Sabtu, 18 Mei 2013

Kekuatan Pertanian Kecil Dilupakan


Kekuatan Pertanian Kecil Dilupakan
Sapuan Gafar Sekretaris Menteri Negara Pangan 1993-1999
KOMPAS, 18 Mei 2013

Menarik sekali pernyataan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa bahwa dampak resesi ekonomi global bisa dikurangi dengan kekuatan ekonomi domestik (Kompas, 24/4).

Sebenarnya kita memang memiliki kekuatan ekonomi domestik yang hebat, salah satunya adalah kekuatan pertanian kecil. Akan tetapi, sekarang ini kekuatan itu kurang diperhatikan, bahkan cenderung dilupakan.
Mudah-mudahan uraian ini dapat menggugah perhatian agar tidak melupakan pertanian dan petani kecil. Ketika harga cabai naik tak terkendali tahun 1995/1996, dalam suatu sidang kabinet, Presiden Soeharto membawa tanaman cabai dalam pot yang sedang berbuah ranum warna-warni, ada hijau muda, merah, dan ungu. Menteri yang berasal dari luar Jawa terheran-heran, menteri yang berasal dari Jawa merasa akan ada marah besar dari Presiden.

Ternyata dalam sidang kabinet tersebut Presiden menjelaskan cara bertanam cabai dalam pot. Mulai dari menyiapkan pot, tanah, bibit, pupuk, hingga cara menanam dan memeliharanya.

Akhirnya Presiden Soeharto menganjurkan agar ibu-ibu rumah tangga di perkotaan diajari menanam cabai dalam pot. Dengan demikian, saat terjadi gejolak harga cabai, ibu-ibu itu tidak ikut berebut di pasar.
Itulah cara Presiden Soeharto ”marah”. Ia memberikan solusi untuk mengatasi dengan sasaran strategis rumah tangga perkotaan. Penanaman cabai dalam pot akhirnya menjadi program Dharma Wanita, suatu organisasi istri pegawai negeri. Kantor Menteri Negara Pangan mencetak brosur penanaman cabai dalam pot dan membuat banyak pelatihan.

Selanjutnya Bulog melakukan operasi pasar cabai di Pasar Induk Kramatjati. Meskipun cabainya tidak ada yang menawar—karena pasar cabai sudah dikuasai pedagang tertentu—Bulog terus bekerja sama dengan petani untuk menanam cabai agar mengetahui liku-liku penanaman dan perdagangan cabai. Menteri Pertanian mengatur pertanaman cabai antardaerah supaya tidak ada kekosongan pasokan antarwaktu. BPS melakukan analisis untuk melihat gejolak harga antarwaktu dan antardaerah dengan seri waktu yang panjang.

Pelajaran berharga dari peristiwa ini adalah suatu gejolak harga harus ditangani dengan serius antar-kementerian, perlu ada terobosan penyelesaian jangka pendek dan jangka panjang. Pesannya, kekuatan pertanian kecil (hanya menanam cabai dalam pot) dapat mengurangi kerawanan harga. Dengan demikian, pertanian kecil itu tidak hanya indah, tetapi juga hebat.

Kekuatan pertanian kecil

Mari kita hitung kekuatan pertanian kecil secara sederhana. Produksi padi tahun 2012 sebesar 69 juta ton gabah. Apabila dikalikan Rp 4.200 per kilogram nilainya hampir Rp 290 triliun. Kemudian produksi jagung 19 juta ton. Kalau harganya Rp 3.500 per kilogram nilainya menjadi Rp 66,5 triliun. Produksi kedelai 850.000 ton dengan harga Rp 7.000 per kilogram, nilainya hampir Rp 6 triliun.

Dari ketiga komoditas itu saja, apabila usaha tani dianggap sebuah korporasi besar, omzetnya lebih dari Rp 362 triliun. Apakah ada kekuatan korporasi di Indonesia yang bisa melebihi kekuatan petani kecil ini? Jawabnya tidak ada. Hebatnya lagi, mereka memakai modal sendiri, tidak menanggung beban utang, bahkan kegagalan panen pun ditanggung sendiri.

Kemudian apa yang kita perbuat untuk petani? Untuk infrastruktur dasar, seperti bendungan, irigasi, jalan, dan transportasi saja, perhatian kita sangat minimal. Belum lagi kredit modal kerja yang masih jauh dari harapan, distribusi pupuk sering kacau, dan beredarnya pestisida palsu untuk memberantas hama. Saat terkena musibah banjir pun ganti rugi hanya sekadar janji.

Apabila harga panen jatuh, petani harus menghadapi sendiri, tetapi baru sedikit saja menikmati kenaikan harga, konsumen ribut. Pertanian kecil sebenarnya merupakan kekuatan ekonomi domestik tangguh yang sudah terbukti saat menghadapi krisis 1998 dan 2008.

Pertanian dimiskinkan

Indikatornya dapat dilihat dari hasil Sensus Pertanian 2003. Pemilikan tanah petani semakin mengecil, tetapi jumlah petaninya bertambah apabila dibandingkan Sensus Pertanian 1993. Hal ini mengindikasikan ketidakpedulian kita terhadap petani dan ”kegagalan” industrialisasi yang belum dapat menyerap tenaga kerja sektor pertanian.

Indikator lain: perbankan lebih banyak menyedot uang di pedesaan ketimbang menyalurkan, sektor perdagangan membanjiri pedesaan dengan barang industri atau barang dari luar, apabila ada yang membeli produk hasil petani akan dibeli dengan harga murah. Apabila ada investasi di desa, bukan bertujuan untuk membangun desa, tetapi memanfaatkan tenaga murah yang ada di desa.

Apa yang salah dengan kita? Menurut Agus Pakpahan (2012) dalam bukunya Pembangunan sebagai Pemerdekaan, karut-marut pertanian kita sekarang karena adanya ”sesat pikir” yang memandang bahwa pertanian dan petani bukan hal yang utama sehingga menjadikannya institusi yang terpinggirkan.

Pengalaman negara lain yang berpenduduk besar, seperti Amerika Serikat, untuk menjadi negara maju dan disegani adalah dengan menyelesaikan terlebih dahulu pembangunan pertaniannya dengan membenahi UU Perlindungan Petani dalam rangka membuat pertanian yang kuat.

Kita sebenarnya memiliki UU Pokok Agraria yang melindungi kepemilikan tanah untuk petani, baik minimal dan maksimalnya, tetapi UU tersebut dimandulkan. Malahan yang dilanggengkan adalah struktur ekonomi dualistik warisan kolonial Belanda yang membuat petani kita menjadi petani gurem.

Di satu sisi kita mengundang investor membuka perkebunan dengan luas ribuan hektar, di lain pihak membiarkan petani kita menjadi petani gurem. Korporasi asing mengembangkan usaha di Indonesia tidak salah, tetapi membiarkan petani menjadi petani gurem itu salah besar. Selain melanggar UU, juga bertentangan dengan hati nurani.

Untuk mengatasi kemelut tersebut, kita hanya dapat menunggu munculnya ”Satria Piningit” pada Pemilihan Presiden 2014 nanti. Calon presiden yang ditunggu adalah yang mampu mengubah cara berpikir bahwa pembangunan pertanian merupakan landasan kemajuan Indonesia menuju zaman kencana (keemasan).

Calon yang tampak sekarang belum kelihatan platform ekonomi dan strategi yang akan ditempuh dalam rangka menjabarkan Pembukaan UUD 1945 dan Pasal 33 dan 34. Pilihan strateginya: kita akan menjadi ”ayam kampung” yang bebas merdeka atau menjadi ”ayam broiler” yang disediakan kandang, makan, dan minum, tetapi suatu saat harus siap disembelih.

Kita lihat keberhasilan Brasil yang dapat keluar dari kemelut krisis ekonomi dekade 1980-1990 karena munculnya ”Satria Piningit” bernama Luiz Inacio Lula da Silva (Lula) dari partai Partido Trabalhadores (PT). Lula membawa perubahan bagi Brasil, dia mempunyai platform ekonomi beraliran kerakyatan (lihat Fadel Muhammad, Kompas, 5/11/2010). Sekarang Brasil menjadi salah satu negara yang diperhitungkan di dunia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar