Sabtu, 18 Mei 2013

Mari Bangkitkan Film Olahraga


Mari Bangkitkan Film Olahraga
Satrio Wahono Magister Filsafat UI dan Pengajar FE Universitas Pancasila
SINAR HARAPAN, 17 Mei 2013

Melihat industri perfilman kita, tak urung sudah ada perkembangan menggembirakan. Sejumlah film Indonesia, seperti 5 cm dan Ainun dan Habibie laris manis menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Genre film yang disajikan para sineas kita juga sudah mulai bervariasi: thriller, laga, drama romantis, komedi, dan sebagainya. Sayangnya, masih ada satu fakta memprihatinkan yang tercecer dalam dunia sinema kita, yaitu tetap langkanya film-film lokal bertemakan olahraga.

Padahal, Salim Said pernah berteori (Prisma 1, 1990, Budaya Pop Budaya Massa) bahwa produk seni dan budaya—termasuk film—mencerminkan realitas masyarakatnya.

Nah, tesis sederhana ini relevan apabila dikaitkan dengan prestasi dunia olahraga kita! Lihat saja, di tengah terpuruknya prestasi dunia olahraga kita, mulai dari sepak bola hingga badminton, langka pula produk film kita yang mengangkat tema olahraga. Wajar bila kita bertanya ke mana film olahraga kita?

Sekilas Sejarah

Menengok ke belakang, kita dapat menemukan bahwa film olahraga sempat mendapat angin di Indonesia saat prestasi olahraga kita juga sedang mencapai puncaknya pada 1980-an dan awal 1990-an.
Kala itu, dunia olahraga kita memang sedang menikmati masa keemasannya. Kontingen Indonesia adalah langganan juara umum perhelatan olahraga dua tahunan se-Asia Tenggara SEA Games.

Dunia bulu tangkis pun sedang jaya-jayanya dengan selalu merebut juara di ajang prestisius individual semisal All England maupun beregu seperti Thomas Cup. Nama Ellyas Pical juga menggetarkan kancah tinju internasional saat meraih juara tinju dunia dengan mengalahkan Judo Chun pada 1986.

Sementara itu, jagat persepakbolaan kita tak kalah harumnya. Timnas kita mampu menyabet medali emas di SEA Games dan hampir lolos ke Piala Dunia dengan pemain-pemain dahsyat seperti Ricky Yacob, Elly Idris, dan kiper Hermansyah.

Pada kurun waktu bersamaan, kita menyaksikan film-film bertemakan olahraga bermunculan. Sutradara legendaris Sjumandjaja membesut film bertemakan tinju, Opera Jakarta, berdasarkan karya novel berjudul sama buah karya  Arswendo Atmowiloto. Film yang juga berlatar belakang kisah kasih tak sampai seorang petinju urakan bernama Yoko ini sangat fenomenal karena laris manis dan mampu menyapu banyak Piala Citra.

Satu lagi film bertema dunia tinju yang kira-kira dibuat dalam penggal waktu bersamaan adalah Rio Sang Juara. Film bertarikh 1989 yang dibintangi Willy Dozan dan Sophia Latjuba ini sukses dan diapresiasi positif oleh penonton.

Pada 1986 pula, Indonesia diramaikan film bertema atletik, Gadis Marathon, dengan bintang Roy Marten dan Jenny Rachman. Rasanya jadi bukan kebetulan jika pada periode munculnya film-film ini kita mendapati Ellyas Pical mengharumkan nama bangsa di jagat tinju dunia.

Prestasi Mardi Lestari pun mengibarkan bendera merah putih di ajang-ajang lari cepat (100 meter dan 200 meter) internasional bergengsi, bahkan sempat memecahkan rekor Asia untuk lari 100 meter.
Sayangnya, film olahraga kita lalu layu sebelum berkembang. Sejak medio 1990-an hingga detik ini, terjadi kemandekan paralel antara dunia olahraga dan dunia film olahraga kita.

Prestasi sepak bola kita mundur drastis, sementara kinerja cabang bulu tangkis tak semegah dulu sesudah masa puncak Susi Susanti - Alan Budikusuma - dan Ricky Subagja/Rexy Mainaky menyabet medali emas Olimpiade 1996. Dunia tinju tak luput mengalami tidur panjang sebelum terbangunkan oleh nama Chris John pada pertengahan 2000-an.

Di sisi lain, dunia film tidak melihat lahirnya karya-karya baru bertemakan olahraga sejak 1990-an. Selain dua jilid film Garuda di Dadaku (sepak bola), Tendangan dari Langit (sepak bola), dan King (bulu tangkis), yang patut disebut pada era 2000-an hanyalah film Liar besutan Rudi Sudjarwo (balap motor) dan Romeo dan Juliet arahan Andi Bakhtiar Yusuf.

Film terakhir ini cukup menarik karena menceritakan fenomena perseteruan abadi antara fans fanatik kesebelasan Persija Jakarta, Jakmania, dan suporter setia Persib Bandung, Viking.
Fakta miskinnya film olahraga kita di atas kian membuat hati miris apabila kita bandingkan dengan Amerika, negara yang kita tahu punya prestasi olahraga menjulang. Hollywood sebagai kiblat perfilman Amerika begitu produktif melahirkan film-film bertemakan dunia olahraga.

Tentu menempel dalam ingatan film tinju Rocky yang dibintangi Sylvester Stallone dan The Champ yang dibintangi Jon Voight. Deretan film olahraga di sana begitu panjang. Untuk menyebut beberapa: The Road to Victory (sepak bola, Sylvester Stallone), Kingpin (boling, Woody Harrelson), Miracles (hoki es, Kurt Russell), Cool Runnings (Olimpiade musim dingin, John Candy), dan Seabiscuit (pacuan kuda, Tobey Maguire).

Bahkan, tak terhitung film bertemakan trio olahraga kebanggaan Amerika: bisbol, futbol, dan bola basket. Perwakilan utama film tentang bisbol adalah Bull Durham (Kevin Costner), sementara representasi film bola basket adalah White Men Can't Jump (Woody Harrelson) dan Coach Carter (Samuel L Jackson). Film futbol yang menarik adalah We Are Marshall (Matthew McConaughey), Remember the Titans (Denzel Washington), dan Any Given Sunday (Dennis Quaid).

Saatnya Bangkit

Kembali ke tesis awal Salim Said, tampaknya memang ada keterkaitan antara realitas sosial kemasyarakatan, yaitu prestasi olahraga kita, dan produk seni-budaya yang dihasilkan masyarakat tersebut, dalam konteks ini produk film.

Artinya, jika kita mulai menghasilkan film olahraga yang bermutu, niscaya itu akan berkontribusi pada usaha membangkitkan prestasi olahraga kita. Karena itu, marilah sineas kita mulai menengok kembali genre olahraga yang terabaikan selama ini. Dengan demikian, kita di masa depan dapat menyaksikan para atlet kita mempersembahkan prestasi membanggakan bagi para pencinta olahraga di negeri ini. Semoga!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar