|
SUARA KARYA, 07 Mei 2013
Dalam Tajuk Suara Karya (Senin, 6
Mei 2013) disebutkan, bahwa penjajah telah hengkang dari Nusantara 67 tahun
lebih tetapi praktik kerja paksa terhadap warga di negeri ini masih ada. Adalah
30-an buruh, sebagian besar berasal dari Lampung dan Cianjur (Jabar), dipaksa kerja
tanpa mendapat gaji, makan, dan hidup layak. Mereka bekerja di pabrik
pengolahan limbah menjadi panci aluminium, di suatu lokasi di Kampung Bayur
Opak, Sepatan Timur, Tangerang, Banten, tanpa memiliki pilihan.
Perbuatan melanggar hak asasi
manusia (HAM) itu dilakukan Yuki Irawan (41), pemilik pabrik pengolahan limbah
menjadi panci aluminium, yang diduga berkomplot dengan beberapa preman dan
oknum polisi serta dinas tenaga kerja setempat. Buruh tidak hanya dipaksa
bekerja tanpa gaji, tetapi juga dianiaya. Bahkan tak diperkenankan
bersosialisasi, diperlakukan layaknya binatang.
Perbuatan itu bukan hanya sebagai
pelanggaran HAM biasa, tetapi juga dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM
yang serius. Bahkan, itu memenuhi unsur tindak pidana (straabaarfeit) yang segaris dengan kejahatan istimewa (extra ordinary crime).
Stigma sebagai pelanggaran HAM
serius itu sangat rasional, pasalnya perlakuan yang diproduk oleh sejumlah
orang atau sindikat benar-benar menestapakan atau mendehumanisasikan manusia
lain, yang manusia (pekerja) ini sejatinya sudah berjasa besar padanya.
Komunitas pekerja sudah menjalankan pekerjaan atau kewajibannya, namun bukannya
kewajiban ini dihormatinya secara manusiawi, melainkan dinafikannya yang
membuat tuduhan kalau para buruh sudah diperlakukan sebagai budak menjadi tidak
berlebihan.
Dalam pasal 13 Deklarasi OKI (Cairo Declaration), yang disebut sebagai
piagam HAM-nya orang Islam digariskan, bahwa bekerja adalah hak yang dijamin
oleh pemerintah dan masyarakat untuk setiap orang yang siap untuk bekerja.
Setiap orang harus bebas untuk memilih pekerjaan yang paling sesuai dan berguna
bagi dirinya dan masyarakat, (Baharuddin
Lopa, 1996). Kata inti dari deklarasi itu adalah 'bebas memilih pekerjaan',
yang kebebasan ini dijamin oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dalam
ranah ini bisa ditafsirkan sebagai Kementerian, yang mempunyai tugas mengawasi
dan mempertanggung-jawabkan setiap jenis perusahaan (korporasi), khususnya
korporasi yang terlibat pelanggaran HAM.
Sedangkan bagian dari 'masyarakat'
seperti dalam deklarasi itu adalah yang sedang mempekerjakan buruh. Elite
masyarakat yang membingkai korporasi merupakan aktor utama yang menentukan
kebijakan jenis pekerjaan dan realisasinya, sehingga ketika buruh mengalami
kondisi mengenaskan atau ketidakmanusiawian selama menjalankan pekerjaan, maka
korporasi ini layak dikategorikan sebagai pelaku pelanggaran HAM serius.
Apakah badan usaha atau korporasi
bisa ditempatkan sebagai subyek hukum yang melakukan pelanggaran HAM serius?
Jawabannya tentu saja bisa. Pasalnya, di dalam korporasi dihuni dan digerakkan
oleh "mesin-mesin" yang menggabungkan akal dan okol, yang bisa
membuat nasib jutaan orang pekerja di negeri ini tergantung padanya. Ketika
korporasi ini mendehumanisasikan pekerja seperti yang terjadi di Tangerang itu,
maka korporasi ini menjadi perusahaan yang terjerumus "menghalalkan"
perbudakan.
Meskipun buruh menggantungkan
nasibnya atau setidak-tidaknya hak ekonomi padanya, namun keterikatan dalam
perjanjian kerja dan norma-norma yuridis dari negara yang diantaranya
mewajibkan korporasi harus memenuhi hak-hak pekerja, maka korporasi dapat
terjerumus sebagai kriminalis atau pelanggar HAM serius, manakala yang dikejar
oleh korporasi ini sekedar memburu keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan
hak pekerja.
Selain itu, bunyi Piagam HAM
(Deklarasi Kairo) itu jelas, bahwa bekerja merupakan hak setiap orang, yang
harus dijamin, diakui, dan dilindungi oleh pemerintah atau negara. Perlakuan
yang bercorak dehumanisasi atau merendahkan pekerja, jelas layak dikategorikan
sebagai bentuk pelanggaran HAM, yang tidak bisa ditoleransi atau didiamkan,
apalagi oleh negara seperti Indonesia yang ideologinya (Pancasila) mewajibkan
setiap warga negara untuk mengutamakan prinsip "kemanusiaan yang adil dan beradab".
Dalam pasal 23 ayat 1,2, 3, dan 4 Universal Declaration of Human Rights
(UDHR) juga dijelaskan tentang hak-hak buruh, termasuk buruh migran yang
seharusnya dijunjung tinggi oleh masyarakat dan negara manapun. Sebagaimana
disebutkan, 1) Setiap orang berhak untuk memperoleh pekerjaan, bebas memilih
pekerjaan, syarat-syarat yang adil, dan menyenangkan dari suatu lingkungan
pekerjaan dan mendapat perlindungan dari pengangguran. 2) Setiap orang tanpa
dibeda-bedakan berhak memperoleh upah yang sama atas pekerjaan yang sama. 3)
Setiap orang yang bekerja berhak akan imbalan yang adil dan menyenangkan, yang
menjamin dirinya sendiri dan keluarganya sesuai dengan kemuliaan martabat
manusia dan ditambah pula bila perlu dengan bantuan-bantuan sosial lainnya, 4)
Setiap orang berhak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat-serikat
pekerja untuk melindungi kepentingan-kepentingannya.
Pengakuan hak pekerja secara
universal tersebut, ternyata tidak selalu manis, indah, dan memartabatkan dalam
kenyataan. Realitas yang menimpa buruh di Tangerang tersebut hanya merupakan
contoh kecil dari sekian banyak dan ragam pelanggaran atau perampasan hak-hak
buruh.
Dalam ruang domestik misalnya,
tidak sedikit ditemukan bentuk-bentuk kerja paksa yang dilakukaan oleh buruh
kelas pembantu rumah tangga (PRT). Kerja paksa ini ada yang bersifat pemaksaan
ideologis, seksual, teologis, maupun lainnya. Bentuk pemaksaan demikian
idealnya tetap layak diperlakukan sebagai bentuk pelanggaran HAM serius. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar