|
REPUBLIKA,
17 Mei 2013
Tulisan
ini menanggapi opini Republika, Selasa, 14 Mei 2013, yang disampaikan oleh
Masykuri Abdillah, guru besar UIN Jakarta tentang langkah melawan radikalisme
Muslim di Indonesia. Beliau mengajukan gagasan pemberian surat rekomendasi
kelayakan untuk setiap ulama, khatib, dan dai. Tidak cukup itu, setiap ormas
Islam dapat bekerja sama untuk memberikan penjelasan dan pencerahan apabila
menemukan ulama, dai, dan khatib yang isi materi khotbah atau pengajiannya
mengarah kepada radikalisme.
Ide
gagasan tersebut hampir mirip dengan usulan Badan Nasional untuk Penanggulangan
Terorisme (BNPT) beberapa waktu lalu yang mendapat sorotan dari umat Islam
dengan mengajukan wacana yang katanya dilakukan di negara-negara Arab itu. Pada
hakikatnya, kedua usulan dan gagasan tersebut melahirkan opini negatif bagi
masyarakat Islam dan tidak mustahil melahirkan perlawanan dari umat Islam untuk
menentang gagasan tersebut.
Radikalisme
di Indonesia sekarang ini selalu dikaitkan dengan terorisme dan terorisme
dikaitkan dengan Islam. Sehingga, melalui pemberitaan sudah terbangun opini di
masyarakat bahwa radikalisme dilakukan oleh Muslim. Dari opini tersebut, secara
sendirinya sedikit demi sedikit membawa kesimpulan orang Islam menjadi musuh masyarakat Indonesia, bahkan dunia.
Terjadi
kesalahan yang mendasar dilakukan Barat secara khusus dan disebarkan ke seluruh
dunia untuk menyudutkan Islam pascaserangan terhadap WTC, 9 September 2001,
dengan menyamakan istilah radikalisme dengan perbuatan jihad. Padahal,
radikalisme dengan jihad sangat bebeda jauh dari segi peristilahan.
Mengenai
definisi jihad, Syaikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, jihad kadang dengan hati,
seperti berniat dengan sungguh-sungguh untuk melakukannya, dengan berdakwah
kepada Islam dan syariat nya, atau dengan menegakkan hujjah (argumen) terhadap penganut kebatilan. Jihad juga bisa
dengan ideologi dan strategi yang berguna bagi kaum Muslimin atau berperang
dengan diri sendiri.
Dengan
jelas, pendapat di atas mengenai jihad ada beberapa tingkatan dalam
pengamalannya walaupun dalam jihad pun akan mendapati perilaku radikal, namun disesuaikan
dengan situasi dan kondisi. Dan, ternyata radikal dalam pengertian Barat pun
mengakui boleh melakukannya dalam waktu dan kondisi tertentu.
Memahani
tulisan Masykuri Abdillah tentang radikalisme Muslim tidak lepas dari pokok
pengambilan pengertian radikal yang dimiliki oleh Barat. Dalam tatanan
praktiknya, setiap Muslim yang mempraktikkan perintah agama sesuai dengan
ajaran agama dalam melakukannya terdapat tindak kekerasan yang disamakan dengan
radikalisme. Penempatan kata radikalisme milik Barat disematkan juga kepada
sikap orang yang melakukan perlawanan terhadap kezaliman.
Opini
yang disampaikan Masykuri Abdillah tentang upaya melawan radikalisme dengan
rekomendasi dari MUI kepada setiap mubaligh, ulama, dan dai secara tidak
langsung menyakiti ulama dan menganggap ulama sebagai tokoh paling bertanggung
jawab di balik perilaku radikalisme Muslim sekarang ini. Ulama dicurigai
mengajarkan doktrin-doktrin keagamaan yang radikal kepada umat.
Ulama
sebagai waratsatul anbiyaa (pewaris
ajaran Nabi) mempunyai tugas untuk menyampaikan ajaran agama kepada umat sesuai
dengan wahyu yang terdapat dalam Alquran dan hadis. Wahyu yang disampaikan oleh
ulama sudah jelas kebenarannya dari Allah SWT untuk dijadikan pegangan dan
pedoman dalam kehidupan. Ulama akan berdosa apabila menyampaikan satu ayat
tidak sesuai dengan perilakunya.
Dalam
pandangan gagasannya, tidak sembarangan Muslim dapat mendakwahkan ajaran Islam
melalui khotbah dan pengajian, kecuali setelah MUI sebagai lembaga tertinggi
ulama di Indonesia memberikan rekomendasi kepada setiap mubaligh, ulama, dan
dai dalam menyampaikan wahyu Alquran dan hadis. Tidak menutup kemungkinan ulama
disamakan dengan makanan yang berstempel halal yang layak dikonsumsi.
Hal
tersebut dengan jelas ada indikasi pendiskreditan terhadap ulama dengan
memilah-milah dan membagi-bagi tingkatan mubaligh, ulama, dan dai dalam
menyampaikan wahyu. Lebih jauh lagi, ada upaya untuk mendiskreditkan
Islam.
Dengan gagasan tersebut, bukan tidak mungkin peran ulama dibatasi. Gagasan yang
disampaikannya dapat membangun imperialisme terhadap keberadaan ulama dalam
masyarakat Indonesia. Untuk melegitimasi gagasannya, dalam praktiknya, tidak
sekadar melibatkan Majelis Ulama Indonesia (MUI), tetapi ormas-ormas Islam di
Indonesia turun tangan untuk membantu melawan radikalisme Muslim.
Berkaca
dari gagasan Masykuri Abdillah itu, sepatutnya perlu dikaji kembali dengan cermat
dan teliti akar permasalahan radikalisme Islam bersumber dari mana yang paling
dominan. Apakah betul ulama menjadi akar yang paling bertanggung jawab terhadap
radikalisme? Apakah betul ajaran agama Islam mengajarkan radikalisme bagi para
pemeluknya?
Secara jujur,
mungkin cukup catatan sejarah keemasan Islam masa lalu sebagai bukti semua umat
manusia mengetahui dan mengakui bahwa Islam adalah agama rahmatanlil alamin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar