Rabu, 15 Mei 2013

Moratoriumkan Produksi Minyak?


Moratoriumkan Produksi Minyak?
Effnu Subiyanto ;  Peneliti dan Pendiri Forum Pengamat Kebijakan Publik (Forkep), Mahasiswa Doktor Ekonomi Unair
SUARA KARYA, 15 Mei 2013


Dasar pemikiran mengapa rakyat mempertanyakan rencana kebijakan kenaikan harga BBM atau pembatasan BBM dan mungkin ada turunan kebijakan lain yang serupa, adalah persoalan keadilan. Pangkal persoalannya secara legal adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan, "Bumi, air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat."

Jadi, yang jadi subjek adalah sumber minyak mentah Indonesia yang notabene ada di bawah bumi dan air kita, seharusnya tunduk pada substansi amanat Pasal 33 jika rakyat negeri ini memerlukannya. Menjadi kewajiban pemerintah untuk menggali bahan ini sampai mengolah menjadi produk yang siap dikonsumsi rakyat dengan harga yang kompetitif dibanding harga di negara lain yang tidak memilikinya. Inilah esensi utama karakteristik yang membedakan antara negara satu dan negara lainnya. Antara negara yang dikaruniai kekayaan alam dalam bentuk sumber minyak mentah dan negara lain yang tidak memilikinya sama sekali.

Dalam soal BBM, akhir-akhir ini rasa keadilan rakyat terusik karena faktanya ada sekitar 303 kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) migas, 230 KKKS masih dalam tahap eksplorasi, dan 77 KKKS sudah berproduksi komersial pada awal 2013. KKKS yang komersial itu kini memompa sumur-sumur minyak Indonesia pada 172 daerah eksplorasi dikoordinasikan oleh holding SKK Migas. Namun, kenyataannya rakyat Indonesia dituntut untuk membayar harga BBM dengan harga pasar. Melihat kondisi ini, tentu sudah tidak ada artinya lagi privilege dengan menghasilkan 861 ribu barel per hari pada tahun lalu. Kendati produksi minyak nasional terus menurun, faktanya kita masih memiliki minyak.

Subjek lain yang dipersoalkan rakyat adalah kepatutan dan kewajaran harga BBM. Menurut pemerintah, harga keekonomian BBM jenis premium tahun 2013 seharusnya Rp 9.000 per liter atau subsidi Rp 4.500 per liter. Kini ketika alasan tensi geopolitik Timur Tengah agak memanas, kabarnya harga keekonomian BBM jenis premium sudah mencapai Rp 10.000 per liter atau pemerintah memberikan subsidi Rp 5.500.

Ada dua alasan yang disodorkan pemerintah terhadap harga BBM, keinginan mengikuti harga pasar internasional atau kekurangan produksi minyak mentah nasional. Yang ditonjolkan pemerintah, faktanya adalah harga keekonomian internasional hasil komparasi di negara lain. Padahal, keakuratan menentukan harga dengan pola perbandingan harga antarnegara sebetulnya sangat diragukan kredibilitasnya, karena sejatinya selalu ada komponen subsidi di setiap negara yang tidak bisa kita dapatkan informasinya.

Masing-masing negara tentu memiliki alasan sendiri, ada kepentingan take and give. Negara memberikan subsidi, sebagai gantinya negara memperoleh pendapatan yang justru nanti lebih besar dari subsidi yang diberikan.

Jangan heran, mengapa harga BBM di setiap negara selalu bervariasi. Singapura, misalnya, kini SGD 2,07 (RON 95) atau setara Rp 14.684 per liter. (Harap diketahui Singapura sama sekali tidak menghasilkan minyak mentah kendati setetes) Harga BBM di Malaysia adalah RM 2,8 (RON 97) atau sekitar Rp 8.041 per liter. Vietnam VND 21.300 (RON 95) setara Rp 8.760 per liter, harga di Thailand per liter THB 36,57 (RON 95) atau Rp 10.476. India INR 65 (RON 95) setara Rp 12.090 dan Australia AUD 1,494 (RON 98) setara Rp 13.500. Tentu saja jangan membandingkan dengan harga premium di Arab Saudi yang kini SAR 0,9 (RON 97) setara Rp 2.057 per liter paling tinggi.

Pemerintah kini dalam posisi dilematis karena memaksakan perbandingan harga ini sebagai dasar argumentasi untuk menaikkan harga eceran BBM. Padahal, di sisi lain rakyat juga mempertanyakan status Pasal 33 UUD 1945, bahwa faktanya bumi tempat kita berpijak juga menghasilkan minyak sendiri, kendti tidak cukup.

Jika sudah tidak ada karakteristik yang membedakan negara ini dengan negara lain dalam masalah BBM, maka langkah paling bijak dalam manajemen energi tidak terbaharukan adalah menghentikan kegiatan eksplorasi dan produksi minyak mentah tidak terkecuali. Bahan mineral yang strategis ini sebaiknya disimpan untuk diwariskan kepada anak cucu kelak agar tidak ada lagi skema pembagian produksi antara hak negara yang diwakili SKK Migas dan KKKS. Model pembagian ini lebih banyak menguntungkan KKKS dari produksi minyak mentahnya, cost recovery dan banyak lagi insentif seperti pembebasan bea masuk peralatan eksplorasi migas.

Apalagi, laporan BP Migas sebelum dibubarkan MK pada 13 November 2012 menyebutkan bahwa cadangan minyak mentah Indonesia hanya mampu bertahan sampai 13 tahun lagi atau pada tahun 2025 sudah habis jika tidak berhasil ditemukan sumur baru. Cadangan terbukti sekarang adalah 4,3 miliar barel, karena ditambang sekitar 329,2 juta barel per tahun, maka deposit minyak mentah kita hanya mampu bertahan 13 tahun lagi.

Persoalannya, apakah dengan menghentikan produksi minyak mentah Indonesia sebesar 861 ribu barel per hari akan mengubah peta konstelasi harga global dan pada akhirnya menarik perubahan harga BBM menjadi kian mahal?

Jika akhirnya memang benar terjadi dampak kenaikan BBM, maka ini adalah konsekuensi yang terpaksa harus ditelan oleh keseluruhan rakyat akibat kebijakan energi yang salah pada masa lalu. Seharusnya dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam tidak terbaharukan, nilai tambah ekstra seperti windfall profit seperti terjadi pada 1970-an tidak diakui sebagai pemasukan negara. Namun, dana itu harus dicatat sebagai bantalan jika bahan SDA itu habis suatu saat.

Baru disadari, kita kekurangan BBM sampai dengan setengah dari kapasitas yang bisa kita buat, namun tidak ada satu pun langkah bijak pemerintah kecuali memaksakan kenaikan harga BBM atau pembatasan. Benar sudah apa yang dikatakan oleh Joseph E Stiglitz (2001) bahwa sudah terjadi kutukan minyak (resource course) karena abai dalam kebijakan energi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar