|
SUARA
MERDEKA, 14 Mei 2013
RANGKAIAN
proses yang ditempuh pemerintah untuk menetapkan kenaikan harga bahan bakar
minyak (BBM) bersubsidi benar-benar merusak. Bahkan proses itu bisa kita sebut
destruktif bila dikaitkan dengan konteks menjaga kepentingan rakyat. Lalu
lintas barang, termasuk kebutuhan pokok tersendat akibat kelangkaan solar.
Kelangkaan premium pun membuat kegiatan dan mobilitas penduduk terganggu.
Biasanya,
akibat kelangkaan BBM, tarif transportasi dinaikkan karena pengemudi harus
membayar harga bahan bakar lebih mahal. Untuk alasan yang sama, harga kebutuhan
pokok yang diangkut dari perkebunan, dinaikkan. Kalau sudah naik sebelum harga
baru diberlakukan, harga aneka kebutuhan pokok terus terdongkrak. ’’Kerusakan’’
lain pasti terlihat pada laju inflasi.
Kerusakan
demi kerusakan itu terjadi di tengah proses penetapan harga baru bahan bakar
bersubsidi yang bertele-tele, sarat wacana dengan gagasan amatiran, seperti
tercermin dari ide dua harga untuk BBM bersubsidi pada pasar yang sama. Situasi
sekarang penuh dengan ketidakpastian sehingga mendorong aksi spekulan.
Ketidakpastian
itu bahkan bisa berlarut-larut karena pemerintah --sebagai penggagas kenaikan
harga BBM bersubsidi-- justru memilih menunggu tanggapan DPR atas proposal dana
kompensasi kenaikan harga bahan bakar. Padahal proposal itu baru akan dibahas
beberapa pekan mendatang. Apa jadinya kalau parlemen tak menyetujui proposal?
Pemerintah
berwenang menaikkan dan menurunkan harga BBM, termasuk menambah atau mengurangi
volume. Bahkan UU tentang APBN 2013 memberikan wewenang penuh kepada pemerintah
untuk memutuskan rencana menaikkan harga bahan bakar bersubsidi, tanpa harus
berkonsultasi dengan DPR.
Bila
pemerintah berani menggunakan wewenang itu, kekarutmarutan itu selesai.
Realitasnya, kini rakyat dihadapkan pada perilaku pemerintah yang hanya berani
berwacana tetapi takut mengambil keputusan. Akibatnya, ketidakpastian terkini
iyu sudah merusak banyak aspek kehidupan rakyat.
Kebijakan
menaikkan dan menurunkan harga bahan bakar bersubsidi adalah sebuah sejarah
panjang. Pemerintah mestinya belajar dari sejarah itu, semisal bagaimana
melokalisasi rencana menaikkan harga guna mencegah ’’kerusakan’’ sebagaimana
terjadi sekarang. Bila belum bisa memfinalkan rencana kenaikan harga, sebaiknya
tidak mewacanakan dulu di ruang publik.
Pemerintah
mesti berkaca pada pengalaman bahwa begitu mewacanakan rencana menaikkan harga
BBM bersubsidi, di lapangan muncul ekses dalam beragam bentuk. Dari penimbunan
bahan bakar yang menyebabkan kelangkaan hingga kemeroketan harga. Terasa aneh
karena pemerintahan sekarang ini tidak mau belajar dari sejarah.
Sudah
lebih dari setahun persoalan ini diwacanakan. Terakhir, Presiden SBY mengisyaratkan
rencana menaikkan harga pada bulan ini. Namun dia tidak mempertegas dan tidak
memperjelas mengenai ketentuan waktunya, malah memilih menunggu persetujuan DPR
atas proposal dana kompensasi dalam APBN-P 2013.
Itu
sama artinya pemerintah menyerahkan sebagian persoalan kepada DPR. Kesimpulan
sementara dari posisi pemerintah yang demikian adalah harga BBM bersubsidi akan
dinaikkan jika wakil rakyat menyetujui proposal dana kompensasi.
Bagaimana
jika parlemen menolak proposal itu? Apakah persoalannya akan diambangkan
seperti sekarang, atau pemerintah berani mengumumkan pembatalan kenaikan harga
bahan bakar bersubsidi demi mengakhiri ketidakpastian?
Sentimen Menolak
Hampir
pasti bahwa proposal yang diajukan pemerintah akan menimbulkan kebisingan baru
di DPR. Terlebih di parlemen berkembang sentimen untuk menolak proposal itu
mengingat ada program yang serupa dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk
warga miskin. Kekuatan-kekuatan politik di DPR tentu akan belajar dari
pengalaman menjelang Pemilu 2009.
Waktu
itu BLT dijadikan alat politik oleh partai penguasa guna meraih simpati
pemilih. Kekuatan politik tertentu dalam koalisi pemerintahan saat ini sedang
mengonsolidasikan posisi masing-masing menuju Pemilu 2014. Mereka
merancang dana itu sebagai kuda tunggangan pendongkrak citra.
Target
dan sasaran program dana kompensasi cenderung mengada-ada. Bukankah kompensasi
beras untuk warga miskin (raskin) sudah masuk dalam program kerja Kantor Menko
Kesra. Bantuan bagi siswa miskin juga tak memerlukan inisiatif baru karena
alokasi 20% APBN untuk sektor pendidikan itu wajib melayani kebutuhan siswa
miskin.
Alasan
lain untuk menolak proposal itu adalah fakta bahwa pemerintah belum efektif
mengelola BBM bersubsidi karena volume pencurian atau penyelundupan masih tinggi.
Pemerintah belum all out memerangi penyelundupan BBM bersubsidi. Alih-alih
memperketat pengawasan, pemerintah justru lebih memilih menambah kuota BBM
bersubsidi.
Layak
mempertanyakan Menteri ESDM begitu ringan tangan menambah kuota bahan
bakar bersubsidi 2013 menjadi 48,5 juta kiloliter. Seharusnya, kementerian
tersebut meningkatkan sinergi dengan Polri dan pihak terkait lainnya guna
memperkecil akses penyelundupan bahan bakar bersubsidi.
Sekalipun
tampak populis, program dana kompensasi kenaikan harga BBM tidak diperlukan.
Keadaan akan baik-baik saja setelah kenaikan harga BBM bersubsidi jika
pemerintah sigap dan bekerja keras menetralisasi harga di pasar, dan aktif
melancarkan operasi pasar guna mengendalikan harga. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar