|
MEDIA INDONESIA, 24 Mei 2013
SUATU ketika Ombudsman Republik
Indonesia diangankan sejajar dengan lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan
yudikatif. Namun kenyataannya, sampai sekarang Ombudsman RI belum banyak
dikenal dan belum diketahui benar arti pentingnya, baik oleh masyarakat maupun
penyelenggara negara umumnya. Sekalipun pernah ada usul agar dibuat slogan
‘Jika mengalami praktik maladministrasi segeralah berobat ke Ombudsman’. Konsep
yang terkandung dalam slogan itu memiliki dua landasan hukum: UU No 37 Tahun
2008 tentang Ombudsman RI dan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.
Model pengawasan Ombudsman sudah dikenal lama dalam
peradaban manusia. Sejak masa kekaisaran Romawi kuno ada tribunal yang
menjalankan tugas Ombudsman, yakni melindungi hakhak masyarakat dari
penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa. China sejak 225 Masehi, pada masa
Dinasti Tsin, membentuk lembaga pengawas yang disebut Censorate dengan tugas mengawasi perilaku para pejabat kekaisaran
dan menjalankan fungsi sebagai perantara bagi masyarakat yang ingin
menyampaikan aspirasi ataupun keluhan kepada kaisar. Itu membuktikan, sejak
dulu manusia sadar akan kelemahannya dan berupaya mengatasinya.
Di Indonesia, tahap awal Ombudsman RI berasal dari konsep
Swedia (1809). Dean M. Gottehrer, Presiden Ombudsman Amerika Serikat,
menyatakan bahwa kelembagaan itu tumbuh dari prinsip keadilan dalam sistem
ketatanegaraan Islam, yang berkembang pada masa Khalifah Umar bin Khattab di
abad ke-7 Masehi. Tokoh tersebut menjadi mediator dalam penyelesaian
perselisihan antara warga dan pejabat pemerintah.
Pada 1709, Raja Swedia Charle XII mengungsi ke Turki karena
kalah dalam perang melawan Rusia. Pada waktu itulah, raja Swedia itu
berkesempatan mendalami lembaga Qadhi al-Qudhaat yang berfungsi sebagai
Ombudsman. Sekembalinya ke Swedia, ia membentuk lembaga serupa dengan nama
`Ombudsman', yang menurut bahasa Skandinavia artinya pengawas penyelenggara
negara. Ide itulah yang sampai ke Indonesia.
Kini sekitar 150 negara di dunia memiliki lembaga
Ombudsman. Meskipun lembaga itu menjadi keharusan di negara-negara demokrasi,
tetapi gagasan itu berkembang juga di negara-negara berpaham lain, seperti RRC
dan Vietnam.
Di Indonesia, upaya pembentukan lembaga Ombudsman oleh pemerintah dirintis di
masa pemerintahan BJ Habibie, setelah pemerintahan Orde Baru lengser. Pada masa
pemerintahan Abdurrahman Wahid, Komisi Ombudsman Indonesia (KON) diresmikan
melalui Keppres No 44/2000, sebagai bagian dari program pembangunan demokrasi
dengan menghidupkan mekanisme checks and
balances.
Tantangan
mengatasi krisis
Kekisruhan yang kita saksikan di hampir semua sektor
kehidupan sekarang ini membuktikan makin menipisnya kepercayaan publik terhadap
sesama dan terhadap kebijakan negara. Terorisme, premanisme, geng motor,
demodemo mahasiswa, dan buruh, penolakan penggusuran, serta korupsi
besar-besaran yang marak di lembaga-lembaga pemerintahan dan politik
menimbulkan rasa cemas dan tidak nyaman bagi masyarakat banyak. Belum lagi
perlawanan yang nyata-nyata ditunjukkan kepada yang pihak yang berwajib.
Sebenarnya Ombudsman RI ditantang ikut mengatasi, selain
KPK, lembaga-lembaga sosial dan swadaya masyarakat dan tentunya segenap lembaga
pemerintahan. Celakanya gesekan-gesekan antarlembaga berlangsung tanpa ada yang
merasa berkewajiban menjadi perantara. Lewat media massa, rakyat bertindak
sebagai juri. Quo Vadis Ombudsman?
Ombudsman diharapkan menjadi lembaga publik yang mandiri
secara struktural ataupun fungsional. Dia juga diharapkan menjalankan ideologi
negara dan mengusahakan terciptanya keadilan serta kelancaran administrasi
negara yang bersih dan jujur dengan mengedepankan supremasi hukum. Keberhasilan
lembaga sangat bergantung kepada mereka yang memegang fungsi dalam lembaga. Mereka
berperan penting karena dianggap yang bertanggung jawab atas sukses tidaknya
misi lembaga. Demikian menurut ‘Ombudsman Indonesia’ (2002).
Peran Ombudsman dalam sosial-politik
Sekalipun lembaga Ombudsman sudah
dikenal di 150 negara di dunia, tetapi kebanyakan tidak memiliki wewenang untuk
memulai prosedur hukum atau penuntutan berdasarkan keluhan publik. Dia lebih
berperan sebagai perantara dalam proses politik untuk kepentingan publik.
Namun, menurut Wikipedia, sejak 1960 peran Ombudsman
semakin tumbuh di Amerika dan Kanada, khususnya di berbagai korporasi,
universitas, dan lembaga-lembaga pemerintahan.
Organisasi Ombudsman kemudian bertindak sebagai pihak
netral dan memiliki kedudukan tinggi di organisasi, tetapi bukan bagian dari
manajemen eksekutif. Dia bisa menjadi perantara dalam konflik, menelusuri
bidang-bidang permasalahannya, dan membuat saran-saran perubahan kebijakan atau
prosedur untuk mendukung dilakukannya perubahan sistem secara teratur.
Pada tahun ini, Ombudsman RI tepat berusia 13 tahun, sesuai
keputusan tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Sejak saat itulah
sebenarnya Indonesia memasuki tahap baru dalam sistem pengawasan
penyelenggaraan negara.
Ombudsman sekarang sudah berupa lembaga. Sayangnya,
perannya belum banyak dikenal. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap kinerja
penyelenggara negara menurun, Ombudsman sekarang seharusnya hadir untuk
menghidupkan kembali kepercayaan itu.
Ombudsman tentu akan besar pula pengaruhnya terhadap
perbaikan di lembaga-lembaga nonpemerintah. Seandainya kiprahnya mendapat
dukungan penuh rakyat, seperti dukungan yang diperoleh KPK sekarang,
pengaruhnya tentu amat kuat untuk perbaikan kinerja berbagai lembaga, baik
publik maupun swasta. Dengan adanya Ombudsman dan KPK yang bertindak sebagai
badan pengawas yang ideal, ke depan situasi sosial-politik dipastikan jauh
lebih baik ketimbang sekarang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar