Jumat, 24 Mei 2013

Konglomerasi BUMN


Konglomerasi BUMN
Beni Sindhunata ;  Direktur INBRA
KOMPAS, 24 Mei 2013


Menteri Badan Usaha Milik Negara pada 19 April lalu menyatakan, BUMN siap dan mampu menguasai ekonomi nasional dan mengalahkan konglomerasi swasta.

Menteri yang juga pemilik konglomerasi swasta ini menilai kondisi demikian kurang bagus. Sebaiknya ada keseimbangan antara kekuatan konglomerasi BUMN dan konglomerasi swasta, yang pernah dominan sebelum krisis ekonomi moneter 15 tahun lalu. Dalam konteks perekonomian nasional, eksistensi BUMN itu belum sepenuhnya tepat dan maksimal. Kolom ini ingin menambah beberapa catatan, termasuk aspek sosial ekonomi.

Enam hal

Pertama, memang fakta tak terbantahkan bahwa konglomerasi BUMN yang kini beraset hampir Rp 3.000 triliun sudah menjadi kekuatan ekonomi nasional dan sanggup menguasai kue ekonomi nasional. Namun, dengan penghasilan yang hampir setengah asetnya, perlu ditelusuri dahulu berapa besar yang berasal dari hasil ekspor dan menghasilkan devisa bagi negara.

Devisa nirmigas mayoritas berasal dari konglomerasi swasta (pertambangan, perkebunan, dan produk manufaktur). Besarnya rasio ekspor (kontribusi devisa ekspor terhadap total pendapatan) jadi tolok ukur menilai kemampuannya menembus pasar global (tak hanya jago kandang).

Kedua, kontribusinya dalam ekspor masih kecil. Survei INBRA terhadap 100 perusahaan manufaktur berpenghasilan minimal Rp 2 triliun (posisi 2010) menunjukkan, ada 54 eksportir dengan perolehan devisa Rp 188 triliun. Ternyata, delapan di antaranya BUMN peraih devisa Rp 37 triliun, 19,8 persen total ekspor 100 Industri Top.

Tentu terjadi perubahan dalam tiga tahun terakhir yang diperkirakan tak signifikan. Ini hanya contoh kecil bahwa kontribusinya dalam ekspor masih kecil, masih bergantung pada pasar domestik, dan mendominasi sektor perbankan serta jasa keuangan. Makin besar rasio ekspor, makin kuat posisinya di pasar global.

Ketiga, program globalisasi BUMN dengan semangat BUMN Inc yang aktif dikembangkan tiga tahun terakhir ini harus membuktikannya BUMN bisa menjadi kontributor ekspor penting bagi devisa negara, melebihi konglomerasi swasta, perusahaan asing atau usaha patungan. Semangat globalisasi ini menjadi tantangan terbaru bagi manajemen BUMN karena universal dan masih relevan.

Keempat, konglomerasi BUMN yang kuat dan berkinerja baik bisa berdampak positif meredam dan mengurangi kecemburuan sosial akibat ketimpangan penguasaan kue ekonomi. Jika penguasaan kue ekonomi di tangan negara melalui konglomerasinya, itu lebih aman dan lebih mudah mengendalikannya. Sebaliknya, jika konglomerasi swasta lebih dominan dibandingkan dengan konglomerasi BUMN, sejarah kelam 15 tahun silam bisa berulang.

Hal itu praktis akan merusak segala aset yang telah dimiliki ne- gara saat ini. Terlepas apakah itu milik konglomerasi swasta, konglomerasi BUMN, afiliasi MNC, atau aset UKM sekalipun. Karena itu, memperhatikan aspek sosial ekonomi ini, konglomerasi dan dominasi BUMN dalam ekonomi nasional lebih baik dibandingkan dengan konglomerasi swasta, termasuk dengan jaringan MNC.

Kelima, dominasi yang terlalu kuat juga perlu dikendalikan agar tidak mematikan swasta. Sejarah membuktikan, banyak monopolis yang bangkrut dan merugikan publik. Keseimbangan sangat penting agar bisa mengukur sekaligus meningkatkan daya saing. Ciptakan profesionalisme, persaingan bisnis murni, transparan, bebas subsidi, dan peraturan afirmatif lain karena praktik sejenis untuk jangka panjang akan merugikan BUMN sendiri, turunnya daya saing, rugi, dan berakhir bangkrut. Jadi, sindiran global perusahaan pelat merah selalu rugi tak berlebihan.

Dilematis

Data empiris global menunjukkan, konglomerasi BUMN yang terlalu dominan dilematis. Jika dikelola baik, ia bisa menjadi mesin pertumbuhan ekonomi sebagaimana di China, Singapura, atau Brasil. Namun, itu tak bisa lepas dari praktik KKN yang berperan menempatkan China (75), Brasil (73), dan Rusia (43) dalam peringkat Transparency Index (2011). BUMN di tiga negara BRIC ini mendominasi kapitalisasi pasar modal (38 persen di Brasil, 62 persen di Rusia, dan 80 persen di China).

Terakhir, perlu visi yang kuat dan tangguh dari CEO dan mana- jemen BUMN saat ini bahwa mereka sedang memasuki medan perang bisnis global yang jauh lebih keras sehingga harus bersih dan menghindari perilaku genit dengan para pihak yang bisa mengarah pada praktik menyuap atau disuap. Hanya dengan penerapan hukum yang berat dan tegas bagi setiap pelaku KKN atau kejahatan, perusahaan bisa menyehatkan kinerja BUMN. Sukses BUMN China menelan ribuan korban pegawai bank negara sampai industri: masuk penjara karena korupsi. Namun, itu di Beijing, bukan di Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar