Senin, 06 Mei 2013

Membela Negara Jihad Sejati


Membela Negara Jihad Sejati
Mohamad Sobary ;  Budayawan
KORAN SINDO, 06 Mei 2013


Tembakau ya tembakau. Negara ya negara. Tak usah kita hubung-hubungkan keduanya. Tembakau bukan negara dan negara bukan tembakau. 

Boleh jadi tembakau dan negara tak ada hubungan apa pun. Sikap dan cara pandang ini jelas dan terang bagaikan siang. Maka itu, barang siapa berdiri di atas kejelasan ini niscaya dia atau mereka bekerja dalam ketulusan. ”Tanpa pamrih?” ”Tergantung apa maksudnya.” Di muka bumi yang makin panas ini kelihatannya sejak dulu selalu ricuh karena benturan pamrih demi pamrih yang hendak ditonjolkan sebagai kepentingan hidup. Jadi pamrih itu ada. Mencoba bekerja dengan sikap ikhlas itu juga pamrih. Tanpa pamrih, ikhlas, biar kerjanya menjadi ”ibadah” itu pamrih besar dan luar biasa. Akibatnya, andaikata hasil kerja orang-orang itu ternyata tidak untuk siapa-siapa dan bukan untuk apa-apa ya biarkan dia berlalu. 

”Hasil kerjanya menjadi barang percuma?” ”Go to hell dengan kepercumaan.” Hal itu tak menjadi masalah. Apa boleh buat kalau kenyataannya memang hanya seperti itu. Jadi, sekali lagi, tembakau ya tembakau. Negara ya negara. Keduanya boleh jadi tak ada dan tak akan pernah ada hubungan. Tapi ketika tembakau dengan segenap jenis produknya yang menghidupi berjutajuta jiwa dan menyumbangkan pajak sangat besar kepada negara hendak dicaplok orang asing kita waspada. Nanti dulu. Di sini tembakau mendadak sontak menjadi bukan dan tak lagi sekadar tembakau. 

Dia sumber kehidupan kita di mana generasi kita dan generasi-generasi penerus menggantungkan hidup dan berharap tembakau masih menyambung nyawa tanpa bergantung pada negara. Ini perkara serius. Lagi pula, bila urusannya menyangkut kepentingan orang asing yang hendak merampok kita, tembakau bisa dalam sedetik langsung menjadi ideologi dan sikap politik. Dalam perkara ini kita tidak mainmain. Dengan sendirinya, kepentingan asing harus kita lihat dengan cermat. 

Kalau mereka sekadar berdagang, marilah berdagang dengan aturan dan prinsip dagang yang adil. Katanya, orang asing itu sumber keadilan? Katanya mereka jagoan dalam perkara berbuat baik demi keluhuran manusia dan kemanusiaan universal? Prinsip ini kita pegang dan kita sambut dengan sikap bersaudara, siapa pun mereka, dan apa pun makna asing di sini. Dia boleh orang Korea, China, orang Taiwan, Eropa, Amerika, dan boleh juga orang Jepang. Ini saudara tua kita karena pernah menjadi ”Pelindung Asia, Pemimpin Asia, dan Cahaya Asia”. 

Saudara tua tak mungkin kita terima dengan sikap tak menyenangkan. Tapi, kalau mereka yang kapitalnya besar dan kita sebut kapitalis itu ternyata sekaligus menampilkan sikap kolonialis, tunggu dulu. Saudara ya saudara. Sahabat yasahabat. Katanya dalam bisnis, tak ada saudara? Katanya dalam politik orang harus superwaspada, bahkan terhadap orang tua kita sendiri sekalipun? Kalau mereka dagang, kita juga bisa dagang. Kalau mereka berpolitik, kita jawab dengan diplomasi politik yang membuat mereka bingung. Apa sulitnya menghadapi sesama manusia? 

Bangsa kita ini ibaratnya menghadapi ”jin”, ”setan”, ”genderuwo”, ”wewe”, dan segenap ”lelembut” saja tak pernah risau. Kita tak gentar menghadapi mereka, bukan karena kita hebat, melainkan karena kita ini nekat. Belanda terbirit-birit karenaheran menghadapi bangsa nekat yang menghadapi meriam, bedil, pistol, dan mitraliur hanya dengan bambu runcing dan kita merdeka. Sekarang demi kedaulatan negara kita bisa lebih nekat. Kita lawan mereka dengan kalimat. 

Ini lebih nekat dibanding bambu runcing. Kita lawan mereka dengan puisi, dengan novel, dengan tari-tari, dengan pidato, dengan partai politik, dan dengan rapat raksasa. Dulu di negeri tiga gunung: Sumbing, Sindoro, dan Perahu, di Temanggung, terkenal ”Laskar Bambu Runcing”- nya. Sekarang mereka terkenal karena punya ”Laskar Tembakau, Laskar Kretek”. Ini kenekatan terkalkulasi dan ideologis sekali sifatnya. Kita siap berlaga. Apa lagi menghadapi PP No 109/2012 yang pada hakikatnya, kata demi kata dan kepentingan besar di baliknya, merupakan pesanan bangsa asing. 

Selebihnya pesanan ini dibayar duit asing, dengan harga mahal, karena jumlah dolarnya minta ampun. Hampir tak terhitung. ”Dibayar mahal?” ”Sebenar apa pun jumlahnya, untuk sebuah negara, tak ada, dan tak pernah boleh ada, kata mahal, karena harkat bangsa dan negara ini tak bisa dijual dengan sekadar kata ‘mahal’. Mahal di sini tidak relevan. Menteri kesehatan itu orang terhormat. Wakilnya terhormat, dirjen, sekjen, direktur-direktur, semua orang terhormat. Gubernur, terhormat. Bupati terhormat. Juga wali kota dan aparatnya.” Kalau negara dan bangsa, seluruhnya, masih digabung dengan para pejabat terhormat tadi, berapa nilai rupiahnya? Tak terhitung. 

Tak pernah ada kata ”terlalu mahal” untuk membeli semua itu. Negara, bangsa, dan para pejabat yang luhur derajatnya itu tak bisa dijual. Ada kata ”mahal” buat tokoh LSM, dokter, para profesional, penyair, dan para tokoh penting di republik ini? Tidak ada. ”Tapi, peraturan pemerintah yang disusun karena pesanan tadi sudah ditandatangani Presiden. Mau apa kita? Tidak ada masalah. Biar saja menjadi dokumen berdebu di perpustakaan. Kita tahu, sebenarnya orang asing itu bodoh sekali. Di negeri ini peraturan tinggal peraturan. Kenapa dibayar mahal?” Orang asing? Menjajah lagi? Ini zaman perjuangan jilid dua. Berjuang, membela negara, itu jihad sejati. Maka itu, dengan semampunya, seadanya, seikhlasnya, kita bekerja. 

”Kalau kalah?” Tidak. Jihad itu satu-satunya permainan yang tak mengenal kalah. Jihad itu satu-satunya bisnis yang tak pernah rugi. Apalagi buat bela negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar