|
REPUBLIKA,
17 Mei 2013
Para
pendiri bangsa Indonesia telah mendesain konstruksi Indonesia merdeka sebagai
sebuah negara-bangsa, bukan berdasarkan agama (baca: Islam). Konsepsi negara-bangsa
Indonesia sangat berbeda dengan konsepsi negara-bangsa yang digunakan
negara-negara Eropa de ngan paradigma sekuler karena Indonesia mendasarkan
paradigma kebangsaan itu kepada Pancasila.
Konstruksi
negara sekuler merupakan antitesis dari konstruksi integralistik, yakni
penyatuan antara negara dan agama Katolik yang-terutama oleh kalangan
Protestan-dianggap telah sering diselewengkan. Berbagai penyelewengan itulah
yang menyebabkan banyak negara di Eropa melepaskan diri dari kekuasaan gereja
dan mengubah konstruksi negara; bukan lagi berdasarkan agama, melainkan
berdasarkan kepada bangsa.
Konsepsi
negara berdasarkan bangsa kemudian relatif cepat diterima. Karena, secara
faktual masyarakat Eropa adalah masyarakat dengan bangsa yang relatif homogen,
yakni masyarakat kulit putih. Di Eropa saat itu, ras merupakan elemen dominan
yang menentukan rasa kebangsaan.
Berbeda
dengan paradigma nasionalisme di Eropa, nasionalisme untuk Indonesia telah
diramu sedemikian rupa, terutama oleh Sukarno sebagai nasionalisme yang tidak
sekuler, tetapi nasionalisme yang berdasarkan pada nilai-nilai religius. Nilai
ini sangat jelas dengan adanya sila yang menegaskan tentang ketuhanan.
Konsepsi
kebangsaan di Indonesia juga berbeda sekali dengan kebangsaan di Eropa yang
relatif hanya berdasarkan ras. Karena, nasionalisme Indonesia didasarkan pada
perasaan senasib yang disebabkan oleh penjajahan Belanda.
Karena itu, walaupun Indonesia terdiri atas kebhinekaan SARA yang relatif
sangat tinggi, tetapi semuanya bisa merasa sebagai satu bangsa.
Dalam
konteks konstruksi negara-bangsa yang religius, tentu saja nilai-nilai religius
dari setiap agama bisa dijadikan sebagai sumber kebijakan politik kenegaraan.
Dan, dalam konteks negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi,
sesungguhnya nilai-nilai substansial Islam sangat mungkin untuk diperjuangkan
dalam setiap proses pembuatan kebijakan politik. Sebab, mayoritas penduduk
Indonesia adalah penganut Islam.
Transformasi
agama Islam memiliki berbagai ajaran yang harus diimplementasikan dalam konteks
privat maupun publik. Implementasi ajaran Islam dalam konteks publik tentu saja
membutuhkan instrumen yang memiliki otoritas. Instrumen tersebut tidak lain adalah
negara. Karena itu, diperlukan perangkat-perangkat yang bisa menjadikan
nilai-nilai Islam sebagai bahan dasar bagi produk kebijakan politik
kenegaraan.
Dalam
konteks negara-bangsa Indonesia yang mengakui agama lain selain Islam, kebijakan-kebijakan
tersebut tidak boleh menggunakan nama formal Islam. Kebijakan-kebijakan politik
itu haruslah dianggap sebagai sekadar sebuah konsensus di antara warga negara
yang dalam konteks demokrasi Pancasila diputuskan dalam sebuah
musyawarah.
Untuk
bisa mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam produk kebijakan politik,
diperlukan partai politik yang memahami dengan baik ajaran substantif Islam.
Partai yang dimaksud tidak harus menjadi partai politik yang berdasarkan formal
Islam, tetapi yang penting di dalamnya terdapat para politisi yang memiliki
wawasan keislaman yang memadai dan memiliki semangat untuk memperjuangkan
nilai-nilai dan ajaran Islam yang tertransformasi dalam produk-produk kebijakan
politik kenegaraan.
Terdapat dua model partai yang telah menunjukkan diri mampu menjalankan peran yang
Islami. Pertama, partai dengan dasar formal Islam. Model ini adalah model yang
paling mudah dipahami karena Islam dijadikan sebagai "baju dan bendera".
Model ini direpresentasikan di antaranya oleh Ikhwanul Muslimin (IM) di
Mesir. Keteguhan dalam memperjuangkan keyakinan politik bahwa Islam merupakan
ideologi politik yang cocok untuk memperbaiki negara telah mengantarkan IM
tampil sebagai penguasa setelah melalui fase perjuangan yang sangat panjang
selama puluhan tahun. IM menjadi partai yang menarik karena politisinya
menampilkan diri sebagai politisi yang konsisten.
Risiko
partai model ini adalah apabila tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam maka
akan mendapatkan hujatan yang sangat keras dari kaum Muslim dalam skala lebih
luas, termasuk pemeluk Islam yang bukan pemilih partai tersebut.
Inilah yang dialami Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika beberapa kadernya
disebut terlibat skandal korupsi.
Kedua, partai
dengan dasar formal non-Islam. Model ini direpresentasikan oleh Adalet ve
Kalkinma Partisi (AKP) di Turki. Bahkan, partai tersebut menyatakan diri
sebagai partai sekuler. Namun, semua orang tahu bahwa aktivis partai ini
didominasi kalangan Muslim yang saleh. Sebagian di antara mereka juga berasal
dari partai-partai dengan dasar formal Islam yang sebelumnya dibekukan oleh rezim
sekuler Turki. Walaupun tidak menjadikan Islam sebagai dasar formal pendirian
partai tetapi AKP mampu menunjukkan diri sebagai partai politik yang
mengimplementasikan nilai-nilai Islami di internal organisasi partai dan memperjuangkannya
dalam konteks kebijakan politik.
Indonesia
sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan menjadi negara dengan
penduduk Muslim terbesar di dunia, seharusnya mampu menyajikan praktik
berpartai yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Terutama, dengan indikator
terbebas dan bahkan jauh dari praktik korupsi serta tindakan tidak terpuji
lainnya. Namun, saat ini, tampaknya hal itu masih sekadar harapan.
Untuk
membangun partai islami, diperlukan kader-kader muda Muslim yang memiliki
perspektif jauh ke
depan serta memiliki ketahanan fisik dan mental untuk terus
mengupayakan eksistensi partai politik, baik yang menggunakan dasar formal
Islam maupun non-Islam, dengan praktik nyata di lapangan yang benar-benar
islami. Walaupun berat, harus dilakukan. Dan, karena biasanya berdasarkan
pengalaman di kedua negara di atas, membutuhkan waktu lama sehingga harus
segera dimulai. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar