|
SINAR
HARAPAN, 14 Mei 2013
Baru
beberapa waktu yang lalu rakyat Indonesia merayakan Hari Nelayan Nasional yang
jatuh pada 6 April. Namun berbagai kemelut sepertinya menggelapkan kehidupan
para nelayan di Indonesia.
Akhir-akhir
ini banyak nelayan yang tidak bisa berlayar karena kehabisan stok solar yang
disebabkan oleh regulasi pemerintah pusat mengenai pengurangan subsidi bahan
bakar yang masih belum jelas. Kenaikan air laut karena perubahan iklim juga
hanyalah segelintir kemelut yang dihadapi para nelayan Indonesia.
Menurut
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), setiap hari sekitar 116
nelayan di Indonesia terpaksa mencari pekerjaan lain dan selama tujuh tahun
terakhir, sekitar 1,3 juta nelayan berpindah ke pekerjaan lain, seperti tukang
ojek, pedagang kaki lima, dan pemulung sampah. Situasi ini menyebabkan
penurunan jumlah nelayan tangkap di Indonesia dari 4 juta pada 2004 menjadi 2,7
juta pada 2011.
Bukan
hanya degradasi laut yang telah mengurangi pasokan perikanan di kelautan
Indonesia, tetapi juga meningkatnya kepemilikan pulau-pulau pribadi yang
mengurangi kawasan penangkapan ikan bagi para nelayan. Kesatuan Nelayan
Tradisional Indonesia mencatat bahwa dari 108 pulau di Kepulauan Seribu telah
terjadi 72 penguasaan oleh individu atau pribadi.
Lebih
dari 95 persen nelayan Indonesia masih menggunakan kapal tradisional
berkapasitas di bawah 30 GT (gross ton). Kiara juga mencatat kenaikan jumlah
nelayan yang menjadi korban dan meninggal dunia saat memancing di laut dengan
menggunakan kapal tradisional, yaitu dari 84 (2010) menjadi 147 (2011).
Kemungkinan
besar masih terdapat jumlah korban nelayan yang tidak tercatat. Besarnya jumlah
sumber daya laut Indonesia yang "kecolongan" dan rendahnya daya saing
armada laut kita, di mana sekitar 92 persen dari produksi ikan yang tercatat di
Indonesia diperoleh dari nelayan tradisional, menciptakan suatu kondisi yang
menyedihkan.
Indonesia
sebagai negara kepulauan terbesar di dunia masih harus bergantung pada impor,
bukan saja komoditas garam, tetapi juga sumber daya hasil laut terutama ikan.
Data-data
mengenai produksi dan konsumsi perikanan di Indonesia juga tidak akurat karena
banyaknya transaksi ilegal di tengah perairan Indonesia, terutama untuk kapal
berbobot di atas 1.000 GT yang diperbolehkan melaksanakan alih muatan di tengah
laut tanpa harus melapor ke pelabuhan terdekat (disebut sebagai
“transshipment”).
Ketentuan
ini tidak diseimbangi oleh kapasitas pengawasan di mana Dirjen Perikanan
Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan hanya memiliki 73 pengawas dari 260
yang dibutuhkan. Mekanisme pelaporan semua hasil tangkapan laut untuk kapal
berbobot di atas 1.000 GT masih harus ditekankan.
Saat
ini sumbangan sektor kelautan terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia
hanya 22,4 persen, yang masih jauh di bawah Jepang, Korea Selatan, dan China.
Terkait sumber pangan, produk-produk laut menyimpan sumber kekayaan protein
yang besar, termasuk bagi para nelayan miskin Indonesia, namun sumber kekayaan
pangan laut seringkali tercemar oleh polusi.
Pasar-pasar
ikan tradisional juga seringkali terlihat kotor dan menjual ikan yang sudah
diawetkan dengan formalin. Oleh sebab itu, kita juga harus berpikir mengenai
bahwa penyelenggaraan pangan tidak hanya berarti kedaulatan, kemandirian, dan
ketahanan pangan; tetapi juga keamanan pangan, seperti yang diamanatkan oleh UU
No 18/2012 mengenai Pangan.
Ekonomi
Biru
Ekonomi
Biru yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan dan dibawa oleh Presiden RI ke
berbagai pertemuan tingkat internasional seperti Rio+20 dan APEC di
Vladivostok, Rusia, tahun lalu tidak menjawab seluruh persoalan di-atas.
Dalam
hal ini persoalan implementasi dan tidak adanya koordinasi di pemerintahan
sangat jelas menjadi tantangan tersendiri. Di sisi lain, terdapat hal lain yang
penting yang juga menjadi masalah, yaitu visi dari negara Indonesia sebagai
negara kepulauan terbesar di dunia.
Dr
Daoed Joesoef, pendiri Centre for
Strategic and International Studies dan mantan Menteri Pendidikan Nasional
yang masih aktif menulis, bercerita bahwa Indonesia itu seperti benua, yang
bukan menjadi bagian dari Benua Asia atau Benua Australia. Beliau juga berkata
bahwa Indonesia bukan negara yang dikelilingi laut, tetapi laut yang mempunyai
pulau-pulau.
Indonesia
harus mempunyai visi dan mengenal jati dirinya sendiri sebagai “benua
kepulauan” karena luasnya perairan Indonesia (5.8 juta km2) dan banyaknya
pulau-pulau di Indonesia (17.504 pulau). Dengan pendekatan komprehensif yang
didasarkan visi ini, strategi pembangunan Indonesia baru akan bisa lebih tepat
sasaran dan lebih berfokus.
Strategi
pembangunan yang berkelanjutan harus lebih komprehensif daripada strategi
Ekonomi Hijau atau Biru atau warna-warna lainnya yang mungkin muncul di
kemudian hari.
Pendekatan
ini harus mencakup sistem pertahanan perairan Indonesia yang masih sangat lemah
(dengan lima
kapal patrol yang hanya beroperasi kurang dari 65 hari setiap
tahunnya karena kekurangan anggaran), ketahanan pangan, infrastruktur termasuk
pelabuhan, kehidupan para nelayan dan pemberdayaan mereka, pariwisata dan
industri, sampai pengelolahan data.
Partisipasi
dan kepemimpinan Indonesia di World Ocean
Conference dan Coral Triangle
Initiative patut dipuji dan dilanjutkan. Namun arti penting visi “benua
kepulauan” Indonesia ini belum diresapi secara mendalam dan pendekatan yang
masih bertumpu pada ego sektoral instansi terkait yang menyebabkan tidak
utuhnya pendekatan yang dipakai dalam pemanfaatan sumber daya laut yang
berkelanjutan dalam pembangunan Indonesia.
Jadikanlah
laut sebagai pendamai yang bukan memecahkan, tetapi justru menyatukan Negara
Kesatuan Republik Indonesia ini. Kekurangan dan kelebihan dari “benua
kepulauan” ini harus dipahami.
Bayangkan,
dengan teknologi laut, kita bisa memotong biaya gesekan karena air—berbeda
dengan daratan—tidak mempunyai biaya gesekan (frictional costs). Ingatlah istilah “Tanah Air”. Di dalam lagu
nasional ciptaan Ibu Soed ini, marilah kita nyanyikan kata “tanah-ku” dengan
“air-ku” yang patut kita cintai, hargai, tak lupakan dan banggakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar