Rabu, 08 Mei 2013

Parpol dan Kekacauan Demokrasi


Parpol dan Kekacauan Demokrasi
Masduri Peneliti di Jurusan Teologi dan Filsafat Fakultas Ushuluddin dan
Pustakawan Pesantren Mahasiswa (PesMa) IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 07 Mei 2013


Pasca ditetapkannya Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka kasus suap daging sapi impor, keriuhan dunia politik semakin memanas. Kritik tajam terhadap partai berlabel agama itu terus bermunculan. Karena pada kenyataannya tak ada bedanya antara partai politik (parpol) agama dan nasionalis. Semuanya sama-sama dihuni oleh para koruptor.

Bahkan wacana, "tinggal menunggu kocokan arisan," sempat santer menjadi perbincangan publik. Artinya, semua parpol sekarang sedang dalam incaran komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hanya tinggal menunggu waktu saja. Pada saatnya, ketika bukti sudah kuat KPK dipastikan akan menyeret petinggi-petinggi partai yang bermasalah dengan korupsi.

Keriuhan dalam dunia politik semakin panas lagi setelah Anas Urbaningrum ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus korupsi Hambalang. Anas sebagai mantan Ketua Umum Partai Demokrat menjadi bulan-bulanan pemberitaan. Setiap hari pemberitaan tentang Anas muncul di media. Pertistiwa ini sontak mengguncang Partai Demokrat sebagai partai penguasa. Kader terbaiknya yang berada di pucuk tertinggi itu menjadi tersangka kasus korupsi.

Ditetapkannya Anas sebagai tersangka korupsi tentu memperburuk nama baik Partai Demokrat yang saat Pemilu 2009 santer dengan jargon anti korupsi. Anas menambah daftar koruptor kelas kakap di Demokrat seperti Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi Mallarangeng.

Kehadiran Anas dalam panggung korupsi menjadi bahan permainan politik. Kasus Anas terus dibesar-besarkan. Anas sendiri merasa kecewa dengan keputusan KPK, ia merasa ada intervensi di balik penetapan dirinya. Sehingga Anas sendiri pernah bermanuver akan buka-bukaan soal kasus korupsi Hambalang dan Bank Century. Pernyataan Anas menggiring opini publik bahwa kasus korupsi di dalam tubuh Demokrat sudah sangat menggurita. Maka Anas sebagai mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang tahu banyak apa yang terjadi diinternal partai Demokrat diminta untuk membeber semua kasus korupsi yang ada di dalam Demokrat. Agar prilaku korupsi yang merugikan masyarakat itu bisa diadili dengan baik.

Para politikus dari parpol lain terus bermain-main dengan pernyataan Anas. Ia terus mendorong Anas agar secara jujur membuka semua kebusukan partai Demokrat. Dorongan itu tentu untuk menjatuhkan elektabilitas Partai Demokrat. Sehingga sempat membuat SBY seperti orang ketakutan, karena akan dirongrong kekuasaannya.

SBY mengimbau kepada semua petinggi parpol agar tetap mematahui aturan main demokrasi sehingga kegaduhan dalam dunia politik tidak semakin menjadi-jadi. SBY mendengar desas-desus bahwa dirinya akan dilengserkan dari kekuasaannya. Kehawatiran ini wajar mengingat persoalan kebangsaan tak kunjung selesai dan pucuk tertinggi Partai Demokrat, Anas, ditetapkan sebagai tersangka.

Sebagai partai penguasa, tentu sangat tidak etis sekali jika Ketua Umum Demokrat menjadi tersangka. Kenyataan ini menjadi bukti nyata betapa bobroknya moral para politikus. Sehingga partai penguasa yang sejatinya menjadi percontohan parpol yang lain harus masuk dalam kubangan korupsi. Seperti pupus harapan rakyat mengimpikan pemimpin yang bersih dan peduli kesejahteraan rakyat. Petinggi parpol hanya banyak bermain-main dengan jargon-jargonnya masing-masing. Tetapi, dalam ranah praksis sangat sulit sekali ditemukan.

Ketika tersangkut kasus korupsi mereka saling mengambinghitamkan. Merasa dirinya paling benar dan yang lain salah. Bahkan yang awalnya adalah sahabat karib, tetapi karena kasus korupsinya terkuak, persahabatan yang lama dibangun hancur seketika.

Tidak sedikit pula prilaku petinggi partai yang sengaja membangun opini miring terhadap parpol lain demi menjaga elektabilitas partainya. Apalagi di tahun 2013 ini disebut-sebut sebagai tahun politik. Suhu konflik parpol semakin memanas menjelang Pilpres 2014. Mereka terus bergerak untuk meraih simpati rakyat. Tetapi kadang-kadang tidak jarang merugikan rakyat, karena banyak pekerjaan elit politik di pemerintahan yang tidak dijalankan dengan baik karena harus mengurus partai. Hal seperti ini pun dilakukan oleh SBY sebagai Presiden RI. Bahkan anak SBY, Ibas rela meninggalkan kursi kekuasaannya di DPR karena ingin mengurus partai Demokrat.

Kegaduhan dalam dunia politik menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014 benar-benar menyita banyak perhatian petinggi partai untuk terus melakukan konsolidasi agar partainya mampu memenangkan pilpres. Dari cara yang baik hingga yang buruk mereka lakukan untuk meraup simpati rakyat. Di tataran elite partai mereka saling tuding mencela partai lain dan mempertahankan nama baik partainya sendiri. Korupsi para petinggi partai menjadi ajang untuk saling menjatuhkan. Tidak lihat kawan dan lawan, siapapun yang berbeda kepentingan langsung main sikat.

Begitulah wajah demokrasi kita hari ini. Demokrasi hadir bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat banyak seperti halnya bahasa Abraham Lincoln yang mendefinisikan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, demokrasi di Indonesia hadir dengan bias maknanya, sehingga yang diuntungkan disini adalah kelompok parpol tertentu.

Karena melihat kegaduhan yang ada, yang dibela oleh petinggi parpol bukan lagi kepentingan rakyat, melainkan kepentingan kelompok partainya demi melanggengkan kekuasaan dan kesejahteraan kelompoknya.

Inilah problem demokrasi kita. Demokrasi belum sepenuhnya dipahami sebagai jalan bagi terwujudnya kesejahteraan rakyat untuk Indonesia berjaya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar