|
SUARA
MERDEKA, 20 Mei 2013
SEPERTI koruptor, teroris pun mengalami regenerasi. Bila
dalam korupsi ada Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya, bapak anak yang
sama-sama menjadi terdakwa korupsi proyek pengadaan Alquran di Kementerian
Agama, dalam terorisme ada paman keponakan, Abu Bakar Ba'asyir dan Nu'im
Ba'asyir. Mungkin karena itulah korupsi dan terorisme dikategorikan sebagai extraordinary
crime.
Tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, pada Selasa
(14/5), menangkap Nu'im Ba'asyir alias
Qomasu Muawiyah Arob di rumahnya di
Kelurahan Joyontakan Solo, atas dugaan sebagai teroris. Nuíim konon
keponakan Abu Bakar Ba'asyir, terpidana 15 tahun penjara dalam kasus terorisme.
Nu'im sebelumnya juga aktif di Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu
Bakar Ba'asyir, namun 2 tahun lalu ia keluar.
Nu'im termasuk kelompok Abu Roban yang ditembak mati di
Batang. Dalam penggerebakan Rabu-Kamis-Selasa-Kamis (8, 9, 14, dan
16/5/2013), Densus berhasil menangkap dan menembak 27 terduga teroris kelompok
Abu Roban, seorang di antaranya dilepaskan karena tak terbukti terlibat.
Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
(BNPT) Ansyaad Mbai, sejak 2000 hingga medio Maret 2013, Polri telah menangkap
850 teroris, 60 di antaranya tewas ditembak. Adapun polisi yang menjadi korban
tewas dalam penyergapan teroris mencapai 30 personel.
Ansyaad Mbai di sela-sela diskusi BNPT dengan jurnalis di
Surabaya, pada 21 Maret 2013, mengklaim selain menggunakan pendekatan humanis
ke pelaku teror, aparat juga memberikan bantuan kepada anak dan istri maupun
pelaku teror itu, semisal memfasilitasi pendidikan bagi anak pelaku, memberikan
modal untuk usaha kedai kopi, tambal ban, dan sebagainya. Yang penting,
bagaimana menurunkan tingkat radikalisasi dengan cara humanis.
Bila demikian, mengapa teroris patah tumbuh hilang
berganti, bahkan mengalami regenerasi? Abu Roban misalnya, memiliki ambisi
ingin menyatukan bekas anggota JAT dan gerakan Mujahiddin lain ke dalam
kelompok Mujahiddin Indonesia Barat (MIB) dalam perjuangan menegakkan daulah
Islamiyah di Indonesia, dan menjadikan Indonesia negara Islam.
Para teroris yang tertangkap dan tertembak ini bisa jadi
merupakan regenerasi dari kwartet pelaku Bom Bali I, 12 Oktober 2002, yakni
Imam Samudra, Ali Imron, Mukhlas alias Ali Ghufron, dan Amrozi, meskipun
regenerasi itu tidak selalu harus ada hubungan darah. Bisa jadi pula mereka
pengikut Dr Azahari dan Noor Din M Top, dua tokoh teroris di balik Bom Bali II,
1 Oktober 2005.
Konfirmasi
Testimoni mantan Kapolri Da'i Bachtiar barangkali bisa
menjadi konfirmasi jujur soal kebelumberhasilan Polri mengatasi terorisme yang
lebih mengedepankan langkah represif ketimbang preventif dan persuasif.
Dalam acara dialog Densus 88 yang dipimpin Wakapolri Komjen
Nanan Sukarna dengan pimpinan media massa di Jakarta, Rabu (15/5), Da'i mengaku
tak terlalu happy melihat aksi baku tembak Densus 88 dalam penyergapan teroris.
Dia tahu benar kemampuan satuan elite antiteror tersebut yang dia bangun,
terutama dalam pendekatan intelijen dan persuasi kepada para terduga teroris.
Menurut Da'i, Densus 88 dibangun atas dasar tiga kemampuan
khusus yang tidak melulu represif tetapi juga preventif dan persuasif. Tiga
fondasi kemampuan itu adalah analisis intelijen, investigasi secara ilmiah, dan
upaya penyergapan atau strike and force.
Da'i berkisah tentang pola interograsi yang dilakukannya
dalam pengungkapan kasus teror dengan tersangka Imam Samudra dan Mukhlas.
Ketika itu keduanya enggan buka mulut. Namun setelah berbincang empat mata
dengannya, Da'i mengklaim akhirnya terbuka jati diri dan keterlibatan mereka
dalam aksi Bom Bali I. Menurutnya, Mukhlas saat itu mengapresiasi perlakuan
polisi yang manusiawi dalam penangkapan dirinya, tidak seperti tersangka
teroris lain yang diperlakukan tidak manusiawi. Sekarang, kata Da'i, ucapan
Mukhlas itu terbukti, yakni bila ada ketidakadilan, muslim-muslim lain
disakiti, dan Mukhlas dihukum mati, maka muncul ”Mukhlas-Mukhlas” baru.
Itulah mengapa para teroris patah tumbuh hilang berganti.
Densus 88 dan BNPT seakan-akan lebih mengedepankan upaya represif ketimbang
preventif dan persuasif. Pihak berwenang alpa mencari akar permasalahan mengapa
terorisme tumbuh subur di Indonesia, kemudian menyadarkan mereka yang berisiko
menjadi teroris melalui ajaran dan gerakan deradikalisasi. Ini seperti KPK yang
lebih sibuk melakukan upaya penindakan, sementara upaya pencegahan terabaikan,
sehingga koruptor pun mengalami regenerasi.
Selama ketidakadilan masih merajalela; keadilan berlaku
universal, tak hanya menyangkut Islam, jangan berharap teroris berhenti
beregenerasi.
Ini berlaku di belahan bumi mana pun, termasuk di Amerika
yang medio April lalu diguncang bom Boston. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar