Rabu, 22 Mei 2013

Pemimpin Berhati Nurani


Pemimpin Berhati Nurani
Anhar Gonggong ;  Sejarawan
SUARA KARYA, 21 Mei 2013


Dalam memaknai Hari Kebangkitan Nasional yang jatuh setiap tanggal 20 Mei, yang sangat penting adalah menangkap makna perjuangan para pemimpin pergerakan nasional dalam menegakkan atau merumuskan negara Indonesia. Para pemimpin dari presiden hingga kepala desa, anggota legislatif, anggota yudikatif, para menteri dan birokrat dari pejabat eselon I ke bawah, perlu melakukan perenungan untuk meneladani kepemimpinan para tokoh pergerakan nasional masa lalu.

Di tengah kondisi karut-marut bangsa saat ini, para pemimpin negeri ini--yang tergolong orang-orang pintar--ditantang menunjukkan keberanian untuk jujur kepada diri sendiri. Dalam memimpin, mereka perlu lebih mengedepankan hati nurani dengan belajar dari tokoh-tokoh pergerakan nasional, termasuk para pendiri bangsa; Soekarno-Hatta. Sebagai orang-orang pintar pada zamannya, Soekarno yang seorang insinyur ITB dan Hatta yang ekonom lulusan Rotterdam dalam memimpin tetap punya hati nurani. Mereka lebih baik keluar masuk penjara daripada tunduk kepada pemerintah kolonial Belanda.

Hal ini terjadi karena mereka adalah sosok pemimpin yang mampu melampaui dirinya. Mereka bekerja dan berjuang bukan semata untuk kepentingan dirinya sendiri, tetapi untuk orang lain, demi rakyat Indonesia. Demikian pula halnya, para tokoh pergerakan nasional lainnya, seperti Sutomo dan HOS Tjokroaminoto.
Ini berbeda dengan kondisi sekarang. Sosok pemimpin yang sesungguhnya hampir tidak ada. Yang ada adalah pejabat-pejabat dan birokrat-birokrat yang bekerja demi kepentingan diri dan kelompoknya. Di antara mereka bahkan banyak yang terlibat korupsi, menggarong uang rakyat. Fakta wakil rakyat membolos kerja, pejabat tersangka korupsi masih menerima gaji Rp 60 juta per bulan, hal ini menggambarkan bahwa para pemimpin sudah tidak menghargai lagi negara. Mereka kurang memiliki tanggung jawab terhadap negara.

Kalau dicermati secara saksama, dari zaman kemerdekaan hingga sekarang, musuh kita adalah kemiskinan. Ini terjadi karena kita masih lemah dalam berbagai sektor. Dari sisi kekuatan militer, misalnya, seperti pernah disampaikan Dubes RI untuk Malaysia Rusdihardjo bahwa kekuatan pertahanan Indonesia hanya 30 persen dibandingkan dengan negara tetangga Malaysia 70 persen. Padahal pada zaman Soekarno tahun 1960-an, kekuatan militer Indonesia berada di nomor empat di Asia.

Dalam mencanangkan arah pembangunan bangsa, empat pilar yaitu UUD 1945, Pancasila, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika hanya digunakan sebatas retorika. Padahal, yang terpenting bagaimana menerjemahkan isi Pembukaan UUD 1945, khususnya pada penggalan kalimat "menciptakan masyarakat adil dan makmur" serta yang dipertegas dengan sila kelima Pancasila, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kalau garis pembangunan yang disusun Bappenas selalu berdasar pada makna isi Pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan berbangsa adalah menciptakan keadilan dan kemakmuran rakyat, maka musuh kemiskinan akan bisa dikalahkan. Namun, yang terjadi sekarang, kesenjangan makin lebar. Hanya kelas menengah yang menikmati hasil pembangunan. Restoran-restoran, hotel-hotel, dan mal-mal lebih didominasi oleh masyarakat kelas menengah ke atas. Sementara mayoritas rakyat kelas menengah ke bawah tetap hidup dalam keterpurukan.

Jadi, yang menikmati keadilan sosial baru sebatas para pejabat, anggota DPR, birokrat-birokrat berpenghasilan besar, serta masyarakat kelas menengah ke atas. Keadilan dan kemakmuran pun hanya bagi segelintir orang, bukan bagi seluruh rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar