Sabtu, 18 Mei 2013

Sikap AS dalam Krisis Suriah


Sikap AS dalam Krisis Suriah
Chusnan Maghribi ;  Alumnus Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta  
SINAR MERDEKA, 17 Mei 2013


SALAH satu objek yang menarik perhatian publik internasional dalam krisis Suriah yang sudah berlangsung 26 bulan ini adalah sikap Amerika Serikat (AS). Tak disangkal, Negeri Paman Sam itu termasuk pihak paling getol mendukung Arab Spring 2011 untuk mengakhiri kekuasaan rezim-rezim otoriter Arab.

Ketika Arab Spring mulai menerjang Suriah 26 bulan lalu pun pemerintahan Barack Hussein Obama mendukung penuh kubu oposisi di bawah payung Dewan Nasional Suriah (SNC) pimpinan Burhan Ghalioun. Di luar pasokan persenjataan militer, AS menerjunkan agen CIA serta memberikan bantuan medis dan peralatan komunikasi senilai 15 juta dolar AS kepada oposisi Suriah. Seperti halnya Uni Eropa (UE) dan sahabat-sahabat (oposisi) Suriah di Timur Tengah (Timteng), semisal Arab Saudi dan Qatar, AS pun menginginkan Presiden Suriah Bashar al-Assad segera tumbang.

Namun, setelah cukup lama pasukan oposisi di bawah komando Tentara Pembebasan Suriah (FSA) tak kunjung berhasil mendongkel rezim Assad, sikap AS tampak berubah: Washington mulai skeptis (ragu) mendukung oposisi. 

Tanggal 2 Mei lalu, saat Menteri Pertahanan Inggris Philip Hammond berkunjung ke Washington dan meminta pemerintah AS mau kembali mempersenjatai tentara oposisi, Presiden Obama tidak serta merta menyetujuinya. Obama mengatakan negaranya masih perlu mempertimbangkan lagi upaya mempersenjatai kelompok oposisi Suriah. Ini selain bisa dibaca sebagai keragu-raguanan AS, sekaligus sebagai  ketidakmauannya gegabah mendudukung oposisi Suriah. Mengapa sikap AS berubah seperti itu?

Dalam persepsi AS, Suriah jelas berbeda secara mendasar dari Tunisia, Mesir, Libya ataupun Yaman. Apabila badai Arab Spring di negara-negara tersebut sebatas mengganti rezim, di Suriah tidaklah demikian. 

Masyarakat Sunni selaku penduduk mayoritas di Suriah menginginkan syariat Islam sebagai konstitusi negara setelah Bashar al-Assad tumbang. Keinginan itu terlihat nyata sekurang-kurangnya saat mereka menggelar aksi massa di seluruh Suriah pada 22 Februari 2013. Mereka bergerak di Aleppo, Douma, Yabrud, Salqin Killy, Idlib, Tariq Halab, Horan, Homs, Bezah, Binnisy, dan Ma’arit Mishriyin. 

Dalam aksi tersebut ribuan orang menyanyikan nasyid ’’Revolusi Kami, Revolusi Islam’’. Di antara mereka ada yang membawa poster bertuliskan ’’Satu Umat, Satu Bendera, Satu Negara’’ dan kalimah tauhid.
Di luar itu, sejak Suriah mulai bergolak dua tahun lalu banyak kelompok milisi (brigade) mujahidin bermunculan, di antaranya Brigade Anshar Al-Syria, Brigade Abdullah Ibnu Al-Zubair Brigade Rijalullah, Brigade Syuyyuf Ar-Rahman, dan Brigade Ar-Razaq. Mereka berkolaborasi membentuk brigade koalisi Anshar Al-Khilafah (pendukung khilafah).

Berebut Minyak

Bukan cuma itu, muncul pula kelompok ekstremis Jabhat An-Nusra yang sudah lama diidentifikasi oleh AS sebagai kelompok teroris yang berkaitan langsung dengan kelompok teroris global Al-Qaeda yang sepeninggal Usamah bin Ladin dipimpin Ayman Az-Zawahiri. Mereka bersama pasukan FSA menggempur pasukan rezim Assad.       

Keadaannya menjadi lebih rumit dan sulit karena para milisi itu saling berebut ladang minyak khususnya di Provinsi Deir Al-Zor, sebuah kawasan produksi minyak terpenting Suriah bagian timur laut. Dilaporkan, pasukan FSA kerap bertempur dengan milisi Jabhat An-Nusra untuk menguasai ladang-ladang, fasilitas produksi ,dan jaringan pipa minyak di Deir Al-Zor.

Abu Ramzi, pegawai minyak negara di Damaskus menyebutkan, dengan menguasai jaringan pipa para milisi dapat mengebor pipa dan menyedot minyak yang mengalir. Ribuan barel minyak mentah berhasil mereka selundupkan ke Turki tiap hari menggunakan truk-truk tanker kecil melewati jalan desa menuju pintu perbatasan Bab A-Hawa ataupun Tal Abiad. 

An-Nusra sejauh ini memanfaatkan keuntungan finansial dari penguasaannya atas sejumlah ladang minyak di Deir Al-Zor itu untuk membeli lebih banyak lagi senjata.

Jadi, adanya kemungkinan Suriah akan dijadikan sebagai sebuah negara Islam pasca-Assad dan kemenonjolan kelompok ekstremis (teroris) An-Nusra di tengah perlawanan oposisi terhadap rezim Assad itulah yang agaknya menyebabkan pemerintah AS mengubah sikap  dalam krisis Suriah. 

Amerika yang semula bersemangat mendukung kubu oposisi, belakangan ragu-ragu, dan tak mau gegabah lagi mendukung. Tentu, keraguan-raguannya itu ikut andil bagi kemenguatan kembali posisi militer loyalis Assad di medan perang beberapa pekan terakhir. Realitas ini dikhawatirkan bisa membuat krisis Suriah makin berlarut-larut. Negeri Syam itu makin tenggelam ditelan arus perang saudara tiada akhir yang makin banyak merenggut korban jiwa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar