Sabtu, 25 Mei 2013

Kebangkitan Calo Kekuasaan

Kebangkitan Calo Kekuasaan
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
KORAN SINDO, 24 Mei 2013



Ternyata bukan hanya proyek di kementerian Ahmad Fathanah menjadi “calo”, tetapi juga dalam pemilihan kepala daerah. Sang calo kekuasaan bisa dengan leluasa mengatur jumlah uang mahar, kemudian menghubungi pimpinan partai politik (parpol) tertentu agar diberi rekomendasi untuk diusung sebagai calon kepala daerah. 

Tentu ini tidak gratis, uang mahar dipotong Fathanah sebagai upah yang menghubungkan sang calon dengan pimpinan parpol. Hal itu diberitakan di media massa, bahwa mantan calon Gubernur Sulawesi Selatan periode 2013-2018, Ilham Arief Sirajuddin menyetor sejumlah uang sebagai mahar kepada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) melalui Fathanah. 

Realitas ini semakin memperkuat fakta tentang betapa kuatnya pengaruh para calo dalam kehidupan bernegara untuk meraih kekuasaan. Tidak jauh beda dengan sepak terjang Muhammad Nazaruddin dan Gayus Tambunan. Keduanya juga bekerja sebagai calo yang mampu mengubah kebijakan berdasarkan pesanan dengan imbalan. Para calo kekuasaan dan proyek bisa membius penentu kebijakan agar dukungan diberikan, kemudian mendistribusi dana dengan alasan sebagai biaya sosialisasi dan biaya kampanye. 

Kekuasaan Tergadai 

Para calo kekuasaan tentu berbeda dengan calo jual-beli kendaraan bermotor, sebab mereka mampu menciptakan kekuatan di lingkar kekuasaan tertentu. Fungsinya tentu saja sebagai “pengatur” dan pelobi ulung untuk menyatukan dua kepentingan. Mereka punya kemampuan berkomunikasi untuk meyakinkan banyak pihak dengan menggadaikan kekuasaan. 

Ia mencaloi berbagai kebutuhan pemegang kebijakan atau kelompok tertentu yang bermental korup. Kalau perlu, mengeluarkan kocek sendiri sebelum sang pemesan menggelontorkan dananya sesuai kebutuhan. Setelah sang pemesan membayar lunas, dana yang dikeluarkan ditambah upah calo akan dipotong, sisanya diberikan kepada sang penentu kebijakan. 

Dana yang dijadikan uang mahar–lebih tepat disebut uang suap jika mengacu pada UU Korupsi—boleh jadi berasal dari sumber yang tidak jelas. Maka, tidak mengherankan jika pada lingkar kekuasaan tertentu publik bisa melihat para calo begitu sangat berkuasa. Lihat saja bagaimana kekuatan Gayus, meski sudah meringkuk dalam tahanan polisi, tetapi bisa membuat sejumlah petinggi hukum takluk pada keinginannya. Ia melenggang bebas ke luar negeri, menonton pertandingan tenis dunia saat menjalani masa penahanan. 

Begitu pula Nazaruddin, mampu memengaruhi Badan Anggaran DPR dan mengatur anggaran berbagai proyek pemerintah. Aksi Nazaruddin malah menyeret sejumlah nama penting elite Partai Demokrat. Begitu pula Fathanah, nama baru yang populer belakangan ini, juga punya peran penting yang tak kalah dengan Nazaruddin dan Gayus. Ulah Fathanah dalam kasus impor daging sapi di Kementerian Pertanian juga menciptakan prahara di PKS. 

Kedekatannya dengan mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq malah menyeret sang pemimpin ke ruang tahanan KPK. Bukan hanya itu, Fathanah juga mampu menyihir sejumlah selebritas cantik karena pengaruh uang, hadiah mobil, perhiasan, dan jam tangan bermerek. Ternyata kehidupan pribadi Fathanah yang warna-warni itu bisa dengan mudah mengatur tokoh penting partai politik. 

Produk Reformasi 

Tidak bisa disangkal, banyaknya calo kekuasaan sebagai salah satu dampak negatif dari pemilihan langsung dan merupakan produk reformasi. Setelah 15 tahun reformasi yang ditandai dengan berhentinya Presiden Soeharto dari tampuk kekuasaan pada 20 Mei 1998, melahirkan berbagai persoalan mendasar. Temuan KPK dalam mengungkap jejaring korupsi, bisa dijadikan indikator. 

Misalnya, dalam beberapa kasus korupsi dengan pola pencucian uang, suap, dan gratifikasi sudah menjadi bagian dari gaya hidup sebagian penyelenggara negara. Terungkapnya berbagai gaya hidup sejumlah orang penting dalam pemerintahan dan penegak hukum yang bermental korup merupakan bukti dari kegagalan reformasi. Padahal, reformasi menghendaki adanya penegakan hukum yang konsisten, adanya perubahan gaya hidup dalam pemerintahan. 

Ketidakwajaran itulah yang menjelaskan ke ruang publik bahwa kegagalan reformasi bisa membawa negeri ini ke jurang kehancuran. Salah satu penyebab kegagalan reformasi lantaran para pelakonnya tidak punya visi yang jelas. Malah dibajak oleh penumpang gelap, yang pada saat gerakan reformasi bergulir justru menjadi pendukung Orde Baru. Mereka lebih banyak mengejar kepentingan sendiri dan kelompoknya. 

Begitu pula mahasiswa yang awalnya pejuang reformasi, tetapi saat masuk dalam sistem kekuasaan, justru ikut terseret arus balik reformasi dengan melakukan korupsi. Begitu kuatnya pengaruh para calo dalam penyelenggaraan kehidupan politik dan kenegaraan menunjukkan kebangkitan para calo kekuasaan yang tidak bisa dibendung. Malah membenamkan kebangkitan penegakan hukum karena memiliki celah untuk diakali. Akibatnya, korupsi dan oligarki kekuasaan yang dulu dipraktikkan rezim Orde Baru malah ditiru oleh pelaksana reformasi. 

Korupsi banyak dilakukan kalangan muda yang dulu berjuang menegakkan reformasi, melakukan politik transaksional saat duduk di parlemen. Lebih aneh lagi, meski korupsi sudah jadi penyakit mematikan tetapi belum terlihat upaya pemerintah yang lebih bertenaga untuk menghambat pergerakannya. Untuk menyetop perampokan uang negara, tidak bisa hanya dengan retorika, apalagi sekadar imbauan. Sepak terjang para calo kekuasaan seharusnya dijadikan titik penting untuk membangun kesamaan persepsi bahwa negeri ini harus dijadikan “neraka” bagi koruptor. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar