Sabtu, 25 Mei 2013

Mengangankan Peran Ombudsman

Mengangankan Peran Ombudsman
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 24 Mei 2013


SUATU ketika Ombudsman Republik Indonesia diangankan sejajar dengan lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Namun kenyataannya, sampai sekarang Ombudsman RI belum banyak dikenal dan belum diketahui benar arti pentingnya, baik oleh masyarakat maupun penyelenggara negara umumnya. Sekalipun pernah ada usul agar dibuat slogan ‘Jika mengalami praktik maladministrasi segeralah berobat ke Ombudsman’. Konsep yang terkandung dalam slogan itu memiliki dua landasan hukum: UU No 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman RI dan UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Model pengawasan Ombudsman sudah dikenal lama dalam peradaban manusia. Sejak masa kekaisaran Romawi kuno ada tribunal yang menjalankan tugas Ombudsman, yakni melindungi hakhak masyarakat dari penyalahgunaan kekuasaan oleh para penguasa. China sejak 225 Masehi, pada masa Dinasti Tsin, membentuk lembaga pengawas yang disebut Censorate dengan tugas mengawasi perilaku para pejabat kekaisaran dan menjalankan fungsi sebagai perantara bagi masyarakat yang ingin menyampaikan aspirasi ataupun keluhan kepada kaisar. Itu membuktikan, sejak dulu manusia sadar akan kelemahannya dan berupaya mengatasinya.

Di Indonesia, tahap awal Ombudsman RI berasal dari konsep Swedia (1809). Dean M. Gottehrer, Presiden Ombudsman Amerika Serikat, menyatakan bahwa kelembagaan itu tumbuh dari prinsip keadilan dalam sistem ketatanegaraan Islam, yang berkembang pada masa Khalifah Umar bin Khattab di abad ke-7 Masehi. Tokoh tersebut menjadi mediator dalam penyelesaian perselisihan antara warga dan pejabat pemerintah.

Pada 1709, Raja Swedia Charle XII mengungsi ke Turki karena kalah dalam perang melawan Rusia. Pada waktu itulah, raja Swedia itu berkesempatan mendalami lembaga Qadhi al-Qudhaat yang berfungsi sebagai Ombudsman. Sekembalinya ke Swedia, ia membentuk lembaga serupa dengan nama `Ombudsman', yang menurut bahasa Skandinavia artinya pengawas penyelenggara negara. Ide itulah yang sampai ke Indonesia.

Kini sekitar 150 negara di dunia memiliki lembaga Ombudsman. Meskipun lembaga itu menjadi keharusan di negara-negara demokrasi, tetapi gagasan itu berkembang juga di negara-negara berpaham lain, seperti RRC dan Vietnam.
Di Indonesia, upaya pembentukan lembaga Ombudsman oleh pemerintah dirintis di masa pemerintahan BJ Habibie, setelah pemerintahan Orde Baru lengser. Pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, Komisi Ombudsman Indonesia (KON) diresmikan melalui Keppres No 44/2000, sebagai bagian dari program pembangunan demokrasi dengan menghidupkan mekanisme checks and balances.

Tantangan mengatasi krisis

Kekisruhan yang kita saksikan di hampir semua sektor kehidupan sekarang ini membuktikan makin menipisnya kepercayaan publik terhadap sesama dan terhadap kebijakan negara. Terorisme, premanisme, geng motor, demodemo mahasiswa, dan buruh, penolakan penggusuran, serta korupsi besar-besaran yang marak di lembaga-lembaga pemerintahan dan politik menimbulkan rasa cemas dan tidak nyaman bagi masyarakat banyak. Belum lagi perlawanan yang nyata-nyata ditunjukkan kepada yang pihak yang berwajib.

Sebenarnya Ombudsman RI ditantang ikut mengatasi, selain KPK, lembaga-lembaga sosial dan swadaya masyarakat dan tentunya segenap lembaga pemerintahan. Celakanya gesekan-gesekan antarlembaga berlangsung tanpa ada yang merasa berkewajiban menjadi perantara. Lewat media massa, rakyat bertindak sebagai juri. Quo Vadis Ombudsman?

Ombudsman diharapkan menjadi lembaga publik yang mandiri secara struktural ataupun fungsional. Dia juga diharapkan menjalankan ideologi negara dan mengusahakan terciptanya keadilan serta kelancaran administrasi negara yang bersih dan jujur dengan mengedepankan supremasi hukum. Keberhasilan lembaga sangat bergantung kepada mereka yang memegang fungsi dalam lembaga. Mereka berperan penting karena dianggap yang bertanggung jawab atas sukses tidaknya misi lembaga. Demikian menurut ‘Ombudsman Indonesia’ (2002).

Peran Ombudsman dalam sosial-politik

Sekalipun lembaga Ombudsman sudah dikenal di 150 negara di dunia, tetapi kebanyakan tidak memiliki wewenang untuk memulai prosedur hukum atau penuntutan berdasarkan keluhan publik. Dia lebih berperan sebagai perantara dalam proses politik untuk kepentingan publik.

Namun, menurut Wikipedia, sejak 1960 peran Ombudsman semakin tumbuh di Amerika dan Kanada, khususnya di berbagai korporasi, universitas, dan lembaga-lembaga pemerintahan.

Organisasi Ombudsman kemudian bertindak sebagai pihak netral dan memiliki kedudukan tinggi di organisasi, tetapi bukan bagian dari manajemen eksekutif. Dia bisa menjadi perantara dalam konflik, menelusuri bidang-bidang permasalahannya, dan membuat saran-saran perubahan kebijakan atau prosedur untuk mendukung dilakukannya perubahan sistem secara teratur.

Pada tahun ini, Ombudsman RI tepat berusia 13 tahun, sesuai keputusan tentang pembentukan Komisi Ombudsman Nasional. Sejak saat itulah sebenarnya Indonesia memasuki tahap baru dalam sistem pengawasan penyelenggaraan negara.

Ombudsman sekarang sudah berupa lembaga. Sayangnya, perannya belum banyak dikenal. Ketika kepercayaan masyarakat terhadap kinerja penyelenggara negara menurun, Ombudsman sekarang seharusnya hadir untuk menghidupkan kembali kepercayaan itu.


Ombudsman tentu akan besar pula pengaruhnya terhadap perbaikan di lembaga-lembaga nonpemerintah. Seandainya kiprahnya mendapat dukungan penuh rakyat, seperti dukungan yang diperoleh KPK sekarang, pengaruhnya tentu amat kuat untuk perbaikan kinerja berbagai lembaga, baik publik maupun swasta. Dengan adanya Ombudsman dan KPK yang bertindak sebagai badan pengawas yang ideal, ke depan situasi sosial-politik dipastikan jauh lebih baik ketimbang sekarang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar