|
SUARA
KARYA, 15 Mei 2013
Setelah melalui perjalanan panjang
dan berliku, akhirnya pemerintah sampai pada kesimpulan bahwa kenaikan harga
BBM bersubsidi akan diterapkan. Namun, kapan tindakan itu mulai berlaku, masih
menjadi teka-teki karena belakangan ini pemerintah masih membahasnya dengan
DPR.
Menurut rencana pemerintah,
premium akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500 per liter yang berarti naik
sekitar 44,4 persen dan solar akan naik dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500 per
liter atau naik Rp 1.000 atau sekitar 22,2 persen. Dengan kenaikan itu,
pemerintah akan mengirit subsidi BBM sekitar Rp 75 triliun. Karena itu, apabila
jumlah konsumsi BBM bersubsidi sesuai dengan perkiraan sebelumnya, maka jumlah
subsidi akan dapat dikurangi dalam jumlah yang sangat berarti.
Hampir dapat dipastikan, dana
subsidi yang dihemat itu akan digunakan untuk tujuan tertentu. Tujuan utamanya
adalah untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan harga BBM
terhadap golongan masyarakat tertentu, khususnya golongan masyarakat
berpendapatan rendah.
Yang menjadi pertanyaan dan selalu
menjadi bahan perdebatan adalah berapa besar dana yang akan dialokasikan dan
bentuknya seperti apa. Apakah dalam bentuk bantuan keuangan tunai, bantuan
berupa bahan makanan seperti raskin (beras miskin), pengobatan, dan pendidikan?
Atau, untuk menggerakkan golongan masyarakat mengerjakan pekerjaan tertentu
seperti memperbaiki saluran, selokan atau gorong-gorong, memperbaiki jalan
pedesaan dan selanjutnya diberi upah.
Dalam beberapa tahun belakangan
ini tidak pernah terdengar atau diberitakan bahwa mereka yang memiliki
kendaraan bermotor dan mengonsumsi premium berusaha mengembalikan subsidi BBM
yang mereka terima. Dengan demikian, sangat menggelikan apabila ada di antara
mereka yang menyatakan tidak setuju atas pemberian bantuan langsung tunai (BLT)
yang hanya bersifat sementara.
Apakah selalu tepat dan terbaik
memberi pancing kepada mereka yang tidak mampu dan tidak tahu memancing? Jika
perhitungan lembaga-lembaga penelitian yang menyimpulkan bahwa sekitar 80
persen dari subsidi BBM dinikmati oleh golongan masyarakat mampu benar adanya,
maka dalam dua tahun terakhir (2010 dan 2011), golongan mampu telah menikmati
subsidi paling sedikit Rp 186 triliun.
Kalau BLT dalam tahun ini
diberikan dalam jumlah, misalnya, 20-30 triliun rupiah, apakah jumlah itu dapat
dianggap sebanding dengan subsidi yang telah dinikmati oleh golongan masyarakat
mampu?
Dari dulu telah diketahui bahwa
BBM bagi Indonesia adalah komoditas ekonomi dan sekaligus komoditas politik.
Dalam cara pandang seperti ini adalah wajar apabila masing-masing partai
politik berupaya memaksimalkan manfaat atau meminimalisasi risiko atau kerugian
sebagai akibat terjadinya perubahan yang menyangkut BBM tersebut.
Yang tidak wajar dan perlu dilawan
adalah apabila terjadi manipulasi dari kebijakan yang dicanangkan dan
diterapkan, misalnya dengan menyatakan bahwa pemberian raskin atau BLT, dananya
adalah dari partai tertentu atau partai yang berkuasa. Oleh karena itu, yang
dibutuhkan pada saat ini adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat bahwa
manfaat yang mereka terima adalah uang masyarakat atau pemberian negara.
Dalam hal ini, partai-partai
politik sangat dibutuhkan melakukan kampanye bahwa bantuan yang diterima
golongan masyarakat tertentu, apabila memang ada, adalah bantuan dari negara,
bukan membangun opini yang menghancurkan trust,
dengan menumbuhkembangkan kecurigaan yang seharusnya tidak perlu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar