|
KOMPAS, 11 Mei 2013
Bulan
Mei 2013 ini tepat 15 tahun ulang tahun reformasi. Reformasi merupakan drama
politik yang menegangkan serta menentukan masa depan bangsa dan hanya
berlangsung selama beberapa hari.
Barangkali
tak lebih dari 10.000 manusia di Jakarta selama berhari-hari, praktis selama 24
jam dalam bulan Mei 1998, yang saling unjuk gigi tanpa henti. Itulah elite
politik dari sejumlah kalangan yang bertempur atas nama demokrasi.
Sebagian
menilai reformasi sebagai perjuangan yang sukses, setelah demonstrasi mahasiswa
berhasil memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Namun, sebagian menilai
reformasi gagal karena sekadar ”Orde Baru plus demokrasi”.
Lalu
apa yang keliru dengan bangsa ini? Sampai saat ini, setelah 15 tahun, kita
masih debat kusir mengenai apa sesungguhnya makna ”reformasi”.
Inilah
pertanyaan pokok yang mengganggu benak kita hampir setiap hari, sejak
reformasi. Padahal, kita sudah menempuh perjalanan panjang, hampir 68 tahun
merdeka sejak Proklamasi.
Semestinya
sekarang ini kita, ibaratnya, sudah ”ongkang-ongkang kaki”. Pada kenyataannya,
kita kadang merasa masih dijajah oleh kompeni.
Satu
masalah selesai, eh, tiba-tiba muncul sepuluh masalah lain lagi. Masih
beruntung rakyat sudah mampu berjalan sendiri walaupun pemerintah sering lupa
diri.
Korupsi,
kekerasan, konflik etnis, bencana alam, kebodohan, dan kekonyolan terus saja
terjadi. Tak usah jauh-jauh, Anda saksikan saja berita-berita menghebohkan yang
disiarkan stasiun televisi.
Tiap
muncul masalah, kita pasti meributkannya tanpa henti. Semua mengajukan aneka
pendapat, mulai dari pejabat sampai pengamat, mulai dari tokoh sampai
akademisi.
Semua
keributan itu hanya berhenti sampai pada tahap teori. Namun, setelah beberapa
hari, tak ada lagi yang peduli.
Tak
heran Indonesia sering disebut sebagai negara gagal akibat krisis multidimensi
yang terjadi sejak masa pengujung era Orde Baru. Inilah krisis berkepanjangan
yang belum pernah dialami negara lain di zaman modern ini.
Banyak
teori yang bisa menjelaskan penyebab krisis multidimensi ini. Salah satunya
dengan memahami akar masalah bersumber dari penyalahgunaan kekuasaan oleh elite
penguasa negeri ini.
Inilah
elite penguasa yang hanya bergulat dengan kepentingan pribadi, keluarga,
kelompok, dan partai sendiri. Mereka mempraktikkan apa yang disebut Lord Acton
(1834-1902), ”power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.
Oleh
sebab itulah, rasanya sia-sia jika kita berharap setelah 15 tahun reformasi
akan mengantar Indonesia menuju ke era yang lebih baik. Mungkin lebih tepat
kita sekarang sedang mengalami sebuah stagnasi.
Terlebih,
sisa-sisa kekuatan ”Orbaba” (Orde Baru Baru) masih bercokol sampai kini. Kultur
politik penguasa masih tetap sama saja sekalipun sistem politik kita sudah
berganti.
Mestikah
kita menempuh apa yang terjadi di Eropa timur mulai akhir 1980-an sampai awal
1990-an, yakni meletupkan revolusi? Apa daya, sebagian dari kita tidak doyan
revolusi!
Apa
pun, kita kini dihadapkan pada ruang politik yang bernama demokrasi. Ruang itu
yang harus diisi melalui pemilu-pilpres-pilkada dengan mendorong rakyat
berpartisipasi.
Namun,
sasaran sebagian partai dan politisi hanya merasakan rezeki dari korupsi. Maka,
kembalilah kita pada kungkungan osilasi (goyangan) waktu yang tidak berjalan
sama sekali.
Terlebih
lagi struktur geografis kepulauan yang membentang dari barat ke timur dan dari
selatan ke utara membuat kita sukar berintegrasi. Keberagaman etnis dan budaya
juga menjadi faktor bagi bangsa ini mengatur diri sendiri.
Kondisi
geografis dan keragaman inilah yang membuat Indonesia akan selalu berubah tanpa
henti. Sistem pemerintah modern apa pun saat ini belum tentu mampu menaungi
kelimbungan kita mencari jati diri.
Sebenarnya
struktur sosial kita sederhana sekali. Ada strata atas yang merupakan penguasa
dan yang memengaruhi penguasa atau polity. Di tengah ada gerbang besar sekali
dan di bawah ada yang tidak turut serta di dalam polity.
Pertarungan
kekuasaan hanya terjadi antara kelas penguasa dan kelas gerbang, yang isinya
para petualang yang mematok target ”naik kelas” menjadi penguasa pengganti.
Dalam pertarungan terjadi transaksi, tipu daya, atau kerja sama yang
menjelaskan betapa maraknya korupsi.
Itu
juga yang menjelaskan penguasa lambat dan lamban dalam mengantisipasi dan
menanggulangi krisis tiap hari. Soalnya, yang menjadi penentu bukan konstitusi,
melainkan kedekatan pribadi berdasarkan persekongkolan ekonomi dan emosi.
Kita
belum siap dengan demokrasi. Namun, kita tak mungkin kembali ke era sebelum
reformasi.
Perandaian
yang tepat seperti yang dikatakan filsuf Perancis, JJ Rousseau, tatkala
ditanyai sebab musabab keruntuhan Kekaisaran Romawi. Rousseau menjawab,
demokrasi tak ubahnya makanan berserat dan kaya air, yang hanya bisa dicerna
perut sehat untuk diubah menjadi gizi.
Entah
siapa yang mengintroduksi istilah Orde Baru (1967-1998), Orde Lama (1945-1967),
dan Orde Reformasi (1998-sekarang). Apa pun yang baru pasti keren, yang lama
pasti sudah usang, yang reformasi pasti jauh lebih baik lagi.
Bagaimana
dengan Orde Reformasi? Saya lebih percaya kita sedang memasuki era ”deformasi”.
Kita
masih dalam proses memaksa mengubah diri sendiri alias kehilangan wajah yang
asli. Dan, deformasi justru lebih sering mendatangkan kerugian pada diri
sendiri.
Konstitusi
sudah kita ubah sesuka hati. Sistem politik campuran ”presidenter+parlemensial”
(presiden gemeter kalau parlemen sedang merasa sial).
”Trias
Politica” sudah kita tukar dengan ”Trias
Poli-thieves” yang terdiri dari cabang kekuasaan ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan ”judica-thieves”. Ya, belakangan ini semua sudah terdeformasi
menjadi pencuri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar