|
MEDIA INDONESIA, 24 Mei 2013
TANGGAL 25 Mei 2013 besok, umat
Buddha kembali memperingati Hari Raya Trisuci Waisak 2557. Sewajarnya peringatan
ini bisa dijadikan momen untuk kita bersama merefl eksikan diri, lingkungan,
bahkan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam konteks nilai-nilai yang
sesungguhnya terkandung dalam perayaan Waisak yang suci ini. Oleh karena itu,
mari kita sesaat melihat ke belakang, pahami situasi masa kini sehingga tahu
benar apa yang harus diperbuat di masa akan datang.
Memasuki tahun 2013, menjelang perayaan Hari Trisuci Waisak
2557/2013 Indonesia dihadapkan seperti memiliki dua wajah. Wajah yang satu sisi
memperlihatkan berbagai kemajuan, seperti pertumbuhan ekonomi yang terus
melesat, bahkan di saat beberapa negara lain meng alami kebangkrutan. Namun, di
sisi lain aksi korupsi semakin menggila, serta jumlah pengangguran dan
kemiskinan tidak kunjung berkurang.
Dalam dunia politik, sepertinya ada pendewasaan dalam
berdemokrasi. Hal tersebut bisa dilihat pada penyelenggaraan pemilihan di
sejumlah daerah yang dipilih langsung oleh rakyat. Juga kebebasan menyatakan
pendapat baik melalui pers maupun media sosial. Namun, di saat bersamaan,
suap-menyuap pemilih serta saling sikut antarpejabat semakin mengerikan. Di sektor
pendidikan juga, satu sisi tidak sedikit putra-putri Indonesia yang telah
mengharumkan nama negeri ini di sejumlah arena adu kepintaran tingkat internasional.
Namun, di sisi lain, negara yang telah merdeka hampir 68 tahun ini masih
kedodoran dalam penyelenggaraan ujian nasional.
Masih banyak potret paradoks yang mewarnai wajah Indonesia
tercinta ini. Berbagai gambaran tersebut sesaat memunculkan sejumlah
pertanyaan, ada apa dengan Indonesia? Adakah ia sedang melaju maju atau malah
terjun bebas menuju kehancuran? Bagaimana memandang Indonesia dengan
proporsional dan langkah apa yang tepat untuk disiapkan ke masa akan datang?
Perayaan Waisa kini menjadi momen yang tepat untuk
mempertanyakan, merenung, dan berbagi serta mencari solusi untuk persoalan yang
mengikat negara kita. Dengan demikian perayaan Trisuci Waisak ini menjadi
penting dan mendapati relevansi serta aktualisasi sehingga tidak terjebak menjadi
sekadar ritual dan rutinitas belaka.
Mencari jawab atas sejumlah pertanyaan dan persoalan, sejak
awal telah menjadi semangat Pangeran Siddharta Gautama hingga kemudian mencapai
kesadaran sempurna dan menjadi Buddha Sakyamuni. Hal itu juga yang sama-sama
kita peringati dalam perayaan Trisuci Waisak. Sejatinya, Trisuci Waisak ialah
memperingati kelahiran, pencapaian kesadaran Buddha di usia 30, dan moksanya
sang Buddha di usia 80 tahun.
Siddharta Gautama terlahir sebagai seorang anak dari
Sudhodana, seorang raja di Kerajaan Kapilavasthu. Sebagai putra tunggal, tentu
saja beliau disiapkan untuk kelak menjadi raja di Kapilavasthu.
Namun, pada suatu ketika Pangeran Siddharma menyaksikan
orang tua, orang sakit, orang meninggal, dan seorang petapa. Empat `adegan'
yang kemudian dikenal sebagai empat peristiwa agung.
Hingga kemudian pada usianya yang ke-30 beliau mencapai
kesadaran Buddha. Secara sederhana, sesungguhnya makna mencapai kesadaran
Buddha ialah mengalami keadaan `tersadar' mengenai segala hal yang terjadi di
muka bumi ini dan dialami seluruh umat manusia. Bahwa pada dasarnya tujuan
kelahiran manusia di alam semesta ini ialah untuk menunjukkan jalan menuju
kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukan kebahagiaan palsu, bukan kebahagiaan
sesaat.
Adapun jalan menuju pencapaian kebahagiaan tersebut ialah
dengan melaksanakan maître karuna. Yakni, mencabut penderitaan dan menanamkan
kebahagiaan pada orang lain. Kebahagiaan diri sendiri justru ada pada ketika
kita memikirkan, mengusahakan, berbuat sekuat tenaga, hati, dan pikiran untuk
membahagiakan orang lain.
Sesederhana bahwa sebuah pohon tidak bisa begitu saja tumbuh
jika tidak ada air yang menyirami, makanan yang di serap akar dari tanah serta
sinar matahari, dan banyak hal lainnya. Namun, ketika pohon tersebut
menghasilkan buah, pohon tersebut juga tidak pernah menikmatinya sendiri.
Manusia, binatang, maupun tanah juga menikmati buah tersebut.
Demikianlah, sang Buddha mengajarkan umatnya untuk meniru
perilaku alam untuk mau berbagi dan menjaga keseimbangan satu sama lain. Hingga
kemoksaannya di usia 80 tahun, Buddha Sakyamuni senantiasa membabarkan ajaran,
mengajak umatnya untuk mengisi kehidupan kali ini untuk melawan hawa nafsu
sendiri dan menumbuhkan kemauan, kemampuan untuk memberi kepada orang lain.
Kembali pada situasi Indonesia masa kini, apa relevansinya
dengan nilai-nilai yang ingin disampaikan dalam perayaan Hari Trisuci Waisak
ini? Banyak pelajaran yang bisa kita petik dan laksanakan sebagai dasar
pelaksanaan sehari-hari sehingga secara bertahap mampu mengubah apa yang
terjadi pada masa kini menjadi lebih baik di masa akan datang. Hal pertama
ialah bahwa alam semesta tidak pernah `bekerja' untuk dirinya sendiri.
Sebaliknya, masih banyak di antara kita yang menjalani keseharian, baik sebagai
orang tua, politisi, buruh, pengusaha, maupun rakyat kebanyakan melulu
memikirkan diri sendiri. Hal kedua yang bisa kita tekankan ialah masih kuatnya
orientasi hasil ketimbang penghargaan pada proses oleh banyak pihak di berbagai
sektor atau masyarakat dari berbagai kalangan. Di dunia politik, praktik budaya
yang mendewakan hasil instan tampak pada daftar calon anggota legislatif yang
mengutamakan figur-figur setengah matang ketimbang melakukan proses kaderisasi
dan pendidikan politik. Ketika diri sendiri telah dikuasai ego yang melulu
membahagiakan diri, serta menjadi pribadi yang mengutamakan hasil, maka tanpa
kita sadari kita telah merusak tatanan alam semesta.
Untuk itu, pada perayaan Trisuci Waisak ini kita kembali
diingatkan bahwa tujuan dari kelahiran sang Buddha justru untuk mencabut
penderitaan dan berbagi kebahagiaan. Sebagai murid sang Buddha, apakah kita
telah menjalankan ajarannya? Atau malah melawan hukum alam?
Terakhir, Waisak tahun ini mengusung tema Dengan semangat
Waisak kita tingkatkan kesadaran untuk terus berbuat kebajikan. Sewajarnya kita
semua menguatkan diri untuk senantiasa berbuat dan mengajak semua pihak untuk
berada pada jalan sang Buddha, yaitu mencabut penderitaan orang lain, berbagi
bahagia untuk semua.
Kebajikan yang dimaksud ialah segenap perbuatan yang kita
gerakkan untuk mencapai kebahagiaan sesungguhnya bukan ada pada perolehan harta
dan takhta, melainkan justru sejauh mana kita telah membahagiakan orang lain.
Hal ini tentu tidak mudah. Terlebih kita menyadari betapa keruhnya sekeliling kita.
Seolah-olah berjalan di jalan kebajikan justru menjadi orang aneh di antara
masyarakat yang tersesat.
Namun, justru itulah yang oleh sang Buddha disebut sebagai
pertapaan. Jika dulu sang Buddha bertapa menahan lapar dan hawa nafsu lainnya,
kini kita justru melakukannya dengan tetap menjalankan maître karuna di tengah
keruhnya dunia. Bagai bunga teratai yang tetap tumbuh dan berbunga dengan
indah, walau hidup di tengah kubangan lumpur yang pekat sekalipun.
Selamat Hari Waisak! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar