|
SUARA
KARYA, 17 Mei 2013
Di negeri ini, kasus intoleransi
masih menjadi momok yang menakutkan. Masih segar dalam ingatan kita, kasus
Cikeusik (Banten), Sampang (Madura), Waypanji (Lampung Selatan), dan Taman
Yasmin (Bogor), kini masyarakat kembali disuguhi tindakan yang sama. Sekelompok
orang merusak dua tempat ibadah dan 21 rumah anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia
di Kampung Wanasigra, Desa Tenjowaringin, Kecamatan Salawu, Kabupaten
Tasikmalaya, Jawa Barat, pada Minggu (5/5), sekitar pukul 01.35 WIB.
Peristiwa itu menandakan bahwa
nalar kebhinekaan sebagai pijakan hidup berbangsa di negeri ini telah rontok.
Nilai-nilai Pancasila sebagai asas bernegara bahkan mulai kabur. Akibatnya,
sindrom penyakit sinisme sosial terus meruyak. Hal itu terbukti ketika kaum
mayoritas selalu berusaha mengebiri kaum minoritas. Mereka menganggap bahwa
yang mayoritas adalah "benar" sehingga membangun wacana destruktif
atas orang lain sebagai kelompok "sesat pikir" adalah tindakan sah
dan halal.
Pandangan tersebut dikonfirmasi
oleh hasil survei Yayasan Denny JA dan Lingkaran
Survei Indonesia Community yang mengatakan, lebih dari 60 persen publik
Indonesia semakin tak nyaman dengan orang yang berbeda keyakinan. Sebanyak 67,8
persen penduduk Indonesia tidak suka bertetangga dengan orang yang berbeda
agama, 61,2 persen dengan orang Syiah, dan 63,1 persen dengan orang Ahmadiyah.
Survei itu cukup mengagetkan
karena bisa menjadi pertanda bahwa Indonesia sebagai negara yang menghargai
pluralisme agaknya kian sulit terwujud. Bahkan, konflik-konflik berbasis
intoleransi masih seperti api dalam sekam, yang suatu saat bisa meledak. Benar
apa yang diungkapkan David Lochhead - dalam The
Dialogical Imperative (1988) - bahwa identitas keagamaan selalu menyimpan
benih kekerasan. Benih-benih kekerasan ini akan menggumpal menjadi kekuatan besar
manakala negara tidak hadir.
Ketidakhadiran negara ini terlihat
ketika negara tidak mau belajar dari masa lalu sehingga konflik terus terulang
dan tak berkesudahan. Sebagai gambaran, pada periode Januari-Juni 2012,
misalnya, Setara Institute (SI) pernah mencatat 129 peristiwa pelanggaran
kebebasan beragama/berkeyakinan. Sementara hasil penelitian The Wahid Institute
juga menunjukkan hal yang sama, yakni sepanjang 2011 terjadi 92 kasus
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan. Adapun menurut Persekutuan
Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), sepanjang tahun 2011 lalu telah terjadi 54
insiden kekerasan terhadap umat Kristen di Indonesia.
Bahkan jika dikalkulasi, kekerasan
atau kasus intoleransi di Indonesia frekuensinya terus merangkak naik. Hal itu
terjadi karena Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam menyelesaikan
kasus-kasus intoleransi masih terlihat belum sungguh-sungguh. SBY terbilang
gagal dalam memberikan jaminan kebebasan terhadap warganegaranya. Seruan dan
instruksi memang terus dilakukan. Tapi, seruan itu tak ubahnya kapas yang
diterpa angin di siang bolong.
Jika dicatat, sepanjang 2011 saja,
tidak kurang dari 19 kali Presiden SBY menyampaikan pesan toleransi dalam
berbagai kesempatan, baik dalam pidato resmi maupun saat kunjungan. Tapi, semua
pidato Presiden SBY itu seperti tidak berbekas. Para pembantunya seperti
Menteri Agama Suryadharma Ali dan Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi juga tak
ubanya pemadam kebakaran dalam menyelesaikan kasus-kasus intoleransi. Ketika
kasus telah terjadi, baru beramai-ramai datang ke lokasi, itu pun atas intruksi
Presiden.
Celakanya, masalah yang sebenarnya
'serius' dan butuh penanganan khusus dianggap 'biasa-biasa saja'. Pada konflik
Sampang, misalnya, yang sebenarnya sudah merambah ke isu SARA, dikatakan bahwa
kasus itu hanya konflik keluarga an sich. Padahal, menurut pengakuan warga
komunitas Syiah Sampang sendiri, sejak 2007, mereka sudah mengalami intimidasi
dari kelompok mayoritas non-Syiah.
Inilah kenapa ketika Menteri Agama
Suryadharma Ali mengklaim bahwa Indonesia sebagai negara dengan toleransi
tertinggi di dunia adalah perkataan yang 'ngawor'. Sebab pendapat itu hanya
didasari karena pemerintah selalu menyambangi setiap perayaan hari besar
keagamaan di Indonesia. Kunjungan pemerintah seperti itu kemudian diklaim
sebagai bentuk kerukunan umat beragama. Padahal, sebanyak 40 persen anggota
Dewan HAM PBB, kini justru berpendapat bahwa kasus intoleransi di Indonesia
sudah genting dan harus mendapat perhatian khusus dari negara.
Pendapat Dewan HAM PBB itu
didasarkan pada Resolusi PBB tentang Penghapusan Intoleransi Berdasarkan Agama
yang dalam pasal 3 dinyatakan, "Diskriminasi antarmanusia berdasarkan
agama atau keyakinan merupakan penghinaan terhadap martabat manusia dan
pengingkaran terhadap prinsip-prinsip Piagam PBB dan akan dijatuhi hukuman
sebagai pelanggaran HAM serta dinyatakan secara rinci dalam Kovenan
Internasional tentang HAM. Ini merintangi hubungan persahabatan dan perdamaian
antarbangsa."
Oleh karena itu, sebagai bangsa
besar dan sangat menghargai pluralitas, masyarakat kita harus memiliki komitmen
disertai prinsip-prinsip untuk mematuhi resolusi PBB dan selalu mempertahankan
eksistensi dan integritas berbangsa. Komitmen itu adalah mau hidup berdampingan
dengan siapa pun, tanpa membedakan suku, agama, ras, dan golongan. Kita harus
mengakui bahwa sejarah kemerdekaan Indonesia diliputi oleh semangat
kebersamaan, bukan individual atau kelompok/agama tertentu.
Sang putra fajar Bung Karno,
pernah berkata, "Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus
mendukungnya. Semua buat semua. Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan
Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat
Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia, semua buat semua." ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar