Senin, 06 Mei 2013

Membangun Usaha Pertanian Pangan


Membangun Usaha Pertanian Pangan
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 06 Mei 2013


Dalam suatu pertemuan dengan para nasabah BCA di Surabaya, Jawa Timur, baru-baru ini, saya bertemu seorang pengusaha yang sedang mengembangkan usaha pertanian jagung di Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. 

Lahan yang dikembangkan mencapai 1.000 hektare. Saya banyak membaca bahwa untuk jagung, bibit lokal hanya mampu menghasilkan sekitar 2 ton setiap hektarenya. Tetapi, bibit unggul yang dikembangkan beberapa perusahaan di Indonesia, baik Du Pont maupun BISI International, mampu menghasilkan 12-14 ton jagung per hektare. Pengusaha tersebut membuat saya takjub karena dia bercerita mampu menghasilkan 16 ton jagung per hektare. Dia menambahkan, lahan di Sumbawa memang sangat cocok untuk pengembangan tanaman jagung. 

Sementara itu, Unilever Indonesia, melalui program corporate social responsibility, juga mengembangkan pertanian kedelai hitam yang digunakan sebagai bahan baku kecap Bango mereka. Unilever bekerja sama dengan para petani di daerah selatan Yogyakarta sampai Trenggalek, Jawa Timur. Bibit unggul kedelai hitam dikembangkan oleh Profesor Mariastuti dari Fakultas Pertanian UGM yang menghasilkan bibit Malikha. Unilever membeli kedelai tersebut dengan harga sedikit di atas harga pasar sehingga para petani merasa ada jaminan pasar bagi produk mereka. 

Seorang suster Katolik bercerita, di dekat biara mereka di daerah Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, banyak masyarakat di daerah tersebut yang membeli sayur di pasar yang didatangkan dari Pontianak. Akhirnya suster tersebut mengajarkan kepada masyarakat sekitar tata cara bertanam sayur. Bagi dia, sangat mengherankan, tanah yang begitu subur di daerah itu tidak dimanfaatkan untuk mengembangkan tanaman sayur, sementara mereka bahkan harus membeli sayur yang didatangkan dari daerah lain. 

Ternyata pertanian sayur yang dikembangkan penduduk tersebut mampu berkembang. Kesuburan tanah di daerah Kalimantan Barat untuk pertanian sayur memang bisa dibuktikan dari lahan pertanian di dekat Bandara Supadio Pontianak yang dikembangkan menjadi lahan pertanian sayurmayur yang sangat sukses. Kebetulan sekali, pengusahanya merupakan kawan dekat yang menyewa beberapa hektare lahan dari warga setempat. Dengan dibantu para petani di daerah tersebut, pengusaha itu mampu menghasilkan sayur yang selalu dipanen setiap hari untuk di suplai kepada para pedagang sayur di pasar-pasar di Pontianak. 

Ketekunannya akhirnya menghasilkan kesejahteraan bagi kawan tersebut sehingga mampu membeli rumah, mobil, dan menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah yang baik. Saya pernah mendengar, banyak pemuda dari daerah Sleman yang semula bekerja di Jakarta akhirnya kembali ke daerahnya, menyewa tanah di daerah tersebut, kemudian mengembangkannya menjadi lahan pertanian yang dikelola secara lebih modern. Mereka banyak belajar dari internet tentang pengelolaan lahan pertanian yang baik. Ternyata hasilnya sangat menggembirakan mereka sehingga hasil yang diperoleh bahkan jauh melampaui penghasilan saat bekerja di Jakarta. 

Sementara di daerah pantai selatan Kulonprogo, daerah yang semula berupa padang pasir, ternyata mampu dikembangkan sebagai daerah pertanian yang menghasilkan cabai dan tanaman lainnya. Cerita ini muncul di media Ibu Kota sehingga saat terjadi tarik-menarik pemanfaatan lahan bagi pengembangan tambang pasir besi di daerah tersebut, para petani berjuang untuk tetap mempertahankan kawasan pasir besi yang sudah mereka konversi menjadi lahan pertanian. 

Dengan mengumpulkan berbagai cerita tersebut, sebetulnya kita dapat menyimpulkan, potensi Indonesia untuk pengembangan pertanian pangan sungguh sangat besar. Berbagai cerita yang dikumpulkan secara sporadis saja telah mampu menunjukkan hasil yang baik jika usaha pertanian tersebut dilaksanakan dengan tingkat ketekunan tinggi. Jika berbagai hal tersebut dilakukan dengan serius dan dengan skala memadai, bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi penghasil pangan bukan hanya untuk dirinya sendiri, melainkan mampu untuk memenuhi kebutuhan global. 

Dewasa ini banyak pengusaha Indonesia yang mengembangkan lahan sawit dan diolah dengan tingkat profesionalitas tinggi. Daerah Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi merupakan primadona pengembangan perkebunan sawit. Ternyata usaha ini, yang awalnya dikembangkan dalam program yang dikenal dengan PBSN (Perkebunan Swasta Nasional) dengan bantuan Kredit Likuiditas Bank Indonesia yang disalurkan melalui berbagai bank komersial, akhirnya mampu menjadi perkebunan sawit yang terbesar di dunia dengan ekspor yang mampu mencapai lebih dari 20 juta ton setiap tahun. 

Sementara para petani rakyat banyak mengembangkan usaha pertanian karet yang kemudian melalui pedagang pengumpul diolah menjadi bahan karet untuk ekspor. Bisnis ini ternyata juga sangat berkembang. PT Kirana Megathara yang merupakan salah satu unit bisnis dari pengusaha senior Teddy P Rahmat (mantan presiden direktur Astra) dewasa ini telah berkembang menjadi perusahaan (pemroses dan pengekspor) karet terbesar di Indonesia dan tidak lama lagi sangat mungkin akan mengambil alih posisi Sri Trang, perusahaan karet Thailand, yang dewasa ini menjadi perusahaan karet terbesar di dunia. 

Dari pengalaman kita mengembangkan bisnis perkebunan sawit dan karet tersebut, saya memiliki keyakinan besar, pengusaha Indonesia juga akan mampu mengembangkan bisnis tanaman pangan yang dalam beberapa tahun mendatang akan menjadi persoalan yang sangat besar di dunia ini. Kementerian Pertanian perlu secara serius untuk mengembangkan bisnis pertanian. Perbankan Indonesia mungkin bisa memulai belajar pembiayaan bisnis ini dengan menggunakan CSR sebelum mengembangkan pinjaman usaha tanaman pangan dalam skala lebih besar. 

Dengan melihat pengalaman Unilever yang berhasil mengembangkan tanaman kedelai, semoga semakin banyak pengusaha Indonesia yang terpanggil untuk mengamankan pangan bagi kita semua namun tetap menghasilkan keuntungan( yang besar) juga bagi mereka sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar