Rabu, 22 Mei 2013

Kemana Arah Perekonomian Kita


Kemana Arah Perekonomian Kita?
Sabiq Carebesth ;  Pemerhati Masalah Ekonomi Politik Pangan dan Pemimpin Redaksi Jurnal Sosial Agraria “Agricola” Yayasan Bina Desa, Jakarta
SINAR HARAPAN, 21 Mei 2013
Kekacauan kultur ekonomi semacam itu pada akhirnya membutuhkan campur tangan negara.

Fakta ekonomi global sekarang menunjukkan 50 persen perdagangan global diisi sektor jasa dan mampu menyerap hingga 60 persen tenaga kerja di seluruh dunia.

Hal yang tentu saja sudah bergeser dari era booming oil pada dekade 70-an ketika negara-negara dengan soviet ekonomi tumbang dan investasi asing pada sumberdaya alam tak terbarukan, terutama tambang minyak--merajalela sebagaimana tampak pada penguasaan investasi asing di Indonesia; Cargill, Exxon, BP, Heidelberg Cement, Newmont, Rio Tinto dan Freeport di Indonesia.
Sektor jasa telah mengisi 52 persen produk domestik bruto (PDB) di negara-negara berpendapatan menengah. Bahkan, memenuhi hampir 60 persen PDB pada negara maju. Pendapatan sektor jasa di Indonesia menyumbang 50 persen dari total PDB dan mempekerjakan 50 persen orang dari seluruh jenis pekerjaan.
Menyimak kenyataan tersebut, ekonomi Indonesia seperti tengah berada dalam satu fase puncak liberalisme dalam ekonomi kapitalis di mana sektor jasa mengisi hampir separuh dari sendi-sendi ekonomi nasional.
Hal yang mengkhawatirkan dan menjadikan potret tersebut ironis adalah karena kita hanya menyumbang buruh murah bagi sektor jasa, sementara investor dalam negeri maupun BUMN di sektor jasa sangat minim dan lemah daya saingnya.
Kendati sektor jasa menyumbang cukup besar bagi pendapatan nasional, sebenarnya hal itu masih menyisakan pertanyaan seperti ke mana keuntungan dari pendapatan nasional paling banyak terkonsentrasi? Siapa yang paling mungkin mengakumulasi kapital dan menikmati hasil surplus dalam sistem ekonomi liberal yang tak pernah memiliki “motif” untuk mentransformasikan kelas-kelas ekonomi kecil untuk menjadi lebih sejahtera?
Jika ada sedikit—roti—yang disebut pertumbuhan, itu sama sekali tak menjangkau rakyat di lapis bawah. Kemiskinan nyaris menjadi absolut karena sistem ini memang tidak mengandung komponen transformasi sosial dan pengentasan kemiskinan berkelanjutan.
Sistem ekonomi liberal akan terus berupaya menjaga hegemoni atas situasi ekonomi, penetrasi pada sistem ekonomi, oligarki dan bila perlu monopoli dalam akses pasar dan produksi. Singkatnya, yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Liberalisasi Ekonomi
Setelah mengalami pertumbuhan cukup kuat dibandingkan perekonomian negara ASEAN lain tahun lalu, perekonomian Indonesia mendadak dikepung sejumlah persoalan yang dapat mengancam laju pertumbuhan.
Kekagetan ini bukan semata pada fakta bahwa sampai kuartal I 2003 ini pertumbuhan ekonomi kita melambat sehingga pemerintah harus berpikir keras dalam merencanakan pembiayaan melalui perubahan APBN, namun lebih mengagetkan bahwa ternyata asumsi dan arah ekonomi nasional kita benar-benar telah berorientasi sangat liberal-kapitalistik.
Mudah saja menandai hal itu, yaitu ketika asumsi dominan dalam sistem ekonomi nasional tak lagi merujuk pada basis perekonomian rakyat dan karakter ekonomi nasional, melainkan sepenuhnya mengikuti tren perekonomian global.
Apakah sistem liberal kapitalis benar-benar tak terhindarkan untuk Indonesia, sehingga orientasi ekonomi “pertumbuhan” benar-benar telah mengabaikan fakta bahwa ketimpangan ekonomi masyarakat benar-benar sampai pada titik nadir? “Pemerataan” kesejahteraan ekonomi hanya mempertontonkan ketimpangan penguasaan aset ekonomis dan akses minimal pada kesejahteraan.
Jumlah orang miskin di Indonesia sekarang telah banyak dibicarakan, angka kelaparan, kematian ibu melahirkan, gizi buruk; semua itu berlangsung di tengah target pertumbuhan yang terus membuai kita semua dengan angka-angka ramalan PDB yang seperti hanya pepesan kosong dan manis di angka saja.
PDB nasional sampai kuartal I/2013 menunjukkan tren yang memperkuat asumsi tersebut, yaitu ketika sektor jasa menjadi penyumbang terbesar PDB, sekitar 52 persen dari total PDB, angka yang jauh lebih tinggi dari yang bisa disumbang sektor industri dan agribisnis. Sektor pertanian hanya bisa menyumpang pada kisaran 15,14 persen.
Sementara itu, di sektor perdagangan, kita benar-benar mengalami defisit neraca perdagangan yang memprihatinkan dengan indikasi tingginya angka impor dan pelambatan ekspor dalam banyak perjanjian kerja sama ekonomi-perdagangan bilateral maupun multilateral.
Sebenarnya tak terlalu mengherankan bila pertumbuhan ekonomi sampai pada kuartal tersebut melemah menjadi hanya 6,02 persen atau terendah selama tiga tahun terakhir. Dengan alasan utama pada pelambatanpertumbuhan investasi, terutama investasi asing, sementara daya saing ekonomi nasional kita sangat lemah.
Lemahnya daya saing yang memprihatinkan bahkan untuk kawasan ekonomi terbatas ASEAN. Meski akan memasuki era integrasi ekonomi pada 2015, kesiapan daya saing Indonesia masih dalam kondisi yang rentan. Mengacu data Global Competitiveness Report 2012-2013, daya saing Indonesia berada di peringkat ke-50 dari 144 negara (Kompas, 29/4).
Peringkat ini berada di bawah Singapura di posisi ke-2, Malaysia (ke-25), Brunei (ke-28), dan Thailand (ke-38). Sementara itu, data indeks kinerja logistik dari Bank Dunia 2012 mencatat, peringkat Indonesia masih di bawah Singapura yang berada di posisi pertama, Malaysia (ke-29), Thailand (ke-38), Filipina (ke-52), dan Vietnam (ke-53).
Kekacauan kultur ekonomi semacam itu pada akhirnya membutuhkan campur tangan negara; kita semua harus berhenti berilusi pada “tangan-tangan tak terlihat” (invisible hand) yang konon akan membagikan dengan adil roti dari pertukaran ekonomi global; tangan itu mungkin tak terlihat, tapi masalahnya adalah--ada yang mengendalikan.
Sekarang waktunya bagi Indonesia untuk memperjelas arah pembangunan ekonominya; yang terutama adalah dengan menata fondasi ekonomi berupa keadilan pada akses pemilikan dan penguasaan sumber-sumber produksi strategis.
Dengan demikian, dominasi investasi asing pada sumber daya alam dan sumber daya manusia bisa dikendalikan untuk menjamin penguasaan negara atas sumber-sumber ekonomi untuk “sebesar-besar kemakmuran rakyat.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar