Sabtu, 18 Mei 2013

Membumikan Kecerdasan Tauhid


Membumikan Kecerdasan Tauhid
Setyo Pamuji ;  Akademisi pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Ampel Surabaya
SUARA KARYA, 17 Mei 2013

Secara primordial, tauhid merupakan kepercayaan atau keyakinan bahwa Allah adalah Esa. Allah adalah satu, tak ada yang menyamai-Nya. Tauhid ini menjadi dasar misi penyiaran Islam pada awalnya, fase Mekkah.

Dalam konteks yang lebih jauh, ternyata tauhid tak hanya menjadi dasar pokok dalam beragama, namun juga dalam ranah sosial. Dengan bertauhid, manusia akan lebih bisa menemukan jati dirinya dalam bermasyarakat. Atau, dengan istilah singkatnya, terdapat kecerdasan tauhid.

Kebutuhan

Beratus-ratus tahun, orang-orang Barat mengagungkan pembebasan sebagai upaya untuk mengaktulisasikan diri. Hegemoni gereja pada saat itu telah melahirkan bentuk perlawanan yang sangat ekstrim. Tak jarang, manusia terjerumus dalam jurang atheisme, suatu paham tak beragama. Bahkan, mereka juga menyerang agama.

Agama sering dikatakan sebagai penghilang eksistensi, sebagai candu masyarakat, dan membuat orang tak dewasa, khususnya bagi orang-orang tak beragama (atheis). Karl Mark menganggap bahwa agama justru hanya dijadikan sebagai candu dalam masyarakat. Ketika seseorang telah merasa terjepit baru ingat kepada Tuhannya. Sedangkan, Sigmund Frued berpandangan bahwa agama justru tak membuat manusia dewasa. Sedikit-sedikit ada masalah, lari kepada Tuhan. Manusia dianggap hilang eksistensinya.

Lebih jauh, manusia hanya dianggap sebagai 'tahanan' atas seperangkat aturan-aturan agama. Manusia tak dapat menunjukkan bahwa 'inilah aku', namun hanya terhegemoni oleh kekuatan lain. Bahkan, agama dianggap dapat mengkerdilkan potensi dalam diri manusia. Manusia hanya berserah diri, tanpa sebuah usaha yang maksimal. Sedikit demi sedikit ketika ada persoalan dan terlihat berat, manusia hanya dapat berkata, 'ini sudah ketentuan'. Padahal, pintu usaha masih terbuka lebar.

Namun tak dipungkiri juga, kebebasan memang penting bagi perkembangan manusia. Dalam sebuah ungkapan yang begitu indah, Kahlil Gibran menyatakan bahwa seseorang dapat bebas tanpa kebesaran, namun tak seorang pun dapat besar tanpa kebebasan. Ini dipertegas dengan sebuah kenyataan bahwa, setelah orang-orang Barat mendeklarasikan sapere aude, beranilah berfikir sendiri, kemajuan bangsa Barat kian menjadi-jadi. Ilmu pengetahuan dan teknologi tumbuh subur.

Agama benar-benar mendapatkan tamparan telak. Dalam buku Paham Ketuhanan Modern; Sejarah dan Pokok Ajaran-ajarannya karya Loekisno Choiril Warsito (2003) disebutkan bahwa pemikiran atheisme pada mulanya memang banyak dikecam orang. Namun, tidak demikian halnya dengan kedudukan dan peran yang dimainkannya pada abad akhir-akhir ini. Ini tak lain adalah karena kemajuan yang didapat dari orang-orang atheis tersebut.

Namun, pada awal mula abad ke-20 an, pemikiran manusia kembali bergolak. Atheis yang dahulu diagung-agungkan, mulai mengalami keruntuhan. Pemikiran materialisme, yang memandang hidup ini hanya dari segi materi saja mulai kebingungan. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi justru mengarahkan bahwa Tuhan benar-benar ada, semisal dari teori terjadinya jagat raya, big bang.

Pada konteks tersebut, konsep kebebasan manusia dalam upaya untuk mengaktualisasikan potensi diri juga perlu untuk diubah. Bukan dengan meninggalkan Tuhan, karena pada dasarnya manusia membutuhkan Tuhan, namun mengemasnya dalam dogma agama yang tak fanatik buta. Nur Cholis Majid, seorang intelektual juga mengatakan bahwa fitrah bertuhan merupakan kebutuhan manusia. Ini dipertegas dalam buku ESQ karangan Ary Ginanjar Agustian dengan istilah God Spot.

Potensi Diri

Seringkali, manusia minder, merasa takut, merasa kecil dan lain-lain pada orang lain yang dianggap mempunyai kelebihan. Perasaan seperti itu sangat merugikan. Potensi manusia akan terkurung. Pasalnya, ia telah membuat penjara sendiri pada dirinya. Padahal, dalam konteks ketuhanan, manusia diciptakan sama.

Dalam ranah yang lebih luas, bangsa Indonesia seringkali merasa kecil dibanding negara lain. Disadari atau tidak, banyaknya budaya-budaya yang masuk dan menjadi kebiasaan warga Indonesia adalah bentuk nyata perasaan inferior. Orang-orang lebih merasa bangga dan terhormat ketika mengenakan sesuatu yang berbau luar negeri. Padahal, kualitas produk luar tak musti lebih baik dari produk dalam negeri.

Yang lebih berbahaya, perasaan inferior tersebut juga dapat memenjarakan potensi dalam diri. Potensi ini lama kelamaan akan terkubur, bahkan mati, jika tidak disikapi dengan bijak. Manusia menjadi korban dari pemikirannya sendiri.

Kecerdasan tauhid datang sebagai pembebas potensi diri. Dengan tauhid, manusia akan sadar bahwa semua adalah setara. Rasa inferior akan hilang. Ia tetap hormat kepada yang lebih tua, namun ia juga merasa lebih perlu untuk menghormati kebenaran. Pada kondisi tersebut, eksistensi manusia akan terbangun. Dan, pada akhirnya, potensi manusia akan benar-benar tergali tanpa harus menghilangkan sisi ketuhanan dalam diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar