Rabu, 15 Mei 2013

Proses Destruktif Harga BBM


Proses Destruktif Harga BBM
Bambang Soesatyo ;  Anggota DPR, Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
SUARA MERDEKA, 14 Mei 2013

RANGKAIAN proses yang ditempuh pemerintah untuk menetapkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi benar-benar merusak. Bahkan proses itu bisa kita sebut destruktif bila dikaitkan dengan konteks menjaga kepentingan rakyat. Lalu lintas barang, termasuk kebutuhan pokok tersendat akibat kelangkaan solar. Kelangkaan premium pun membuat kegiatan dan mobilitas penduduk terganggu.

Biasanya, akibat kelangkaan BBM, tarif transportasi dinaikkan karena pengemudi harus membayar harga bahan bakar lebih mahal. Untuk alasan yang sama, harga kebutuhan pokok yang diangkut dari perkebunan, dinaikkan. Kalau sudah naik sebelum harga baru diberlakukan, harga aneka kebutuhan pokok terus terdongkrak. ’’Kerusakan’’ lain pasti terlihat pada laju inflasi.

Kerusakan demi kerusakan itu terjadi di tengah proses penetapan harga baru bahan bakar bersubsidi yang bertele-tele, sarat wacana dengan gagasan amatiran, seperti tercermin dari ide dua harga untuk BBM bersubsidi pada pasar yang sama. Situasi sekarang penuh dengan ketidakpastian sehingga mendorong aksi spekulan.

Ketidakpastian itu bahkan bisa berlarut-larut karena pemerintah --sebagai penggagas kenaikan harga BBM bersubsidi-- justru memilih menunggu tanggapan DPR atas proposal dana kompensasi kenaikan harga bahan bakar. Padahal proposal itu baru akan dibahas beberapa pekan mendatang. Apa jadinya kalau parlemen tak menyetujui proposal?

Pemerintah berwenang menaikkan dan menurunkan harga BBM, termasuk menambah atau mengurangi volume. Bahkan UU tentang APBN 2013 memberikan wewenang penuh kepada pemerintah untuk memutuskan rencana menaikkan harga bahan bakar bersubsidi, tanpa harus berkonsultasi dengan DPR.

Bila pemerintah berani menggunakan wewenang itu, kekarutmarutan itu selesai. Realitasnya, kini rakyat dihadapkan pada perilaku pemerintah yang hanya berani berwacana tetapi takut mengambil keputusan. Akibatnya, ketidakpastian terkini iyu sudah merusak banyak aspek kehidupan rakyat.

Kebijakan menaikkan dan menurunkan harga bahan bakar bersubsidi adalah sebuah sejarah panjang. Pemerintah mestinya belajar dari sejarah itu, semisal bagaimana melokalisasi rencana menaikkan harga guna mencegah ’’kerusakan’’ sebagaimana terjadi sekarang. Bila belum bisa memfinalkan rencana kenaikan harga, sebaiknya tidak mewacanakan dulu di ruang publik.

Pemerintah mesti berkaca pada pengalaman bahwa begitu mewacanakan rencana menaikkan harga BBM bersubsidi, di lapangan muncul ekses dalam beragam bentuk. Dari penimbunan bahan bakar yang menyebabkan kelangkaan hingga kemeroketan harga. Terasa aneh karena pemerintahan sekarang ini tidak mau belajar dari sejarah.

Sudah lebih dari setahun persoalan ini diwacanakan. Terakhir, Presiden SBY mengisya­ratkan rencana menaikkan harga pada bulan ini. Namun dia tidak mempertegas dan tidak memperjelas mengenai ketentuan waktunya, malah memilih menunggu persetujuan DPR atas proposal dana kompensasi dalam APBN-P 2013.

Itu sama artinya pemerintah menyerahkan sebagian persoalan kepada DPR. Kesimpulan sementara dari posisi pemerintah yang demikian adalah harga BBM bersubsidi akan dinaikkan jika wakil rakyat menyetujui proposal dana kompensasi.

Bagaimana jika parlemen menolak proposal itu? Apakah persoalannya akan diambangkan seperti sekarang, atau pemerintah berani mengumumkan pembatalan kenaikan harga bahan bakar bersubsidi demi mengakhiri ketidakpastian?

Sentimen Menolak

Hampir pasti bahwa proposal yang diajukan pemerintah akan menimbulkan kebisingan baru di DPR. Terlebih di parlemen berkembang sentimen untuk menolak proposal itu mengingat ada program yang serupa dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk warga miskin. Kekuatan-kekuatan politik di DPR tentu akan belajar dari pengalaman menjelang Pemilu 2009.

Waktu itu BLT dijadikan alat politik oleh partai penguasa guna meraih simpati pemilih. Kekuatan politik tertentu dalam koalisi pemerintahan saat ini sedang mengonsolidasikan posisi masing-masing menuju Pemilu 2014.  Mereka merancang dana itu sebagai kuda tunggangan pendongkrak citra.

Target dan sasaran program dana kompensasi cenderung mengada-ada. Bukankah kompensasi beras untuk warga miskin (raskin) sudah masuk dalam program kerja Kantor Menko Kesra. Bantuan bagi siswa miskin juga tak memerlukan inisiatif baru karena alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan itu wajib melayani kebutuhan siswa miskin.

Alasan lain untuk menolak proposal itu adalah fakta bahwa pemerintah belum efektif mengelola BBM bersubsidi karena volume pencurian atau penyelundupan masih tinggi. Pemerintah belum all out memerangi penyelundupan BBM bersubsidi. Alih-alih memperketat pengawasan, pemerintah justru lebih memilih menambah kuota BBM bersubsidi.

Layak mempertanyakan  Menteri ESDM begitu ringan tangan menambah kuota bahan bakar bersubsidi 2013 menjadi 48,5 juta kiloliter. Seharusnya, kementerian tersebut meningkatkan sinergi dengan Polri dan pihak terkait lainnya guna memperkecil akses penyelundupan bahan bakar bersubsidi.

Sekalipun tampak populis, program dana kompensasi kenaikan harga BBM tidak diperlukan. Keadaan akan baik-baik saja setelah kenaikan harga BBM bersubsidi  jika pemerintah sigap dan bekerja keras menetralisasi harga di pasar, dan aktif melancarkan operasi pasar guna mengendalikan harga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar