangkangan warga atas seluruh kebijakan yang dihasilkannya (Russell Hardin,
1999: 28).
Dalam
tingkatan yang ekstrem, fenomena ketidakpercayaan yang membuncah menjadi
apatisme politik dan pembangkangan massal dapat mengantarkan kepada negara
gagal (failed state). Sejauh ini
memang belum ada tanda-tanda ke arah sana. Namun, kesalahan sekecil apa pun
dalam memberikan pelayanan publik tidak boleh ditoleransi. Sebab, hal ini bisa berakumulasi
pada robohnya pranata/institusi negara kita. Dalam kondisi semacam ini, negara
dapat dikatakan gagal menjalankan fungsinya.
Membalik
piramida layanan
Untuk
mengantisipasi munculnya negara gagal, sudah saatnya pranata negara memahami
paradigma baru pelayanan publik sebagaimana diamanatkan UUD 1945 dan UU No 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Paradigma ini sejatinya menempatkan
masyarakat sebagai target utama dari seluruh rangkaian pelayanan publiknya.
Ketepatan, kecermatan, dan akurasi pelayanan publik menjadi sesuatu yang tidak
bisa ditawar-tawar dalam mengidentifikasi kebutuhan dan kepuasan pengguna
layanan. Oleh karena itu, setiap kebijakan negara harus berpijak pada
penelitian serius (research-based),
bukan sebatas imajinasi fiktif para elite politik dan birokrasi tentang
kepentingan umum (public good).
Dalam
praksisnya, perubahan paradigma layanan ini harus diterjemahkan melalui
pembalikan piramida layanan politik-birokrasi. Jika selama ini rakyat menempati
lapisan terbawah dan kaum elite politik-birokrasi menempati lapisan teratas
dari struktur piramida layanan, kondisi ini harus dibalik. Rakyat harus
ditempatkan di atas dan politisi-birokrat di bawah sebagai pelayan dan
penyangga eksistensi masyarakat. Dalam konstruksi negara modern, semua
institusi negara harus ditempatkan sebagai pengurai masalah, bukan menjadi
bagian dari masalah itu sendiri, yang mendistribusikan seluruh bentuk state of
well-being seperti keadilan, kesejahteraan, kemakmuran, dan jaminan rasa aman
kepada setiap warga negara. Hanya dengan cara seperti itu, eksistensi pranata
negara dapat diselamatkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar