|
KOMPAS,
18 Mei 2013
Menarik
sekali pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa bahwa
dampak resesi ekonomi global bisa dikurangi dengan kekuatan ekonomi domestik
(Kompas, 24/4).
Sebenarnya
kita memang memiliki kekuatan ekonomi domestik yang hebat, salah satunya adalah
kekuatan pertanian kecil. Akan tetapi, sekarang ini kekuatan itu kurang
diperhatikan, bahkan cenderung dilupakan.
Mudah-mudahan
uraian ini dapat menggugah perhatian agar tidak melupakan pertanian dan petani
kecil. Ketika harga cabai naik tak terkendali tahun 1995/1996, dalam suatu
sidang kabinet, Presiden Soeharto membawa tanaman cabai dalam pot yang sedang
berbuah ranum warna-warni, ada hijau muda, merah, dan ungu. Menteri yang
berasal dari luar Jawa terheran-heran, menteri yang berasal dari Jawa merasa
akan ada marah besar dari Presiden.
Ternyata
dalam sidang kabinet tersebut Presiden menjelaskan cara bertanam cabai dalam
pot. Mulai dari menyiapkan pot, tanah, bibit, pupuk, hingga cara menanam dan
memeliharanya.
Akhirnya
Presiden Soeharto menganjurkan agar ibu-ibu rumah tangga di perkotaan diajari
menanam cabai dalam pot. Dengan demikian, saat terjadi gejolak harga cabai,
ibu-ibu itu tidak ikut berebut di pasar.
Itulah
cara Presiden Soeharto ”marah”. Ia memberikan solusi untuk mengatasi dengan
sasaran strategis rumah tangga perkotaan. Penanaman cabai dalam pot akhirnya
menjadi program Dharma Wanita, suatu organisasi istri pegawai negeri. Kantor
Menteri Negara Pangan mencetak brosur penanaman cabai dalam pot dan membuat
banyak pelatihan.
Selanjutnya
Bulog melakukan operasi pasar cabai di Pasar Induk Kramatjati. Meskipun
cabainya tidak ada yang menawar—karena pasar cabai sudah dikuasai pedagang
tertentu—Bulog terus bekerja sama dengan petani untuk menanam cabai agar
mengetahui liku-liku penanaman dan perdagangan cabai. Menteri Pertanian
mengatur pertanaman cabai antardaerah supaya tidak ada kekosongan pasokan
antarwaktu. BPS melakukan analisis untuk melihat gejolak harga antarwaktu dan
antardaerah dengan seri waktu yang panjang.
Pelajaran
berharga dari peristiwa ini adalah suatu gejolak harga harus ditangani dengan
serius antar-kementerian, perlu ada terobosan penyelesaian jangka pendek dan
jangka panjang. Pesannya, kekuatan pertanian kecil (hanya menanam cabai dalam
pot) dapat mengurangi kerawanan harga. Dengan demikian, pertanian kecil itu
tidak hanya indah, tetapi juga hebat.
Kekuatan
pertanian kecil
Mari
kita hitung kekuatan pertanian kecil secara sederhana. Produksi padi tahun 2012
sebesar 69 juta ton gabah. Apabila dikalikan Rp 4.200 per kilogram nilainya
hampir Rp 290 triliun. Kemudian produksi jagung 19 juta ton. Kalau harganya Rp
3.500 per kilogram nilainya menjadi Rp 66,5 triliun. Produksi kedelai
850.000 ton dengan harga Rp 7.000 per kilogram, nilainya hampir Rp 6 triliun.
Dari
ketiga komoditas itu saja, apabila usaha tani dianggap sebuah korporasi besar, omzetnya
lebih dari Rp 362 triliun. Apakah ada kekuatan korporasi di Indonesia yang bisa
melebihi kekuatan petani kecil ini? Jawabnya tidak ada. Hebatnya lagi, mereka
memakai modal sendiri, tidak menanggung beban utang, bahkan kegagalan panen pun
ditanggung sendiri.
Kemudian
apa yang kita perbuat untuk petani? Untuk infrastruktur dasar, seperti
bendungan, irigasi, jalan, dan transportasi saja, perhatian kita sangat
minimal. Belum lagi kredit modal kerja yang masih jauh dari harapan, distribusi
pupuk sering kacau, dan beredarnya pestisida palsu untuk memberantas hama. Saat
terkena musibah banjir pun ganti rugi hanya sekadar janji.
Apabila
harga panen jatuh, petani harus menghadapi sendiri, tetapi baru sedikit saja
menikmati kenaikan harga, konsumen ribut. Pertanian kecil sebenarnya merupakan
kekuatan ekonomi domestik tangguh yang sudah terbukti saat menghadapi krisis
1998 dan 2008.
Pertanian
dimiskinkan
Indikatornya
dapat dilihat dari hasil Sensus Pertanian 2003. Pemilikan tanah petani semakin
mengecil, tetapi jumlah petaninya bertambah apabila dibandingkan Sensus
Pertanian 1993. Hal ini mengindikasikan ketidakpedulian kita terhadap petani
dan ”kegagalan” industrialisasi yang belum dapat menyerap tenaga kerja sektor
pertanian.
Indikator
lain: perbankan lebih banyak menyedot uang di pedesaan ketimbang menyalurkan,
sektor perdagangan membanjiri pedesaan dengan barang industri atau barang dari
luar, apabila ada yang membeli produk hasil petani akan dibeli dengan harga
murah. Apabila ada investasi di desa, bukan bertujuan untuk membangun desa,
tetapi memanfaatkan tenaga murah yang ada di desa.
Apa
yang salah dengan kita? Menurut Agus Pakpahan (2012) dalam bukunya Pembangunan
sebagai Pemerdekaan, karut-marut pertanian kita sekarang karena adanya ”sesat
pikir” yang memandang bahwa pertanian dan petani bukan hal yang utama sehingga
menjadikannya institusi yang terpinggirkan.
Pengalaman
negara lain yang berpenduduk besar, seperti Amerika Serikat, untuk menjadi
negara maju dan disegani adalah dengan menyelesaikan terlebih dahulu
pembangunan pertaniannya dengan membenahi UU Perlindungan Petani dalam rangka
membuat pertanian yang kuat.
Kita
sebenarnya memiliki UU Pokok Agraria yang melindungi kepemilikan tanah untuk
petani, baik minimal dan maksimalnya, tetapi UU tersebut dimandulkan. Malahan
yang dilanggengkan adalah struktur ekonomi dualistik warisan kolonial Belanda
yang membuat petani kita menjadi petani gurem.
Di
satu sisi kita mengundang investor membuka perkebunan dengan luas ribuan
hektar, di lain pihak membiarkan petani kita menjadi petani gurem. Korporasi
asing mengembangkan usaha di Indonesia tidak salah, tetapi membiarkan petani
menjadi petani gurem itu salah besar. Selain melanggar UU, juga bertentangan
dengan hati nurani.
Untuk
mengatasi kemelut tersebut, kita hanya dapat menunggu munculnya ”Satria
Piningit” pada Pemilihan Presiden 2014 nanti. Calon presiden yang ditunggu
adalah yang mampu mengubah cara berpikir bahwa pembangunan pertanian merupakan
landasan kemajuan Indonesia menuju zaman kencana (keemasan).
Calon
yang tampak sekarang belum kelihatan platform ekonomi dan strategi yang akan
ditempuh dalam rangka menjabarkan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 dan 34.
Pilihan strateginya: kita akan menjadi ”ayam kampung” yang bebas merdeka atau
menjadi ”ayam broiler” yang disediakan kandang, makan, dan minum, tetapi suatu
saat harus siap disembelih.
Kita
lihat keberhasilan Brasil yang dapat keluar dari kemelut krisis ekonomi dekade
1980-1990 karena munculnya ”Satria Piningit” bernama Luiz Inacio Lula da Silva
(Lula) dari partai Partido Trabalhadores (PT). Lula membawa perubahan bagi
Brasil, dia mempunyai platform ekonomi beraliran kerakyatan (lihat Fadel
Muhammad, Kompas, 5/11/2010). Sekarang Brasil menjadi salah satu negara yang
diperhitungkan di dunia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar