Sabtu, 18 Mei 2013

Langkah Mundur Deradikalisasi


Langkah Mundur Deradikalisasi
Didin Jaenudin ;  Mahasiswa S-2 Pendidikan dan Pemikiran UIKA Bogor 
REPUBLIKA, 17 Mei 2013

Tulisan ini menanggapi opini Republika, Selasa, 14 Mei 2013, yang disampaikan oleh Masykuri Abdillah, guru besar UIN Jakarta tentang langkah melawan radikalisme Muslim di Indonesia. Beliau mengajukan gagasan pemberian surat rekomendasi kelayakan untuk setiap ulama, khatib, dan dai. Tidak cukup itu, setiap ormas Islam dapat bekerja sama untuk memberikan penjelasan dan pencerahan apabila menemukan ulama, dai, dan khatib yang isi materi khotbah atau pengajiannya mengarah kepada radikalisme. 

Ide gagasan tersebut hampir mirip dengan usulan Badan Nasional untuk Penanggulangan Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu yang mendapat sorotan dari umat Islam dengan mengajukan wacana yang katanya dilakukan di negara-negara Arab itu. Pada hakikatnya, kedua usulan dan gagasan tersebut melahirkan opini negatif bagi masyarakat Islam dan tidak mustahil melahirkan perlawanan dari umat Islam untuk menentang gagasan tersebut. 

Radikalisme di Indonesia sekarang ini selalu dikaitkan dengan terorisme dan terorisme dikaitkan dengan Islam. Sehingga, melalui pemberitaan sudah terbangun opini di masyarakat bahwa radikalisme dilakukan oleh Muslim. Dari opini tersebut, secara sendirinya sedikit demi sedikit membawa kesimpulan orang Islam menjadi musuh masyarakat Indonesia, bahkan dunia.

Terjadi kesalahan yang mendasar dilakukan Barat secara khusus dan disebarkan ke seluruh dunia untuk menyudutkan Islam pascaserangan terhadap WTC, 9 September 2001, dengan menyamakan istilah radikalisme dengan perbuatan jihad. Padahal, radikalisme dengan jihad sangat bebeda jauh dari segi peristilahan. 

Mengenai definisi jihad, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, jihad kadang dengan hati, seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, dengan berdakwah kepada Islam dan syariat nya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan. Jihad juga bisa dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum Muslimin atau berperang dengan diri sendiri.

Dengan jelas, pendapat di atas mengenai jihad ada beberapa tingkatan dalam pengamalannya walaupun dalam jihad pun akan mendapati perilaku radikal, namun disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Dan, ternyata radikal dalam pengertian Barat pun mengakui boleh melakukannya dalam waktu dan kondisi tertentu.

Memahani tulisan Masykuri Abdillah tentang radikalisme Muslim tidak lepas dari pokok pengambilan pengertian radikal yang dimiliki oleh Barat. Dalam tatanan praktiknya, setiap Muslim yang mempraktikkan perintah agama sesuai dengan ajaran agama dalam melakukannya terdapat tindak kekerasan yang disamakan dengan radikalisme. Penempatan kata radikalisme milik Barat disematkan juga kepada sikap orang yang melakukan perlawanan terhadap kezaliman. 

Opini yang disampaikan Masykuri Abdillah tentang upaya melawan radikalisme dengan rekomendasi dari MUI kepada setiap mubaligh, ulama, dan dai secara tidak langsung menyakiti ulama dan menganggap ulama sebagai tokoh paling bertanggung jawab di balik perilaku radikalisme Muslim sekarang ini. Ulama dicurigai mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan yang radikal kepada umat. 

Ulama sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris ajaran Nabi) mempunyai tugas untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat sesuai dengan wahyu yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Wahyu yang disampaikan oleh ulama sudah jelas kebenarannya dari Allah SWT untuk dijadikan pegangan dan pedoman dalam kehidupan. Ulama akan berdosa apabila menyampaikan satu ayat tidak sesuai dengan perilakunya. 

Dalam pandangan gagasannya, tidak sembarangan Muslim dapat mendakwahkan ajaran Islam melalui khotbah dan pengajian, kecuali setelah MUI sebagai lembaga tertinggi ulama di Indonesia memberikan rekomendasi kepada setiap mubaligh, ulama, dan dai dalam menyampaikan wahyu Alquran dan hadis. Tidak menutup kemungkinan ulama disamakan dengan makanan yang berstempel halal yang layak dikonsumsi. 
Hal tersebut dengan jelas ada indikasi pendiskreditan terhadap ulama dengan memilah-milah dan membagi-bagi tingkatan mubaligh, ulama, dan dai dalam menyampaikan wahyu. Lebih jauh lagi, ada upaya untuk mendiskreditkan Islam.
Dengan gagasan tersebut, bukan tidak mungkin peran ulama dibatasi. Gagasan yang disampaikannya dapat membangun imperialisme terhadap keberadaan ulama dalam masyarakat Indonesia. Untuk melegitimasi gagasannya, dalam praktiknya, tidak sekadar melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi ormas-ormas Islam di Indonesia turun tangan untuk membantu melawan radikalisme Muslim. 

Berkaca dari gagasan Masykuri Abdillah itu, sepatutnya perlu dikaji kembali dengan cermat dan teliti akar permasalahan radikalisme Islam bersumber dari mana yang paling dominan. Apakah betul ulama menjadi akar yang paling bertanggung jawab terhadap radikalisme? Apakah betul ajaran agama Islam mengajarkan radikalisme bagi para pemeluknya? 

Secara jujur, mungkin cukup catatan sejarah keemasan Islam masa lalu sebagai bukti semua umat manusia mengetahui dan mengakui bahwa Islam adalah agama rahmatanlil alamin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar