Minggu, 12 Mei 2013

Orde Deformasi


Orde Deformasi
Budiarto Shambazy ;  Wartawan Senior Kompas
KOMPAS, 11 Mei 2013


Bulan Mei 2013 ini tepat 15 tahun ulang tahun reformasi. Reformasi merupakan drama politik yang menegangkan serta menentukan masa depan bangsa dan hanya berlangsung selama beberapa hari.
Barangkali tak lebih dari 10.000 manusia di Jakarta selama berhari-hari, praktis selama 24 jam dalam bulan Mei 1998, yang saling unjuk gigi tanpa henti. Itulah elite politik dari sejumlah kalangan yang bertempur atas nama demokrasi.

Sebagian menilai reformasi sebagai perjuangan yang sukses, setelah demonstrasi mahasiswa berhasil memaksa Presiden Soeharto mengundurkan diri. Namun, sebagian menilai reformasi gagal karena sekadar ”Orde Baru plus demokrasi”.

Lalu apa yang keliru dengan bangsa ini? Sampai saat ini, setelah 15 tahun, kita masih debat kusir mengenai apa sesungguhnya makna ”reformasi”.

Inilah pertanyaan pokok yang mengganggu benak kita hampir setiap hari, sejak reformasi. Padahal, kita sudah menempuh perjalanan panjang, hampir 68 tahun merdeka sejak Proklamasi.

Semestinya sekarang ini kita, ibaratnya, sudah ”ongkang-ongkang kaki”. Pada kenyataannya, kita kadang merasa masih dijajah oleh kompeni.

Satu masalah selesai, eh, tiba-tiba muncul sepuluh masalah lain lagi. Masih beruntung rakyat sudah mampu berjalan sendiri walaupun pemerintah sering lupa diri.

Korupsi, kekerasan, konflik etnis, bencana alam, kebodohan, dan kekonyolan terus saja terjadi. Tak usah jauh-jauh, Anda saksikan saja berita-berita menghebohkan yang disiarkan stasiun televisi.
Tiap muncul masalah, kita pasti meributkannya tanpa henti. Semua mengajukan aneka pendapat, mulai dari pejabat sampai pengamat, mulai dari tokoh sampai akademisi.

Semua keributan itu hanya berhenti sampai pada tahap teori. Namun, setelah beberapa hari, tak ada lagi yang peduli.

Tak heran Indonesia sering disebut sebagai negara gagal akibat krisis multidimensi yang terjadi sejak masa pengujung era Orde Baru. Inilah krisis berkepanjangan yang belum pernah dialami negara lain di zaman modern ini.

Banyak teori yang bisa menjelaskan penyebab krisis multidimensi ini. Salah satunya dengan memahami akar masalah bersumber dari penyalahgunaan kekuasaan oleh elite penguasa negeri ini.

Inilah elite penguasa yang hanya bergulat dengan kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, dan partai sendiri. Mereka mempraktikkan apa yang disebut Lord Acton (1834-1902), ”power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”.

Oleh sebab itulah, rasanya sia-sia jika kita berharap setelah 15 tahun reformasi akan mengantar Indonesia menuju ke era yang lebih baik. Mungkin lebih tepat kita sekarang sedang mengalami sebuah stagnasi.
Terlebih, sisa-sisa kekuatan ”Orbaba” (Orde Baru Baru) masih bercokol sampai kini. Kultur politik penguasa masih tetap sama saja sekalipun sistem politik kita sudah berganti.

Mestikah kita menempuh apa yang terjadi di Eropa timur mulai akhir 1980-an sampai awal 1990-an, yakni meletupkan revolusi? Apa daya, sebagian dari kita tidak doyan revolusi!

Apa pun, kita kini dihadapkan pada ruang politik yang bernama demokrasi. Ruang itu yang harus diisi melalui pemilu-pilpres-pilkada dengan mendorong rakyat berpartisipasi.

Namun, sasaran sebagian partai dan politisi hanya merasakan rezeki dari korupsi. Maka, kembalilah kita pada kungkungan osilasi (goyangan) waktu yang tidak berjalan sama sekali.

Terlebih lagi struktur geografis kepulauan yang membentang dari barat ke timur dan dari selatan ke utara membuat kita sukar berintegrasi. Keberagaman etnis dan budaya juga menjadi faktor bagi bangsa ini mengatur diri sendiri.

Kondisi geografis dan keragaman inilah yang membuat Indonesia akan selalu berubah tanpa henti. Sistem pemerintah modern apa pun saat ini belum tentu mampu menaungi kelimbungan kita mencari jati diri.
Sebenarnya struktur sosial kita sederhana sekali. Ada strata atas yang merupakan penguasa dan yang memengaruhi penguasa atau polity. Di tengah ada gerbang besar sekali dan di bawah ada yang tidak turut serta di dalam polity.

Pertarungan kekuasaan hanya terjadi antara kelas penguasa dan kelas gerbang, yang isinya para petualang yang mematok target ”naik kelas” menjadi penguasa pengganti. Dalam pertarungan terjadi transaksi, tipu daya, atau kerja sama yang menjelaskan betapa maraknya korupsi.

Itu juga yang menjelaskan penguasa lambat dan lamban dalam mengantisipasi dan menanggulangi krisis tiap hari. Soalnya, yang menjadi penentu bukan konstitusi, melainkan kedekatan pribadi berdasarkan persekongkolan ekonomi dan emosi.

Kita belum siap dengan demokrasi. Namun, kita tak mungkin kembali ke era sebelum reformasi.
Perandaian yang tepat seperti yang dikatakan filsuf Perancis, JJ Rousseau, tatkala ditanyai sebab musabab keruntuhan Kekaisaran Romawi. Rousseau menjawab, demokrasi tak ubahnya makanan berserat dan kaya air, yang hanya bisa dicerna perut sehat untuk diubah menjadi gizi.

Entah siapa yang mengintroduksi istilah Orde Baru (1967-1998), Orde Lama (1945-1967), dan Orde Reformasi (1998-sekarang). Apa pun yang baru pasti keren, yang lama pasti sudah usang, yang reformasi pasti jauh lebih baik lagi.

Bagaimana dengan Orde Reformasi? Saya lebih percaya kita sedang memasuki era ”deformasi”.
Kita masih dalam proses memaksa mengubah diri sendiri alias kehilangan wajah yang asli. Dan, deformasi justru lebih sering mendatangkan kerugian pada diri sendiri.

Konstitusi sudah kita ubah sesuka hati. Sistem politik campuran ”presidenter+parlemensial” (presiden gemeter kalau parlemen sedang merasa sial).

”Trias Politica” sudah kita tukar dengan ”Trias Poli-thieves” yang terdiri dari cabang kekuasaan ”execu-thieves”, ”legisla-thieves”, dan ”judica-thieves”. Ya, belakangan ini semua sudah terdeformasi menjadi pencuri. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar