Sabtu, 18 Mei 2013

Membangun Partai Islami


Membangun Partai Islami
Mohammad Nasih ;  Pengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ, Pengurus Dewan Pakar ICMI Pusat
REPUBLIKA, 17 Mei 2013

Para pendiri bangsa Indonesia telah mendesain konstruksi Indonesia merdeka sebagai sebuah negara-bangsa, bukan berdasarkan agama (baca: Islam). Konsepsi negara-bangsa Indonesia sangat berbeda dengan konsepsi negara-bangsa yang digunakan negara-negara Eropa de ngan paradigma sekuler karena Indonesia mendasarkan paradigma kebangsaan itu kepada Pancasila. 

Konstruksi negara sekuler merupakan antitesis dari konstruksi integralistik, yakni penyatuan antara negara dan agama Katolik yang-terutama oleh kalangan Protestan-dianggap telah sering diselewengkan. Berbagai penyelewengan itulah yang menyebabkan banyak negara di Eropa melepaskan diri dari kekuasaan gereja dan mengubah konstruksi negara; bukan lagi berdasarkan agama, melainkan berdasarkan kepada bangsa. 

Konsepsi negara berdasarkan bangsa kemudian relatif cepat diterima. Karena, secara faktual masyarakat Eropa adalah masyarakat dengan bangsa yang relatif homogen, yakni masyarakat kulit putih. Di Eropa saat itu, ras merupakan elemen dominan yang menentukan rasa kebangsaan. 

Berbeda dengan paradigma nasionalisme di Eropa, nasionalisme untuk Indonesia telah diramu sedemikian rupa, terutama oleh Sukarno sebagai nasionalisme yang tidak sekuler, tetapi nasionalisme yang berdasarkan pada nilai-nilai religius. Nilai ini sangat jelas dengan adanya sila yang menegaskan tentang ketuhanan. 

Konsepsi kebangsaan di Indonesia juga berbeda sekali dengan kebangsaan di Eropa yang relatif hanya berdasarkan ras. Karena, nasionalisme Indonesia didasarkan pada perasaan senasib yang disebabkan oleh penjajahan Belanda.
Karena itu, walaupun Indonesia terdiri atas kebhinekaan SARA yang relatif sangat tinggi, tetapi semuanya bisa merasa sebagai satu bangsa. 

Dalam konteks konstruksi negara-bangsa yang religius, tentu saja nilai-nilai religius dari setiap agama bisa dijadikan sebagai sumber kebijakan politik kenegaraan. Dan, dalam konteks negara Indonesia yang menganut sistem demokrasi, sesungguhnya nilai-nilai substansial Islam sangat mungkin untuk diperjuangkan dalam setiap proses pembuatan kebijakan politik. Sebab, mayoritas penduduk Indonesia adalah penganut Islam. 

Transformasi agama Islam memiliki berbagai ajaran yang harus diimplementasikan dalam konteks privat maupun publik. Implementasi ajaran Islam dalam konteks publik tentu saja membutuhkan instrumen yang memiliki otoritas. Instrumen tersebut tidak lain adalah negara. Karena itu, diperlukan perangkat-perangkat yang bisa menjadikan nilai-nilai Islam sebagai bahan dasar bagi produk kebijakan politik kenegaraan. 

Dalam konteks negara-bangsa Indonesia yang mengakui agama lain selain Islam, kebijakan-kebijakan tersebut tidak boleh menggunakan nama formal Islam. Kebijakan-kebijakan politik itu haruslah dianggap sebagai sekadar sebuah konsensus di antara warga negara yang dalam konteks demokrasi Pancasila diputuskan dalam sebuah musyawarah. 

Untuk bisa mentransformasikan nilai-nilai Islam ke dalam produk kebijakan politik, diperlukan partai politik yang memahami dengan baik ajaran substantif Islam. Partai yang dimaksud tidak harus menjadi partai politik yang berdasarkan formal Islam, tetapi yang penting di dalamnya terdapat para politisi yang memiliki wawasan keislaman yang memadai dan memiliki semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai dan ajaran Islam yang tertransformasi dalam produk-produk kebijakan politik kenegaraan.
Terdapat dua model partai yang telah menunjukkan diri mampu menjalankan peran yang Islami. Pertama, partai dengan dasar formal Islam. Model ini adalah model yang paling mudah dipahami karena Islam dijadikan sebagai "baju dan bendera". Model ini direpresentasikan di antaranya oleh Ikhwanul Muslimin (IM) di Mesir. Keteguhan dalam memperjuangkan keyakinan politik bahwa Islam merupakan ideologi politik yang cocok untuk memperbaiki negara telah mengantarkan IM tampil sebagai penguasa setelah melalui fase perjuangan yang sangat panjang selama puluhan tahun. IM menjadi partai yang menarik karena politisinya menampilkan diri sebagai politisi yang konsisten. 

Risiko partai model ini adalah apabila tidak konsisten dengan nilai-nilai Islam maka akan mendapatkan hujatan yang sangat keras dari kaum Muslim dalam skala lebih luas, termasuk pemeluk Islam yang bukan pemilih partai tersebut.
Inilah yang dialami Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ketika beberapa kadernya disebut terlibat skandal korupsi.

Kedua, partai dengan dasar formal non-Islam. Model ini direpresentasikan oleh Adalet ve Kalkinma Partisi (AKP) di Turki. Bahkan, partai tersebut menyatakan diri sebagai partai sekuler. Namun, semua orang tahu bahwa aktivis partai ini didominasi kalangan Muslim yang saleh. Sebagian di antara mereka juga berasal dari partai-partai dengan dasar formal Islam yang sebelumnya dibekukan oleh rezim sekuler Turki. Walaupun tidak menjadikan Islam sebagai dasar formal pendirian partai tetapi AKP mampu menunjukkan diri sebagai partai politik yang mengimplementasikan nilai-nilai Islami di internal organisasi partai dan memperjuangkannya dalam konteks kebijakan politik. 

Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim dan menjadi negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, seharusnya mampu menyajikan praktik berpartai yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam. Terutama, dengan indikator terbebas dan bahkan jauh dari praktik korupsi serta tindakan tidak terpuji lainnya. Namun, saat ini, tampaknya hal itu masih sekadar harapan.

Untuk membangun partai islami, diperlukan kader-kader muda Muslim yang memiliki perspektif jauh ke 
depan serta memiliki ketahanan fisik dan mental untuk terus mengupayakan eksistensi partai politik, baik yang menggunakan dasar formal Islam maupun non-Islam, dengan praktik nyata di lapangan yang benar-benar islami. Walaupun berat, harus dilakukan. Dan, karena biasanya berdasarkan pengalaman di kedua negara di atas, membutuhkan waktu lama sehingga harus segera dimulai.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar