Rabu, 15 Mei 2013

Nelayan Melarat di Negeri Kepulauan


Nelayan Melarat di Negeri Kepulauan
Maria Monica W ;  Peneliti di Centre for Strategic and International Studies, Jakarta
SINAR HARAPAN, 14 Mei 2013

Baru beberapa waktu yang lalu rakyat Indonesia merayakan Hari Nelayan Nasional yang jatuh pada 6 April. Namun berbagai kemelut sepertinya menggelapkan kehidupan para nelayan di Indonesia.

Akhir-akhir ini banyak nelayan yang tidak bisa berlayar karena kehabisan stok solar yang disebabkan oleh regulasi pemerintah pusat mengenai pengurangan subsidi bahan bakar yang masih belum jelas. Kenaikan air laut karena perubahan iklim juga hanyalah segelintir kemelut yang dihadapi para nelayan Indonesia.

Menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), setiap hari sekitar 116 nelayan di Indonesia terpaksa mencari pekerjaan lain dan selama tujuh tahun terakhir, sekitar 1,3 juta nelayan berpindah ke pekerjaan lain, seperti tukang ojek, pedagang kaki lima, dan pemulung sampah. Situasi ini menyebabkan penurunan jumlah nelayan tangkap di Indonesia dari 4 juta pada 2004 menjadi 2,7 juta pada 2011.

Bukan hanya degradasi laut yang telah mengurangi pasokan perikanan di kelautan Indonesia, tetapi juga meningkatnya kepemilikan pulau-pulau pribadi yang mengurangi kawasan penangkapan ikan bagi para nelayan. Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia mencatat bahwa dari 108 pulau di Kepulauan Seribu telah terjadi 72 penguasaan oleh individu atau pribadi.

Lebih dari 95 persen nelayan Indonesia masih menggunakan kapal tradisional berkapasitas di bawah 30 GT (gross ton). Kiara juga mencatat kenaikan jumlah nelayan yang menjadi korban dan meninggal dunia saat memancing di laut dengan menggunakan kapal tradisional, yaitu dari 84 (2010) menjadi 147 (2011).
Kemungkinan besar masih terdapat jumlah korban nelayan yang tidak tercatat. Besarnya jumlah sumber daya laut Indonesia yang "kecolongan" dan rendahnya daya saing armada laut kita, di mana sekitar 92 persen dari produksi ikan yang tercatat di Indonesia diperoleh dari nelayan tradisional, menciptakan suatu kondisi yang menyedihkan.

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia masih harus bergantung pada impor, bukan saja komoditas garam, tetapi juga sumber daya hasil laut terutama ikan.

Data-data mengenai produksi dan konsumsi perikanan di Indonesia juga tidak akurat karena banyaknya transaksi ilegal di tengah perairan Indonesia, terutama untuk kapal berbobot di atas 1.000 GT yang diperbolehkan melaksanakan alih muatan di tengah laut tanpa harus melapor ke pelabuhan terdekat (disebut sebagai “transshipment”).

Ketentuan ini tidak diseimbangi oleh kapasitas pengawasan di mana Dirjen Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya memiliki 73 pengawas dari 260 yang dibutuhkan. Mekanisme pelaporan semua hasil tangkapan laut untuk kapal berbobot di atas 1.000 GT masih harus ditekankan.

Saat ini sumbangan sektor kelautan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia hanya 22,4 persen, yang masih jauh di bawah Jepang, Korea Selatan, dan China. Terkait sumber pangan, produk-produk laut menyimpan sumber kekayaan protein yang besar, termasuk bagi para nelayan miskin Indonesia, namun sumber kekayaan pangan laut seringkali tercemar oleh polusi.

Pasar-pasar ikan tradisional juga seringkali terlihat kotor dan menjual ikan yang sudah diawetkan dengan formalin. Oleh sebab itu, kita juga harus berpikir mengenai bahwa penyelenggaraan pangan tidak hanya berarti kedaulatan, kemandirian, dan ketahanan pangan; tetapi juga keamanan pangan, seperti yang diamanatkan oleh UU No 18/2012 mengenai Pangan.

Ekonomi Biru

Ekonomi Biru yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan dan dibawa oleh Presiden RI ke berbagai pertemuan tingkat internasional seperti Rio+20 dan APEC di Vladivostok, Rusia, tahun lalu tidak menjawab seluruh persoalan di-atas.

Dalam hal ini persoalan implementasi dan tidak adanya koordinasi di pemerintahan sangat jelas menjadi tantangan tersendiri. Di sisi lain, terdapat hal lain yang penting yang juga menjadi masalah, yaitu visi dari negara Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.

Dr Daoed Joesoef, pendiri Centre for Strategic and International Studies dan mantan Menteri Pendidikan Nasional yang masih aktif menulis, bercerita bahwa Indonesia itu seperti benua, yang bukan menjadi bagian dari Benua Asia atau Benua Australia. Beliau juga berkata bahwa Indonesia bukan negara yang dikelilingi laut, tetapi laut yang mempunyai pulau-pulau.

Indonesia harus mempunyai visi dan mengenal jati dirinya sendiri sebagai “benua kepulauan” karena luasnya perairan Indonesia (5.8 juta km2) dan banyaknya pulau-pulau di Indonesia (17.504 pulau). Dengan pendekatan komprehensif yang didasarkan visi ini, strategi pembangunan Indonesia baru akan bisa lebih tepat sasaran dan lebih berfokus.

Strategi pembangunan yang berkelanjutan harus lebih komprehensif daripada strategi Ekonomi Hijau atau Biru atau warna-warna lainnya yang mungkin muncul di kemudian hari.

Pendekatan ini harus mencakup sistem pertahanan perairan Indonesia yang masih sangat lemah (dengan lima 
kapal patrol yang hanya beroperasi kurang dari 65 hari setiap tahunnya karena kekurangan anggaran), ketahanan pangan, infrastruktur termasuk pelabuhan, kehidupan para nelayan dan pemberdayaan mereka, pariwisata dan industri, sampai pengelolahan data.

Partisipasi dan kepemimpinan Indonesia di World Ocean Conference dan Coral Triangle Initiative patut dipuji dan dilanjutkan. Namun arti penting visi “benua kepulauan” Indonesia ini belum diresapi secara mendalam dan pendekatan yang masih bertumpu pada ego sektoral instansi terkait yang menyebabkan tidak utuhnya pendekatan yang dipakai dalam pemanfaatan sumber daya laut yang berkelanjutan dalam pembangunan Indonesia.

Jadikanlah laut sebagai pendamai yang bukan memecahkan, tetapi justru menyatukan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Kekurangan dan kelebihan dari “benua kepulauan” ini harus dipahami.

Bayangkan, dengan teknologi laut, kita bisa memotong biaya gesekan karena air—berbeda dengan daratan—tidak mempunyai biaya gesekan (frictional costs). Ingatlah istilah “Tanah Air”. Di dalam lagu nasional ciptaan Ibu Soed ini, marilah kita nyanyikan kata “tanah-ku” dengan “air-ku” yang patut kita cintai, hargai, tak lupakan dan banggakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar