Selasa, 21 Mei 2013

Regenerasi Teroris


Regenerasi Teroris
Karyudi Sutajah Putra ;  Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA, 20 Mei 2013

SEPERTI koruptor, teroris pun mengalami regenerasi. Bila dalam korupsi ada Zulkarnaen Djabar dan Dendy Prasetya, bapak anak yang sama-sama menjadi terdakwa korupsi proyek pengadaan Alquran di Kementerian Agama, dalam terorisme ada paman keponakan, Abu Bakar Ba'asyir dan Nu'im Ba'asyir. Mungkin karena itulah korupsi dan terorisme dikategorikan sebagai extraordinary crime.

Tim Detasemen Khusus 88 Anti Teror Mabes Polri, pada Selasa (14/5), menangkap Nu'im Ba'asyir alias 
Qomasu Muawiyah Arob di rumahnya di Kelurahan Joyontakan Solo, atas dugaan sebagai  teroris. Nuíim konon keponakan Abu Bakar Ba'asyir, terpidana 15 tahun penjara dalam kasus terorisme. Nu'im sebelumnya juga aktif di Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir, namun 2 tahun lalu ia keluar.

Nu'im termasuk kelompok Abu Roban yang ditembak mati di Batang. Dalam penggerebakan  Rabu-Kamis-Selasa-Kamis (8, 9, 14, dan 16/5/2013), Densus berhasil menangkap dan menembak 27 terduga teroris kelompok Abu Roban, seorang di antaranya dilepaskan karena tak terbukti terlibat.

Menurut Kepala Badan Nasional Penang­gulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai, sejak 2000 hingga medio Maret 2013, Polri telah menangkap 850 teroris, 60 di antaranya tewas ditembak. Adapun polisi yang menjadi korban tewas dalam penyergapan teroris mencapai 30 personel.

Ansyaad Mbai di sela-sela diskusi BNPT dengan jurnalis di Surabaya, pada 21 Maret 2013, mengklaim selain menggunakan pendekatan humanis ke pelaku teror, aparat juga memberikan bantuan kepada anak dan istri maupun pelaku teror itu, semisal memfasilitasi pendidikan bagi anak pelaku, memberikan modal untuk usaha kedai kopi, tambal ban, dan sebagainya. Yang penting, bagaimana menurunkan tingkat radikalisasi dengan cara huma­nis.

Bila demikian, mengapa teroris patah tumbuh hilang berganti, bahkan mengalami regenerasi? Abu Roban misalnya, memiliki ambisi ingin menyatukan bekas anggota JAT dan gerakan Mujahiddin lain ke dalam kelompok Muja­hiddin Indonesia Barat (MIB) dalam perjuangan menegakkan daulah Islamiyah di Indonesia, dan menjadikan Indonesia negara Islam.

Para teroris yang tertangkap dan tertembak ini bisa jadi merupakan regenerasi dari kwartet pelaku Bom Bali I, 12 Oktober 2002, yakni Imam Samudra, Ali Imron, Mukhlas alias Ali Ghufron, dan Amrozi, meskipun regenerasi itu tidak selalu harus ada hubungan darah. Bisa jadi pula mereka pengikut Dr Azahari dan Noor Din M Top, dua tokoh teroris di balik Bom Bali II, 1 Oktober 2005.

Konfirmasi

Testimoni mantan Kapolri Da'i Bachtiar barangkali bisa menjadi konfirmasi jujur soal kebelumberhasilan Polri mengatasi terorisme yang lebih mengedepankan langkah represif ketimbang preventif dan persuasif.
Dalam acara dialog Densus 88 yang dipimpin Wakapolri Komjen Nanan Sukarna dengan pimpinan media massa di Jakarta, Rabu (15/5), Da'i mengaku tak terlalu happy melihat aksi baku tembak Densus 88 dalam penyergapan teroris. Dia tahu benar kemampuan satuan elite antiteror tersebut yang dia bangun, terutama dalam pendekatan intelijen dan persuasi kepada para terduga teroris.

Menurut Da'i, Densus 88 dibangun atas dasar tiga kemampuan khusus yang tidak melulu represif tetapi juga preventif dan persuasif. Tiga fondasi kemampuan itu adalah analisis intelijen, investigasi secara ilmiah, dan upaya penyergapan atau strike and force.

Da'i berkisah tentang pola interograsi yang dilakukannya dalam pengungkapan kasus teror dengan tersangka Imam Samudra dan Mukhlas. Ketika itu keduanya enggan buka mulut. Namun setelah berbincang empat mata dengannya, Da'i mengklaim akhirnya terbuka jati diri dan keterlibatan mereka dalam aksi Bom Bali I. Menurut­nya, Mukhlas saat itu mengapresiasi perlakuan polisi yang manusiawi dalam penangkapan dirinya, tidak seperti tersangka teroris lain yang diperlakukan tidak manusiawi. Sekarang, kata Da'i, ucapan Mukhlas itu terbukti, yakni bila ada ketidakadilan, muslim-muslim lain disakiti, dan Mukhlas dihukum mati, maka muncul ”Mu­khlas-Mukhlas” baru.

Itulah mengapa para teroris patah tumbuh hilang berganti. Densus 88 dan BNPT seakan-akan lebih mengedepankan upaya represif ketimbang preventif dan persuasif. Pihak berwenang alpa mencari akar permasalahan mengapa terorisme tumbuh subur di Indonesia, kemudian menyadarkan mereka yang berisiko menjadi teroris melalui ajaran dan gerakan deradikalisasi. Ini seperti KPK yang lebih sibuk melakukan upaya penindakan, sementara upaya pencegahan terabaikan, sehingga koruptor pun mengalami regenerasi.
Selama ketidakadilan masih merajalela; keadilan berlaku universal, tak hanya me­nyangkut Islam, jangan berharap teroris berhenti beregenerasi.

Ini berlaku di belahan bumi mana pun, termasuk di Amerika yang medio April lalu diguncang bom Boston. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar