|
SUARA
KARYA, 17 Mei 2013
Secara primordial, tauhid
merupakan kepercayaan atau keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Allah adalah satu,
tak ada yang menyamai-Nya. Tauhid ini menjadi dasar misi penyiaran Islam pada
awalnya, fase Mekkah.
Dalam konteks yang lebih jauh,
ternyata tauhid tak hanya menjadi dasar pokok dalam beragama, namun juga dalam
ranah sosial. Dengan bertauhid, manusia akan lebih bisa menemukan jati dirinya
dalam bermasyarakat. Atau, dengan istilah singkatnya, terdapat kecerdasan
tauhid.
Kebutuhan
Beratus-ratus tahun, orang-orang
Barat mengagungkan pembebasan sebagai upaya untuk mengaktulisasikan diri.
Hegemoni gereja pada saat itu telah melahirkan bentuk perlawanan yang sangat
ekstrim. Tak jarang, manusia terjerumus dalam jurang atheisme, suatu paham tak
beragama. Bahkan, mereka juga menyerang agama.
Agama sering dikatakan sebagai
penghilang eksistensi, sebagai candu masyarakat, dan membuat orang tak dewasa,
khususnya bagi orang-orang tak beragama (atheis). Karl Mark menganggap bahwa
agama justru hanya dijadikan sebagai candu dalam masyarakat. Ketika seseorang
telah merasa terjepit baru ingat kepada Tuhannya. Sedangkan, Sigmund Frued
berpandangan bahwa agama justru tak membuat manusia dewasa. Sedikit-sedikit ada
masalah, lari kepada Tuhan. Manusia dianggap hilang eksistensinya.
Lebih jauh, manusia hanya dianggap
sebagai 'tahanan' atas seperangkat aturan-aturan agama. Manusia tak dapat
menunjukkan bahwa 'inilah aku', namun hanya terhegemoni oleh kekuatan lain.
Bahkan, agama dianggap dapat mengkerdilkan potensi dalam diri manusia. Manusia
hanya berserah diri, tanpa sebuah usaha yang maksimal. Sedikit demi sedikit
ketika ada persoalan dan terlihat berat, manusia hanya dapat berkata, 'ini
sudah ketentuan'. Padahal, pintu usaha masih terbuka lebar.
Namun tak dipungkiri juga,
kebebasan memang penting bagi perkembangan manusia. Dalam sebuah ungkapan yang
begitu indah, Kahlil Gibran menyatakan bahwa seseorang dapat bebas tanpa
kebesaran, namun tak seorang pun dapat besar tanpa kebebasan. Ini dipertegas
dengan sebuah kenyataan bahwa, setelah orang-orang Barat mendeklarasikan sapere
aude, beranilah berfikir sendiri, kemajuan bangsa Barat kian menjadi-jadi. Ilmu
pengetahuan dan teknologi tumbuh subur.
Agama benar-benar mendapatkan
tamparan telak. Dalam buku Paham Ketuhanan Modern; Sejarah dan Pokok
Ajaran-ajarannya karya Loekisno Choiril Warsito (2003) disebutkan bahwa
pemikiran atheisme pada mulanya memang banyak dikecam orang. Namun, tidak
demikian halnya dengan kedudukan dan peran yang dimainkannya pada abad
akhir-akhir ini. Ini tak lain adalah karena kemajuan yang didapat dari
orang-orang atheis tersebut.
Namun, pada awal mula abad ke-20
an, pemikiran manusia kembali bergolak. Atheis yang dahulu diagung-agungkan,
mulai mengalami keruntuhan. Pemikiran materialisme, yang memandang hidup ini
hanya dari segi materi saja mulai kebingungan. Perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi justru mengarahkan bahwa Tuhan benar-benar ada, semisal dari
teori terjadinya jagat raya, big bang.
Pada konteks tersebut, konsep
kebebasan manusia dalam upaya untuk mengaktualisasikan potensi diri juga perlu
untuk diubah. Bukan dengan meninggalkan Tuhan, karena pada dasarnya manusia
membutuhkan Tuhan, namun mengemasnya dalam dogma agama yang tak fanatik buta.
Nur Cholis Majid, seorang intelektual juga mengatakan bahwa fitrah bertuhan
merupakan kebutuhan manusia. Ini dipertegas dalam buku ESQ karangan Ary
Ginanjar Agustian dengan istilah God Spot.
Potensi Diri
Seringkali, manusia minder, merasa
takut, merasa kecil dan lain-lain pada orang lain yang dianggap mempunyai
kelebihan. Perasaan seperti itu sangat merugikan. Potensi manusia akan
terkurung. Pasalnya, ia telah membuat penjara sendiri pada dirinya. Padahal,
dalam konteks ketuhanan, manusia diciptakan sama.
Dalam ranah yang lebih luas,
bangsa Indonesia seringkali merasa kecil dibanding negara lain. Disadari atau
tidak, banyaknya budaya-budaya yang masuk dan menjadi kebiasaan warga Indonesia
adalah bentuk nyata perasaan inferior. Orang-orang lebih merasa bangga dan
terhormat ketika mengenakan sesuatu yang berbau luar negeri. Padahal, kualitas
produk luar tak musti lebih baik dari produk dalam negeri.
Yang lebih berbahaya, perasaan
inferior tersebut juga dapat memenjarakan potensi dalam diri. Potensi ini lama
kelamaan akan terkubur, bahkan mati, jika tidak disikapi dengan bijak. Manusia
menjadi korban dari pemikirannya sendiri.
Kecerdasan tauhid datang sebagai
pembebas potensi diri. Dengan tauhid, manusia akan sadar bahwa semua adalah
setara. Rasa inferior akan hilang. Ia tetap hormat kepada yang lebih tua, namun
ia juga merasa lebih perlu untuk menghormati kebenaran. Pada kondisi tersebut,
eksistensi manusia akan terbangun. Dan, pada akhirnya, potensi manusia akan
benar-benar tergali tanpa harus menghilangkan sisi ketuhanan dalam diri. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar