Kamis, 16 Mei 2013

Hancurnya Etika dan Moral Kapitalisme


Hancurnya Etika dan Moral Kapitalisme
Arif Novianto Mahasiswa Manajemen dan Kebijakan Publik,
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik di Universitas Gadjah Mada (UGM)
SUAR OKEZONE, 14 Mei 2013


Sontak Publik dibuat terhenyak, ketika menyaksikan kabar kekejaman dan kesadisan yang telah terjadi di pabrik pengolahan aluminium milik Yuki Irawan di Tangerang. Bagaimana tidak, para buruh diekploitasi dan ditindas dengan tindakan yang tidak memiliki kadar manusiawi sama sekali. Mereka disekap dan dipaksa untuk bekerja di bawah bayang-bayang kekerasan dan siksaan, serta hak-hak mereka sebagai buruh tidak sedikitpun dipenuhi. 

Hal tersebut memperlihatkan bagaimana bentuk perbudakan model tua atau kuno di era globalisasi sekarang ini. Perbudakan itu sendiri merupakan proses perampasan kehidupan budak oleh pemilik budak. Yang dimana para budak diambil semua nilai lebihnya dan dirampas kehidupanya oleh para pemilik budak serta hanya diberikan upah untuk sekedar bertahan hidup saja. Perbudakan tua di era millennium sekarang ini sudah hampir tidak ada, tetapi telah mulai bermetamorfosis menjadi perbudakan yang lebih halus dan mencoba memanusiawikan walaupun sebenarnya tetap saja tidak manusiawi, seperti tercermin pada sistem outsourcing. Sehingga kemudian yang menjadi pertanyaan adalah, bisakah sistem kapitalisme modern sekarang ini berjalan berdampingan dengan pola perbudakan kuno tersebut?

Jawabannya tentu tidak. Karena di dalam sistem kapitalisme modern sekarang ini sangat memerlukan pasar yang dinamis dan fleksibel. Dan pola perbudakan kuno tersebut memiliki sifat yang statis, sehingga menghambat pola relasi pasar yang diinginkan oleh sistem kapitalis itu sendiri, baik pasar tenaga kerja atau pasar produksi. Kemudian apa yang terjadi sehingga terjadi sebuah kasus perbudakan kuno di era kapitalisme sekarang ini?
Bila ditelisik lebih mendalam, itu terjadi karena matinya etika dan moral di dalam sistem kapitalisme ini, yaitu tepatnya telah hilangnya sifat kemanusiaan dari para kapitalis. Seperti yang diungkapkan oleh zizek (2012) bagaimana proses panjang sejarah perubahan masyarakat hirarkis abad pertengahan menjadi masyarakat Borjuis (pemilik modal atau alat-alat produksi) yang modern telah mencapai suatu titik temu dimana semakin mencuatnya sifat kebinatangan dari binatang manusia (human animal) yang egosentris. Artinya manusia terobsesi untuk menumpuk kekayaan dan kenikmatan secara instan dengan menonjolkan sifat individualitas dan egonya sendiri.
  
Hal tersebut tak pelak kemudian menciptakan peng-aminan terhadap tindakan eksploitasi dan penghisapan manusia atas manusia lainnya. Itu terjadi tak lain karena cacad bawaan yang ada di dalam sistem kapitalisme ini. Yaitu bahwa diagung-agungkannya mekanisme pasar dan diminimalisirnya daya proteksi dari pemerintah di dalam sistem kapitalisme, telah membuat manusia seolah bebas mengakumulasi capital (atas dasar hak milik pribadi) mereka tanpa ada batas dan kontrol yang besar dari Negara.
  
Melihat kenyataan yang demikian, membuat tulisan dari Walter Benyamin tentang kapitalisme sebagai sebuah agama menjadi sangat penting. Yang mengungkapkan bahwasannya seorang kapitalis sejati justru bukan seorang yang hedon nan egoistik, akan tetapi merupakan orang yang cukup fanatis di dalam melipatgandakan kekayaannya. Dan bersedia untuk mengabaikan kesehatan, kesenangan, bahkan kelangsungan hidup keluarga serta kelangsungan lingkungan hidup hanya untuk dapat mengejar tujuannya tersebut.
  
Keadaan tersebut membuat seorang kapitalis seolah membuta dengan sifat kemanusiaan manusia sebagai makhluk sesamanya di dunia ini. Mereka dengan buas dan bringas berupaya memacu setinggi-tingginya akumulasi kapitalnya, dengan mengedepankan sifat kebinatangannya. Yang menurut hegel dalam The Phenommenology of the Spirit menggambarkannya sebagai perwujudan dari ”kerajaan spiritual para binatang”. Artinya mereka seolah membuang rasa malu, kasihan, kolektivitas kebersamaan, saling menghargai, toleransi serta saling menolong sebagai makhluk sesama di dunia ini, ketika dikaitkan dengan relasi produksi.
  
Dan pada kasus yang dilakukan Yuki Irawan ini, secara tidak langsung menggambarkan bagaimana para borjuis telah kehilangan akal sehatnya di dalam mengarungi sistem kompetisi yang dihadirkan oleh kapitalisme. Ia menerjang tatanan sosial yang ada, yang telah dibentuk lewat dialektika sejarah karena tekanan yang mencapai titik tertinggi. Apalagi ketika hukum berserta aparatnya memberikan ruang yang memancingnya berbuat seperti itu. 

Etika dan Moral yang seharusnya dikedepankan, telah hancur lebur tertindas oleh sifat-sifat kebinatangan dari binatang manusia di era kapitalisme ini. Sehingga keadaan tersebutlah yang kemudian menjadikan Yuki Irawan berfikir secara instan, akibat obsesinya yang berlebihan untuk menumpuk capital. Dan yang membedakan Yuki dengan para Borjuis yang lain adalah bahwa Yuki telah mencapai titik tertinggi dari sifat kebinatangannya, akibat terdesak oleh kompetisi pasar yang menghimpitnya.
  
Kemudian yang terjadi tak lain adalah pola produksi dengan menggunakan perbudakan yang tak manusiawi sama sekali yang dapat kita lihat pada kasus di Tangerang ini. Pertanyaanya kemudian adalah, sifat apakah yang dengan rela menindas dan mengeksploitasi sesamanya? Dan juga sifat apa yang tidak peduli dengan sesamanya yang sekarat? Bagi hegel itulah sifat binatang. Dan sifat kebinatangan inilah yang telah menghancurkan etika dan moral dari setiap manusia serta berkembang secara pesat akibat terpupuk oleh sistem kapitalisme yang ada. Sehingga apakah kita merupakan bagian dari kebinatangan manusia binatang ini? mari kita refleksikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar