|
SINAR
HARAPAN, 17 Mei 2013
Melihat industri perfilman kita,
tak urung sudah ada perkembangan menggembirakan. Sejumlah film Indonesia,
seperti 5 cm dan Ainun dan Habibie laris manis menjadi tuan rumah di
negeri sendiri.
Genre film yang disajikan para
sineas kita juga sudah mulai bervariasi: thriller, laga, drama romantis,
komedi, dan sebagainya. Sayangnya, masih ada satu fakta memprihatinkan yang
tercecer dalam dunia sinema kita, yaitu tetap langkanya film-film lokal
bertemakan olahraga.
Padahal, Salim Said pernah
berteori (Prisma 1, 1990, Budaya Pop Budaya Massa) bahwa produk seni dan
budaya—termasuk film—mencerminkan realitas masyarakatnya.
Nah, tesis sederhana ini
relevan apabila dikaitkan dengan prestasi dunia olahraga kita! Lihat
saja, di tengah terpuruknya prestasi dunia olahraga kita, mulai dari sepak bola
hingga badminton, langka pula produk film kita yang mengangkat tema
olahraga. Wajar bila kita bertanya ke mana film olahraga kita?
Sekilas Sejarah
Menengok ke belakang, kita dapat
menemukan bahwa film olahraga sempat mendapat angin di Indonesia saat prestasi
olahraga kita juga sedang mencapai puncaknya pada 1980-an dan awal 1990-an.
Kala itu, dunia olahraga kita
memang sedang menikmati masa keemasannya. Kontingen Indonesia adalah langganan
juara umum perhelatan olahraga dua tahunan se-Asia Tenggara SEA Games.
Dunia bulu tangkis pun sedang
jaya-jayanya dengan selalu merebut juara di ajang prestisius individual semisal
All England maupun beregu seperti Thomas Cup. Nama Ellyas Pical juga
menggetarkan kancah tinju internasional saat meraih juara tinju dunia dengan
mengalahkan Judo Chun pada 1986.
Sementara itu, jagat
persepakbolaan kita tak kalah harumnya. Timnas kita mampu menyabet medali emas
di SEA Games dan hampir lolos ke Piala Dunia dengan pemain-pemain dahsyat
seperti Ricky Yacob, Elly Idris, dan kiper Hermansyah.
Pada kurun waktu bersamaan, kita
menyaksikan film-film bertemakan olahraga bermunculan. Sutradara
legendaris Sjumandjaja membesut film bertemakan tinju, Opera Jakarta,
berdasarkan karya novel berjudul sama buah karya Arswendo
Atmowiloto. Film yang juga berlatar belakang kisah kasih tak sampai
seorang petinju urakan bernama Yoko ini sangat fenomenal karena laris
manis dan mampu menyapu banyak Piala Citra.
Satu lagi film bertema dunia tinju
yang kira-kira dibuat dalam penggal waktu bersamaan adalah Rio Sang Juara.
Film bertarikh 1989 yang dibintangi Willy Dozan dan Sophia Latjuba
ini sukses dan diapresiasi positif oleh penonton.
Pada 1986 pula, Indonesia
diramaikan film bertema atletik, Gadis Marathon, dengan bintang Roy Marten dan
Jenny Rachman. Rasanya jadi bukan kebetulan jika pada periode munculnya
film-film ini kita mendapati Ellyas Pical mengharumkan nama bangsa di jagat
tinju dunia.
Prestasi Mardi Lestari pun
mengibarkan bendera merah putih di ajang-ajang lari cepat (100 meter dan
200 meter) internasional bergengsi, bahkan sempat memecahkan rekor Asia
untuk lari 100 meter.
Sayangnya, film olahraga kita lalu
layu sebelum berkembang. Sejak medio 1990-an hingga detik ini, terjadi
kemandekan paralel antara dunia olahraga dan dunia film olahraga kita.
Prestasi sepak bola kita mundur
drastis, sementara kinerja cabang bulu tangkis tak semegah dulu sesudah masa
puncak Susi Susanti - Alan Budikusuma - dan Ricky Subagja/Rexy Mainaky menyabet
medali emas Olimpiade 1996. Dunia tinju tak luput mengalami tidur panjang
sebelum terbangunkan oleh nama Chris John pada pertengahan 2000-an.
Di sisi lain,
dunia film tidak melihat lahirnya karya-karya baru bertemakan
olahraga sejak 1990-an. Selain dua jilid film Garuda di Dadaku (sepak
bola), Tendangan dari Langit (sepak bola), dan King (bulu tangkis), yang patut
disebut pada era 2000-an hanyalah film Liar besutan Rudi Sudjarwo (balap motor)
dan Romeo dan Juliet arahan Andi Bakhtiar Yusuf.
Film terakhir ini cukup menarik
karena menceritakan fenomena perseteruan abadi antara fans fanatik kesebelasan
Persija Jakarta, Jakmania, dan suporter setia Persib Bandung, Viking.
Fakta miskinnya film olahraga kita
di atas kian membuat hati miris apabila kita bandingkan dengan Amerika,
negara yang kita tahu punya prestasi olahraga menjulang. Hollywood sebagai
kiblat perfilman Amerika begitu produktif melahirkan film-film bertemakan dunia
olahraga.
Tentu menempel dalam ingatan film
tinju Rocky yang dibintangi Sylvester
Stallone dan The Champ yang
dibintangi Jon Voight. Deretan film olahraga di sana begitu panjang. Untuk
menyebut beberapa: The Road to Victory
(sepak bola, Sylvester Stallone), Kingpin
(boling, Woody Harrelson), Miracles
(hoki es, Kurt Russell), Cool Runnings
(Olimpiade musim dingin, John Candy), dan Seabiscuit (pacuan kuda, Tobey Maguire).
Bahkan, tak terhitung film
bertemakan trio olahraga kebanggaan Amerika: bisbol, futbol, dan bola basket.
Perwakilan utama film tentang bisbol adalah Bull Durham (Kevin Costner),
sementara representasi film bola basket adalah White Men Can't Jump (Woody
Harrelson) dan Coach Carter (Samuel L Jackson). Film futbol yang menarik adalah
We Are Marshall (Matthew
McConaughey), Remember the Titans (Denzel
Washington), dan Any Given Sunday
(Dennis Quaid).
Saatnya Bangkit
Kembali ke tesis awal Salim Said,
tampaknya memang ada keterkaitan antara realitas sosial kemasyarakatan, yaitu
prestasi olahraga kita, dan produk seni-budaya yang dihasilkan masyarakat
tersebut, dalam konteks ini produk film.
Artinya, jika kita mulai
menghasilkan film olahraga yang bermutu, niscaya itu akan berkontribusi pada
usaha membangkitkan prestasi olahraga kita. Karena itu, marilah sineas kita
mulai menengok kembali genre olahraga yang terabaikan selama ini. Dengan demikian,
kita di masa depan dapat menyaksikan para atlet kita mempersembahkan prestasi
membanggakan bagi para pencinta olahraga di negeri ini. Semoga! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar