|
SUARA KARYA, 07 Mei 2013
Pasca ditetapkannya Luthfi Hasan
Ishaaq sebagai tersangka kasus suap daging sapi impor, keriuhan dunia politik
semakin memanas. Kritik tajam terhadap partai berlabel agama itu terus
bermunculan. Karena pada kenyataannya tak ada bedanya antara partai politik
(parpol) agama dan nasionalis. Semuanya sama-sama dihuni oleh para koruptor.
Bahkan wacana, "tinggal
menunggu kocokan arisan," sempat santer menjadi perbincangan publik.
Artinya, semua parpol sekarang sedang dalam incaran komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK), hanya tinggal menunggu waktu saja. Pada saatnya, ketika bukti
sudah kuat KPK dipastikan akan menyeret petinggi-petinggi partai yang
bermasalah dengan korupsi.
Keriuhan dalam dunia politik
semakin panas lagi setelah Anas Urbaningrum ditetapkan KPK sebagai tersangka
kasus korupsi Hambalang. Anas sebagai mantan Ketua Umum Partai Demokrat menjadi
bulan-bulanan pemberitaan. Setiap hari pemberitaan tentang Anas muncul di
media. Pertistiwa ini sontak mengguncang Partai Demokrat sebagai partai penguasa.
Kader terbaiknya yang berada di pucuk tertinggi itu menjadi tersangka kasus
korupsi.
Ditetapkannya Anas sebagai
tersangka korupsi tentu memperburuk nama baik Partai Demokrat yang saat Pemilu
2009 santer dengan jargon anti korupsi. Anas menambah daftar koruptor kelas
kakap di Demokrat seperti Muhammad Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Andi
Mallarangeng.
Kehadiran Anas dalam panggung
korupsi menjadi bahan permainan politik. Kasus Anas terus dibesar-besarkan.
Anas sendiri merasa kecewa dengan keputusan KPK, ia merasa ada intervensi di
balik penetapan dirinya. Sehingga Anas sendiri pernah bermanuver akan
buka-bukaan soal kasus korupsi Hambalang dan Bank Century. Pernyataan Anas
menggiring opini publik bahwa kasus korupsi di dalam tubuh Demokrat sudah sangat
menggurita. Maka Anas sebagai mantan Ketua Umum Partai Demokrat yang tahu
banyak apa yang terjadi diinternal partai Demokrat diminta untuk membeber semua
kasus korupsi yang ada di dalam Demokrat. Agar prilaku korupsi yang merugikan
masyarakat itu bisa diadili dengan baik.
Para politikus dari parpol lain
terus bermain-main dengan pernyataan Anas. Ia terus mendorong Anas agar secara
jujur membuka semua kebusukan partai Demokrat. Dorongan itu tentu untuk
menjatuhkan elektabilitas Partai Demokrat. Sehingga sempat membuat SBY seperti
orang ketakutan, karena akan dirongrong kekuasaannya.
SBY mengimbau kepada semua
petinggi parpol agar tetap mematahui aturan main demokrasi sehingga kegaduhan
dalam dunia politik tidak semakin menjadi-jadi. SBY mendengar desas-desus bahwa
dirinya akan dilengserkan dari kekuasaannya. Kehawatiran ini wajar mengingat
persoalan kebangsaan tak kunjung selesai dan pucuk tertinggi Partai Demokrat,
Anas, ditetapkan sebagai tersangka.
Sebagai partai penguasa, tentu
sangat tidak etis sekali jika Ketua Umum Demokrat menjadi tersangka. Kenyataan
ini menjadi bukti nyata betapa bobroknya moral para politikus. Sehingga partai
penguasa yang sejatinya menjadi percontohan parpol yang lain harus masuk dalam
kubangan korupsi. Seperti pupus harapan rakyat mengimpikan pemimpin yang bersih
dan peduli kesejahteraan rakyat. Petinggi parpol hanya banyak bermain-main
dengan jargon-jargonnya masing-masing. Tetapi, dalam ranah praksis sangat sulit
sekali ditemukan.
Ketika tersangkut kasus korupsi
mereka saling mengambinghitamkan. Merasa dirinya paling benar dan yang lain
salah. Bahkan yang awalnya adalah sahabat karib, tetapi karena kasus korupsinya
terkuak, persahabatan yang lama dibangun hancur seketika.
Tidak sedikit pula prilaku
petinggi partai yang sengaja membangun opini miring terhadap parpol lain demi
menjaga elektabilitas partainya. Apalagi di tahun 2013 ini disebut-sebut
sebagai tahun politik. Suhu konflik parpol semakin memanas menjelang Pilpres
2014. Mereka terus bergerak untuk meraih simpati rakyat. Tetapi kadang-kadang
tidak jarang merugikan rakyat, karena banyak pekerjaan elit politik di
pemerintahan yang tidak dijalankan dengan baik karena harus mengurus partai.
Hal seperti ini pun dilakukan oleh SBY sebagai Presiden RI. Bahkan anak SBY,
Ibas rela meninggalkan kursi kekuasaannya di DPR karena ingin mengurus partai
Demokrat.
Kegaduhan dalam dunia politik
menjelang pemilihan presiden (pilpres) 2014 benar-benar menyita banyak
perhatian petinggi partai untuk terus melakukan konsolidasi agar partainya mampu
memenangkan pilpres. Dari cara yang baik hingga yang buruk mereka lakukan untuk
meraup simpati rakyat. Di tataran elite partai mereka saling tuding mencela
partai lain dan mempertahankan nama baik partainya sendiri. Korupsi para
petinggi partai menjadi ajang untuk saling menjatuhkan. Tidak lihat kawan dan
lawan, siapapun yang berbeda kepentingan langsung main sikat.
Begitulah wajah demokrasi kita
hari ini. Demokrasi hadir bukan untuk memenuhi kepentingan rakyat banyak
seperti halnya bahasa Abraham Lincoln yang mendefinisikan demokrasi sebagai
pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Namun, demokrasi di
Indonesia hadir dengan bias maknanya, sehingga yang diuntungkan disini adalah
kelompok parpol tertentu.
Karena melihat kegaduhan yang ada,
yang dibela oleh petinggi parpol bukan lagi kepentingan rakyat, melainkan
kepentingan kelompok partainya demi melanggengkan kekuasaan dan kesejahteraan
kelompoknya.
Inilah problem demokrasi kita.
Demokrasi belum sepenuhnya dipahami sebagai jalan bagi terwujudnya
kesejahteraan rakyat untuk Indonesia berjaya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar