Selasa, 21 Mei 2013

Seremoni Kebangkitan Nasional


Seremoni Kebangkitan Nasional
Benny Susetyo ;  Pemerhati Sosial
SINAR HARAPAN, 20 Mei 2013

Secara historis, momentum kebangkitan nasional merupakan masa di mana tumbuh kesadaran bersama untuk memperjuangkan Indonesia merdeka dan mulai berani mengadakan perhitungan dengan penjajah. Boedi Oetomo yang berdiri pada 20 Mei 1908 menjadi salah satu tonggak kesadaran tersebut.

Kini setiap tahun kita memperingati kebangkitan nasional. Pertanyaannya, kesadaran bersama apa yang harus tumbuh? Perjuangan dan perhitungan apa lagi yang harus dilakukan?

Tantangan Berat

Momentum kebangkitan nasional seharusnya dipahami bukan sekadar peristiwa sejarah yang berhenti pada romantisme sejarah saja. Momentum ini memiliki makna penting bahwa sebuah bangsa yang berkembang selalu mengevaluasi diri dan menyadari tantangan demi tantangan kebangsaan yang tidak lebih ringan.

Bila dihitung, telah 100 tahun lebih Indonesia mendeklarasikan diri dalam kebangkitan nasional. Namun bila faktanya sepanjang masa itu pulalah sebagian besar rakyat bangsa ini kerap mengalami penderitaan, itulah yang perlu disadari. Saat korupsi dan kolusi menjadi pemandangan sehari-hari tanpa disadari efeknya merusak nilai-nilai kebangsaan di masa mendatang.

Kemerdekaan yang telah diraih lebih dari setengah abad belum dapat dimanfaatkan dengan baik untuk membentuk manusia dan bangsa yang merdeka. Sumber daya alam yang melimpah belum benar-benar dipergunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat semesta.

Masih banyak anak bangsa yang kelaparan di tengah lumbung padi, di tengah segenap persoalan bangsa yang semakin lama semakin serius nyaris tak tertangani dengan baik. Berita tentang mereka yang kekurangan gizi kian mencemaskan, bukan karena mereka berada di dunia yang tidak ada makanan bergizi, melainkan karena akses terhadapnya tidak mampu dilakukan.

Perekonomian bangsa yang dilandaskan kepada Pancasila yang menggotong ekonomi kerakyatan tampaknya hanya untuk memanis-maniskan wajah belaka.

Kenyataannya perekonomian kita lebih ditumpukan kepada sejauh mana modal berkuasa menentukan segalanya. Segala apa yang bisa dijual dan tidak banyak menimbulkan protes publik, dijual kepada pemodal untuk kepentingan yang tidak jelas betul untuk apa peruntukannya.

Pemberantasan korupsi belum terbukti sebagai sebuah gerakan simultan dan berkelanjutan yang didukung oleh semua penguasa darimana pun asalnya. Pemberantasan korupsi terkadang sering bisa dilihat kental dengan nuansa politisnya daripada kesungguh-sungguhan untuk menghilangkan korupsi itu sendiri.

Reformasi pun jalan di tempat. Ke arah mana bangsa ini harus berjalan dan akan mencapai apa sebagaimana yang sudah diangan-angankan bersama sering kali tidak sinkron dengan perilaku para elite yang tindak-tanduknya kerap menjauhi etika.

Rakyat dalam posisi serbasulit. Rakyat berada dalam situasi terjepit karena setiap apa yang dikerjakan tidak jarang terkendala dengan kebijakan elite yang tidak pro kemerdekaan. Kebijakan hanya pro pada elite dan mereka yang punya uang saja.

Seremoni Kebangkitan Nasional

Kita masygul bila kebangkitan nasional kerap hanya bermakna seremoni saja; saat para elite mengingat hari kebangkitan nasional hanya pada Mei, dan melupakannya begitu upacara dibubarkan. Semua semangat untuk membawa bangsa ini tertelan dalam aktivitas sehari-hari yang lebih mendorong sikap instan dan pragmatis.

Privatisasi aset-aset publik dapat mudah dilegalisasi karena di dalamnya ada aspek-aspek yang menguntungkan secara pribadi dalam dimensi politik dan ekonomi. Visi kebangsaan para elite, dalam berbagai perilakunya, dapat dilihat jauh lebih lemah daripada apa yang ada di tingkat masyarakat.
Dalam aspek pendidikan tidak kalah ironis. Plin plan kebijakan menjadikan kita tidak mengerti manusia Indonesia seperti apa yang hendak dicetak.

Karut marut dunia pendidikan dalam berbagai aspek mengokohkan kesimpulan bahwa semakin lama, pendidikan mundur ke belakang karena lebih banyak berbau kekuasaan daripada meneruskan visi yang sudah lurus yang ditorehkan para pendahulu kita.

Penegakan hukum adalah dunia “seolah-olah”: seolah-olah semua manusia Indonesia harus menaati hukum karena negara kita adalah rechstaat. Tapi fakta bahwa terlampau banyak perilaku yang mencerminkan ini negara macshtaat merupakan fakta sehari-hari yang sulit dimungkiri.

Hukum sering dinilai dengan uang dan kekuasaan. Hukum hanya berpihak pada kaum berduit, dan menginjak yang lemah. Hukum diterapkan dengan metode belah bambu: menginjak yang bawah dan mengangkat yang atas.

Bahkan di era yang disebut reformasi, justru masyarakat semakin apatis terhadap hukum. Penegakan dalam hukum tidak berbanding dengan kebenaran dan keadilan, tapi sejauh mana mereka yang berurusan bisa “menguasai” hukum, dengan apa pun. Dengan kata lain, siapa kuat, dia memiliki imunitas hukum.

Kita bisa melihat praktik di negara yang memperingati kebangkitan nasionalnya setiap tahun ini adalah bagaimana semuanya bisa dibeli dan dijual. Tanpa mengesampingkan prestasi yang telah didapat, selama ini lebih banyak diwarnai dengan hura-hura pribadi dan mengabaikan kepentingan bersama yang bernama bangsa. “Kebangsaan” kita adalah kebangsaan upacara, bukan kebangsaan perilaku.

Kebijakan publik di negara berdaulat dan memiliki deklarasi nasionalisme 100 tahun ini tidak disusun atas dasar kepentingan publik secara sungguh-sungguh. Setiap zaman, aturan-aturan kebangsaan yang krusial bisa digantikan sesuka hati oleh para penguasa dengan berbagai cara dan alasan.

Ini bukan khayalan politik. Suka tidak suka kita terima ini sebagai sebuah realitas yang terjadi di lapangan. Lihat saja kenyataan apa yang sering disebut orang sebagai para calo politik.

Di balik praktik percaloan itu ada kekuatan para pemilik modal besar yang berperan. Kepentingan pemilik modal adalah untuk melestarikan bisnis-bisnis mereka yang korup. Bisnis tersebut akan besar jika didukung oleh kebijakan-kebijakan yang menguntungkan mereka.

Rakyat yang mengalami kemiskinan ekonomi selama bertahun-tahun dalam pemerintahan Soekarno merasa datangnya Orde Baru bagaikan dewa penyelamat. Rakyat dininabobokkan dengan janji-janji perbaikan ekonomi yang teramat meyakinkan. Pembangunan ekonomi pun dengan segera diselenggarakan dengan asumsi bahwa kenaikan pertumbuhan ekonomi yang signifikan akan menciptakan pemerataan ekonomi.

Sampai kini, angan-angan itu masih sebatas angan-angan. Semangat reformasi kian hari kian meredup berubah menjadi kesengsaraan. Darimana kebangkitan nasional harus dimulai, bila cara berpikir elite masih mementingkan diri dan kelompoknya daripada rakyat bangsanya? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar