Sabtu, 18 Mei 2013

Intoleransi yang Mencemaskan


Intoleransi yang Mencemaskan
Ali Rif’an ;  Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda
SUARA KARYA, 17 Mei 2013

Di negeri ini, kasus intoleransi masih menjadi momok yang menakutkan. Masih segar dalam ingatan kita, kasus Cikeusik (Banten), Sampang (Madura), Waypanji (Lampung Selatan), dan Taman Yasmin (Bogor), kini masyarakat kembali disuguhi tindakan yang sama. Sekelompok orang merusak dua tempat ibadah dan 21 rumah anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia di Kampung Wanasigra, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Minggu (5/5), sekitar pukul 01.35 WIB.

Peristiwa itu menandakan bahwa nalar kebhinekaan sebagai pijakan hidup berbangsa di negeri ini telah rontok. Nilai-nilai Pancasila sebagai asas bernegara bahkan mulai kabur. Akibatnya, sindrom penyakit sinisme sosial terus meruyak. Hal itu terbukti ketika kaum mayoritas selalu berusaha mengebiri kaum minoritas. Mereka menganggap bahwa yang mayoritas adalah "benar" sehingga membangun wacana destruktif atas orang lain sebagai kelompok "sesat pikir" adalah tindakan sah dan halal.

Pandangan tersebut dikonfirmasi oleh hasil survei Yayasan Denny JA dan Lingkaran Survei Indonesia Community yang mengatakan, lebih dari 60 persen publik Indonesia semakin tak nyaman dengan orang yang berbeda keyakinan. Sebanyak 67,8 persen penduduk Indonesia tidak suka bertetangga dengan orang yang berbeda agama, 61,2 persen dengan orang Syiah, dan 63,1 persen dengan orang Ahmadiyah.

Survei itu cukup mengagetkan karena bisa menjadi pertanda bahwa Indonesia sebagai negara yang menghargai pluralisme agaknya kian sulit terwujud. Bahkan, konflik-konflik berbasis intoleransi masih seperti api dalam sekam, yang suatu saat bisa meledak. Benar apa yang diungkapkan David Lochhead - dalam The Dialogical Imperative (1988) - bahwa identitas keagamaan selalu menyimpan benih kekerasan. Benih-benih kekerasan ini akan menggumpal menjadi kekuatan besar manakala negara tidak hadir.

Ketidakhadiran negara ini terlihat ketika negara tidak mau belajar dari masa lalu sehingga konflik terus terulang dan tak berkesudahan. Sebagai gambaran, pada periode Januari-Juni 2012, misalnya, Setara Institute (SI) pernah mencatat 129 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan. Sementara hasil penelitian The Wahid Institute juga menunjukkan hal yang sama, yakni sepanjang 2011 terjadi 92 kasus pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Adapun menurut Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), sepanjang tahun 2011 lalu telah terjadi 54 insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia.

Bahkan jika dikalkulasi, kekerasan atau kasus intoleransi di Indonesia frekuensinya terus merangkak naik. Hal itu terjadi karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyelesaikan kasus-kasus intoleransi masih terlihat belum sungguh-sungguh. SBY terbilang gagal dalam memberikan jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Seruan dan instruksi memang terus dilakukan. Tapi, seruan itu tak ubahnya kapas yang diterpa angin di siang bolong.

Jika dicatat, sepanjang 2011 saja, tidak kurang dari 19 kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam berbagai kesempatan, baik dalam pidato resmi maupun saat kunjungan. Tapi, semua pidato Presiden SBY itu seperti tidak berbekas. Para pembantunya seperti Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga tak ubanya pemadam kebakaran dalam menyelesaikan kasus-kasus intoleransi. Ketika kasus telah terjadi, baru beramai-ramai datang ke lokasi, itu pun atas intruksi Presiden.

Celakanya, masalah yang sebenarnya 'serius' dan butuh penanganan khusus dianggap 'biasa-biasa saja'. Pada konflik Sampang, misalnya, yang sebenarnya sudah merambah ke isu SARA, dikatakan bahwa kasus itu hanya konflik keluarga an sich. Padahal, menurut pengakuan warga komunitas Syiah Sampang sendiri, sejak 2007, mereka sudah mengalami intimidasi dari kelompok mayoritas non-Syiah.

Inilah kenapa ketika Menteri Agama Suryadharma Ali mengklaim bahwa Indonesia sebagai negara dengan toleransi tertinggi di dunia adalah perkataan yang 'ngawor'. Sebab pendapat itu hanya didasari karena pemerintah selalu menyambangi setiap perayaan hari besar keagamaan di Indonesia. Kunjungan pemerintah seperti itu kemudian diklaim sebagai bentuk kerukunan umat beragama. Padahal, sebanyak 40 persen anggota Dewan HAM PBB, kini justru berpendapat bahwa kasus intoleransi di Indonesia sudah genting dan harus mendapat perhatian khusus dari negara.

Pendapat Dewan HAM PBB itu didasarkan pada Resolusi PBB tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama yang dalam pasal 3 dinyatakan, "Diskriminasi antarmanusia berdasarkan agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dan akan dijatuhi hukuman sebagai pelanggaran HAM serta dinyatakan secara rinci dalam Kovenan Internasional tentang HAM. Ini merintangi hubungan persahabatan dan perdamaian antarbangsa."

Oleh karena itu, sebagai bangsa besar dan sangat menghargai pluralitas, masyarakat kita harus memiliki komitmen disertai prinsip-prinsip untuk mematuhi resolusi PBB dan selalu mempertahankan eksistensi dan integritas berbangsa. Komitmen itu adalah mau hidup berdampingan dengan siapa pun, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Kita harus mengakui bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia diliputi oleh semangat kebersamaan, bukan individual atau kelompok/agama tertentu.

Sang putra fajar Bung Karno, pernah berkata, "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar