Rabu, 08 Mei 2013

Kerja Paksa, Pelanggaran HAM Serius


Kerja Paksa, Pelanggaran HAM Serius
Mariyadi Faqih Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw, Peneliti, dan
Penulis beberapa buku Ilmu Hukum
SUARA KARYA, 07 Mei 2013


Dalam Tajuk Suara Karya (Senin, 6 Mei 2013) disebutkan, bahwa penjajah telah hengkang dari Nusantara 67 tahun lebih tetapi praktik kerja paksa terhadap warga di negeri ini masih ada. Adalah 30-an buruh, sebagian besar berasal dari Lampung dan Cianjur (Jabar), dipaksa kerja tanpa mendapat gaji, makan, dan hidup layak. Mereka bekerja di pabrik pengolahan limbah menjadi panci aluminium, di suatu lokasi di Kampung Bayur Opak, Sepatan Timur, Tangerang, Banten, tanpa memiliki pilihan.

Perbuatan melanggar hak asasi manusia (HAM) itu dilakukan Yuki Irawan (41), pemilik pabrik pengolahan limbah menjadi panci aluminium, yang diduga berkomplot dengan beberapa preman dan oknum polisi serta dinas tenaga kerja setempat. Buruh tidak hanya dipaksa bekerja tanpa gaji, tetapi juga dianiaya. Bahkan tak diperkenankan bersosialisasi, diperlakukan layaknya binatang.

Perbuatan itu bukan hanya sebagai pelanggaran HAM biasa, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM yang serius. Bahkan, itu memenuhi unsur tindak pidana (straabaarfeit) yang segaris dengan kejahatan istimewa (extra ordinary crime).

Stigma sebagai pelanggaran HAM serius itu sangat rasional, pasalnya perlakuan yang diproduk oleh sejumlah orang atau sindikat benar-benar menestapakan atau mendehumanisasikan manusia lain, yang manusia (pekerja) ini sejatinya sudah berjasa besar padanya. Komunitas pekerja sudah menjalankan pekerjaan atau kewajibannya, namun bukannya kewajiban ini dihormatinya secara manusiawi, melainkan dinafikannya yang membuat tuduhan kalau para buruh sudah diperlakukan sebagai budak menjadi tidak berlebihan.

Dalam pasal 13 Deklarasi OKI (Cairo Declaration), yang disebut sebagai piagam HAM-nya orang Islam digariskan, bahwa bekerja adalah hak yang dijamin oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap untuk bekerja. Setiap orang harus bebas untuk memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna bagi dirinya dan masyarakat, (Baharuddin Lopa, 1996). Kata inti dari deklarasi itu adalah 'bebas memilih pekerjaan', yang kebebasan ini dijamin oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dalam ranah ini bisa ditafsirkan sebagai Kementerian, yang mempunyai tugas mengawasi dan mempertanggung-jawabkan setiap jenis perusahaan (korporasi), khususnya korporasi yang terlibat pelanggaran HAM.

Sedangkan bagian dari 'masyarakat' seperti dalam deklarasi itu adalah yang sedang mempekerjakan buruh. Elite masyarakat yang membingkai korporasi merupakan aktor utama yang menentukan kebijakan jenis pekerjaan dan realisasinya, sehingga ketika buruh mengalami kondisi mengenaskan atau ketidakmanusiawian selama menjalankan pekerjaan, maka korporasi ini layak dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM serius.

Apakah badan usaha atau korporasi bisa ditempatkan sebagai subyek hukum yang melakukan pelanggaran HAM serius? Jawabannya tentu saja bisa. Pasalnya, di dalam korporasi dihuni dan digerakkan oleh "mesin-mesin" yang menggabungkan akal dan okol, yang bisa membuat nasib jutaan orang pekerja di negeri ini tergantung padanya. Ketika korporasi ini mendehumanisasikan pekerja seperti yang terjadi di Tangerang itu, maka korporasi ini menjadi perusahaan yang terjerumus "menghalalkan" perbudakan.

Meskipun buruh menggantungkan nasibnya atau setidak-tidaknya hak ekonomi padanya, namun keterikatan dalam perjanjian kerja dan norma-norma yuridis dari negara yang diantaranya mewajibkan korporasi harus memenuhi hak-hak pekerja, maka korporasi dapat terjerumus sebagai kriminalis atau pelanggar HAM serius, manakala yang dikejar oleh korporasi ini sekedar memburu keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan hak pekerja.

Selain itu, bunyi Piagam HAM (Deklarasi Kairo) itu jelas, bahwa bekerja merupakan hak setiap orang, yang harus dijamin, diakui, dan dilindungi oleh pemerintah atau negara. Perlakuan yang bercorak dehumanisasi atau merendahkan pekerja, jelas layak dikategorikan sebagai bentuk pelanggaran HAM, yang tidak bisa ditoleransi atau didiamkan, apalagi oleh negara seperti Indonesia yang ideologinya (Pancasila) mewajibkan setiap warga negara untuk mengutamakan prinsip "kemanusiaan yang adil dan beradab".

Dalam pasal 23 ayat 1,2, 3, dan 4 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) juga dijelaskan tentang hak-hak buruh, termasuk buruh migran yang seharusnya dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara manapun. Sebagaimana disebutkan, 1) Setiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan, bebas memilih pekerjaan, syarat-syarat yang adil, dan menyenangkan dari suatu lingkungan pekerjaan dan mendapat perlindungan dari pengangguran. 2) Setiap orang tanpa dibeda-bedakan berhak memperoleh upah yang sama atas pekerjaan yang sama. 3) Setiap orang yang bekerja berhak akan imbalan yang adil dan menyenangkan, yang menjamin dirinya sendiri dan keluarganya sesuai dengan kemuliaan martabat manusia dan ditambah pula bila perlu dengan bantuan-bantuan sosial lainnya, 4) Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat pekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.

Pengakuan hak pekerja secara universal tersebut, ternyata tidak selalu manis, indah, dan memartabatkan dalam kenyataan. Realitas yang menimpa buruh di Tangerang tersebut hanya merupakan contoh kecil dari sekian banyak dan ragam pelanggaran atau perampasan hak-hak buruh.

Dalam ruang domestik misalnya, tidak sedikit ditemukan bentuk-bentuk kerja paksa yang dilakukaan oleh buruh kelas pembantu rumah tangga (PRT). Kerja paksa ini ada yang bersifat pemaksaan ideologis, seksual, teologis, maupun lainnya. Bentuk pemaksaan demikian idealnya tetap layak diperlakukan sebagai bentuk pelanggaran HAM serius. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar