Senin, 06 Mei 2013

Arah RUU KUHP


Arah RUU KUHP
Atmakusumah Astraatmadja ;  Pengamat Pers di Lembaga Bantuan Hukum Pers dan Lembaga Pers Dr Soetomo
KOMPAS, 06 Mei 2013


Naskah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sudah mulai dirancang 49 tahun silam, diserahkan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat, 6 Maret 2013.
Umur rancangan undang-undang ini separuh dari umur KUHP yang berlaku sekarang sebagai peninggalan pemerintah kolonial Hindia Belanda sejak 1918.

Seperti dikatakan Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin, RUU ini sangat monumental dan penting. Namun, masih perlu dikaji lebih jauh kebenaran penjelasannya bahwa isi RUU memuat berbagai hal yang lebih menjamin hak asasi warga. ”Ada banyak pasal yang disesuaikan dengan konvensi internasional terkait dengan perlindungan hak asasi manusia,” kata dia (Kompas, 8 Maret 2013).

Saya mendapat informasi bahwa RUU KUHP, yang telah diserahkan ke parlemen bersama-sama RUU Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, tidak banyak berubah dibandingkan revisi sebelumnya. Ini berarti isinya mirip dengan, misalnya, RUU yang disusun pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid (1999-2000) dan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri (2002). Dengan demikian, naskah RUU pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono ini pun masih mengarah ke paradigma Orde Baru yang otoriter.

Menurut Memorandum Dewan Pers pada 3 Mei 2005, RUU ini ”terlalu berorientasi pada hegemoni kekuasaan, memberi peluang terlalu besar kepada pemerintah (negara) untuk turut campur secara berlebihan dalam wilayah masyarakat (public domain). RUU juga mengandung pasal-pasal yang berpotensi membelenggu hak-hak masyarakat untuk berpendapat, berekspresi, dan berkomunikasi”.

Memorandum Dewan Pers, yang ditandatangani ketuanya, Ichlasul Amal, berpendapat bahwa pasal-pasal dalam RUU ini ”kental bernuansa punishment (menghukum) daripada treatment (memperbaiki). Padahal, kecenderungan paradigma hukum di dunia internasional saat ini lebih mengedepankan treatment.”

Argumentasi Menkumham

Seperti KUHP yang kini berlaku, RUU masih memidanakan pasal-pasal seperti pencemaran nama baik, penghinaan, penistaan, fitnah, dan kabar bohong dengan sanksi hukuman penjara atau denda.

Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin dalam suatu diskusi mengakui bahwa pasal RUU KUHP tentang pencemaran, yang diadopsi dari Pasal 310 KUHP sekarang, dianggap oleh dunia pers sebagai ancaman terhadap kebebasan berpendapat atau informasi melalui tulisan. Akan tetapi, ia juga menjelaskan bahwa pasal RUU ini dilengkapi dengan ayat yang menyatakan bahwa ”tidak merupakan pencemaran lisan atau pencemaran tertulis jika perbuatan itu nyata-nyata dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.”

Dengan demikian, media pers atau masyarakat yang menghadapi gugatan pencemaran dapat terlepas dari tuntutan berdasarkan dalil kepentingan umum atau membela diri. Hanya saja, penjelasan ini belum memuaskan karena pasal dan ayat RUU itu tidak secara rinci menyebutkan kriteria yang jelas tentang ”asas kepentingan umum” yang dapat dijadikan alasan menghapus pidana, khususnya terkait pencemaran melalui tulisan.

Dalam pemahaman Amir, asas kepentingan umum dalam kegiatan pers harus ditafsirkan sebagai kepentingan dalam pemberitaan yang bermanfaat bagi publik—yang harus berisi kebenaran, kualitas atau profesional, kejujuran, objektivitas atau keakuratan, ketidakberpihakan, dan keseimbangan. Pemberitaan yang memenuhi semua persyaratan ini, menurut pendapatnya, merupakan penjelmaan dan penerapan prinsip-prinsip kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.

Akan tetapi, Amir tidak mengungkapkan bahwa pandangan yang menganggap karya jurnalistik atau pendapat dan ekspresi sebagai kejahatan—bila melanggar hukum—kini semakin tidak populer sehingga tidak selayaknya dipertahankan dalam hukum pidana. Kriminalisasi—dengan menjatuhkan sanksi hukum pidana berupa hukuman penjara atau denda—dipandang tidak sesuai standar internasional tentang kebebasan berekspresi dan kebebasan menyatakan pendapat.

Kalaupun tetap dipertahankan dalam hukum pidana, hendaknya tidak dikenai sanksi hukuman penjara atau hukuman badan, tetapi hanya denda—itu pun denda proporsional—sesuai dengan kemampuan pembayar denda. Jika dipertahankan dalam hukum perdata, ganti rugi yang dapat dijatuhkan hanyalah ganti rugi proporsional. Dengan demikian, pembayar denda atau ganti rugi tidak akan mengalami kesulitan finansial dalam kehidupannya. Dampak yang lebih penting lagi adalah bahwa mereka tidak trauma sehingga takut menyuarakan sikap dan pendapatnya pada masa kemudian.

Komunisme-Marxisme-Leninisme

Pasal lain dalam RUU KUHP yang jelas terkait dengan pola pikir paradigma Orde Baru adalah tentang ideologi komunisme-marxisme-leninisme. Klausul itu dikritik dalam Memorandum Dewan Pers pada 3 Mei 2005 karena paradigma penyusunan RUU KUHP kental bernuansa negara kolonial, otoriter, dan antidemokrasi. Hal ini terlihat dari klausul pasal-pasal yang terkait dengan penyebaran ajaran komunisme-marxisme-leninisme, pembocoran pertahanan negara dan rahasia negara, penghinaan, penghasutan, penyiaran berita bohong, pornografi, pencemaran, dan fitnah.

Pasal RUU ini menyatakan, ”Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme-marxisme-leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”

Pasal sejenis ini pernah ada dalam Rancangan Undang-Undang Pers ketika dibahas para perancangnya di Departemen Penerangan lebih dari satu dasawarsa lalu, awal tahun 1999. Namun, mereka kemudian menghapus klausul itu sebelum mengirimkannya ke Komisi I DPR. RUU ini, September 1999, disepakati oleh sidang pleno DPR dan disahkan oleh Presiden BJ Habibie sebagai Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Apa latar belakang peristiwa yang menyebabkan penghapusan pasal RUU Pers tentang komunisme-marxisme-leninisme pada masa awal Reformasi itu?

RUU itu sejak awal sampai ke draf ke-7 memuat Pasal 8 yang menyatakan, ”Penerbitan pers yang bertentangan dengan konstitusi dan atau yang bertolak dari paham komunisme-marxisme-leninisme dilarang.” Pasal itu baru dihapus setelah para perancang di Departemen Penerangan bersidang beberapa kali.

Sebagai narasumber pemerintah, yang diminta hadir dalam sidang-sidang pembahasan RUU ini atas permintaan Menteri Penerangan Muhammad Yunus Yosfiah, saya berkeberatan terhadap bagian kalimat yang mengatakan, ”penerbitan pers yang bertolak dari paham komunisme-marxisme-leninisme dilarang.”

Saya mengatakan, bulu roma saya merinding setiap kali membaca kalimat ini—yang masih terus bertahan dalam slogan-slogan politik kita selama tiga dasawarsa. Merinding karena teringat ratusan ribu warga kita yang terbunuh atau dibunuh, dipenjara, bahkan diasingkan ke Pulau Buru—tanpa melalui proses peradilan—setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Ratusan ribu mungkin jutaan anggota keluarga telantar karena sulit memperoleh lapangan pekerjaan dan tidak mudah mendapatkan pendidikan karena stigma ”komunis”, ”kiri”, atau ”Soekarnois”.

Saya agak sinis ketika mempertanyakan mengapa undang-undang ini tidak sekalian memuat pasal-pasal larangan terhadap ideologi-ideologi otoriter lain, seperti fasisme, nazi-isme, dan machiavelli-isme, atau malahan otoritarianisme. Yang terakhir, otoritarianisme, bahkan lebih riil karena kita baru saja mengalaminya dalam masa Orde Lama dan Orde Baru selama 40 tahun terakhir.

Begitulah lebih kurang ungkapan pikiran saya pada sidang pembahasan rancangan ke-6 Undang-Undang Pers di Departemen Penerangan. Setelah berlangsung beberapa pertemuan lagi, barulah Pasal 8 itu akhirnya hilang.

Anehnya, pasal hukum yang sudah dianggap kuno lebih dari satu dasawarsa lalu itu sekarang muncul lagi dalam suatu rancangan undang-undang di negeri yang menyatakan diri negara demokrasi.

Arah yang Salah

Menyoal ”ideologi hukum” di balik penyusunan revisi KUHP, Hakim Agung Artidjo Alkostar mengatakan bahwa pasal-pasal dalam RUU KUHP yang berideologi kolonial, otoritarian, feodal, dan fasisme harus diganti dengan hukum yang berwatak kemerdekaan, egalitarian, dan demokrasi kerakyatan.

”Salah satu ciri pemerintahan otoriter adalah mempergunakan hukum pidana dan penegakan hukum untuk membungkam kelompok kritis. Banyak mahasiswa, intelektual, tokoh agama, pers, lembaga swadaya masyarakat Indonesia pada era rezim Orde Baru yang dianggap vokal oleh penguasa diadili dengan mempergunakan hukum pidana KUHP dan Undang-Undang Subversi, yang postulat moralnya otoritarian dan antidemokrasi. Tidak mustahil RUU KUHP dapat menyeret perjalanan bangsa ke arah yang salah” (”Menggugat Ideologi Hukum RUU KUHP”, Kompas 12/8/2005, halaman 6).

Lima abad silam, memberitakan, apalagi mengkritik, raja, menteri, dan parlemen di Inggris dianggap kejahatan. Sekarang harus kita pertanyakan, apakah pandangan demikian masih patut dipertahankan. Sudah saatnya dukungan yang kuat terhadap kebebasan berekspresi, menyatakan pendapat, dan kebebasan pers di Indonesia tidak sekadar dari masyarakat, tetapi juga dari para pemimpin politik negeri ini, parlemen ataupun kabinet. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar