Survei Pendidikan
|
KOMPAS,
11 Mei 2013
Banyak
hal perlu dipersiapkan menjelang dua bulan ”target” pelaksanaan Kurikulum 2013,
pada Juli mendatang. Pengetahuan guru terhadap perubahan kurikulum masih di
permukaan, pemahaman teknis pengajaran masih kedodoran. Tanpa persiapan
memadai, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan kekacauan manajemen
di sekolah. Indah Surya Wardhani
Survei
Kompas mengenai Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 memperlihatkan
bahwa para guru SD-SMP belum memiliki pemahaman memadai tentang Kurikulum 2013.
Dari tiap 10 responden, tujuh di antaranya belum mengetahui isi Kurikulum 2013.
Tiga responden lain mengaku sudah tahu, tetapi hanya garis besarnya. Dari
delapan kota lokasi survei, Kota Kupang, NTT, merupakan wilayah dengan tingkat
pemahaman kurikulum paling rendah.
Pengetahuan
guru yang masih sebatas kulit luar terlihat setidaknya dari tiga aspek. Dalam
aspek konseptual, lebih dari separuh responden guru belum mengetahui perbedaan
muatan isi antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006. Buta
konsep ini merembet pada lemahnya perencanaan. Hampir separuh guru mengaku
tidak paham teknis menjabarkan materi Kurikulum 2013 ke dalam rencana
pelaksanaan pendidikan (RPP).
Pada
akhirnya, pada tataran operasional hampir separuh guru mengaku bingung
bagaimana teknis pengajaran pada kurikulum baru, khususnya cara mengajar dengan
pendekatan tematik-integratif. Sejumlah pertanyaan mengemuka seperti bagaimana
cara mengajar materi IPA, IPS, dan bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan,
bagaimana pembagian porsi jam mengajar untuk ketiga materi, dan guru bidang apa
yang akan mengampu mata pelajaran integratif itu.
Faktor
usia dan ”jam terbang” guru berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan guru
terhadap Kurikulum 2013. Makin lama masa kerja guru, maka tingkat pengetahuan
terhadap kurikulum baru justru makin rendah. Kelompok guru senior, dengan masa
mengajar di atas 24 tahun, hanya 22 persen yang paham isi Kurikulum 2013.
Sebaliknya, kelompok guru muda dengan masa kerja di bawah delapan tahun
memiliki proporsi pemahaman lebih tinggi, yaitu 41 persen.
Orientasi
nilai yang dianut guru juga memengaruhi tingkat pengetahuan terhadap kurikulum.
Guru berpikiran moderat cenderung memiliki tingkat pengetahuan lebih baik (35
persen) dibandingkan dengan guru konservatif (31 persen). Ada lebih dari
separuh proporsi guru (57,5 persen) dalam survei ini berpola moderat. Guru
dalam kategori ini antara lain meyakini kualitas pendidikan ditentukan praktik
pendidikan dialogis antara guru dan murid, sementara faktor biaya dan
sertifikasi guru bukanlah hal utama. Guru moderat terutama berada dalam rentang
usia 36-43 tahun, sementara guru konservatif rata-rata berusia 44-50 tahun.
Wacana
media
Rendahnya
tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum 2013 tidak terlepas dari minimnya
sosialisasi resmi dari pemerintah. Sejak pemerintah menggulirkan uji publik
perubahan kurikulum sekitar November 2012, gereget sosialisasi tampak
kedodoran. Survei menunjukkan, sosialisasi terhadap guru dilakukan rata-rata
satu kali dan cenderung menyasar SD-SMP berakreditasi A dan B di kota-kota
utama. Baru dua dari tiap 10 guru mendapat sosialisasi, itu pun dinilai tidak
memberikan pemahaman memadai.
Sejauh
ini, pemerintah baru menyatakan akan melakukan pelatihan massal bagi guru inti
dan instruktur nasional pada Mei ini. Sekitar 46.000 guru inti akan dilatih
menjadi ujung tombak sosialisasi dilanjutkan dengan pelatihan massal untuk
713.000 guru. Selain itu, pemerintah akan mencetak buku panduan pelaksanaan
Kurikulum 2013 bagi guru dan murid. Distribusinya direncanakan sebelum tahun
ajaran baru 2013/2014 dimulai.
Minimnya
panduan dan sosialisasi formal menyebabkan media massa yang justru banyak
mengambil alih wacana perubahan kurikulum dalam beberapa bulan terakhir. Surat
kabar (31,8 persen), televisi (27,5 persen), dan internet (15,8 persen)
merupakan sumber informasi utama bagi para guru. Kemudian disusul institusi
formal seperti kepala sekolah (10,4 persen) dan kolega guru (7,4 persen).
Akibatnya, pengetahuan umum para guru terhadap Kurikulum 2013 bersifat
setengah-setengah dan cenderung terombang-ambing wacana.
Dampak
penerapan kurikulum baru terhadap institusi sekolah juga dikhawatirkan guru.
Terkait kondisi dan status sekolah, perubahan struktur kurikulum potensial
menimbulkan persoalan bagi SD-SMP negeri (50,2 persen) dibandingkan dengan
sekolah swasta (46,2 persen).
Hal
ini karena jumlah guru bersertifikasi cenderung lebih banyak di sekolah negeri.
Tujuh dari setiap 10 guru SD-SMP negeri sudah memiliki sertifikasi guru,
sementara hanya lima dari tiap 10 guru di sekolah swasta yang memiliki
sertifikasi. Pengurangan jam pelajaran menyebabkan guru bersertifikasi sulit
memenuhi syarat minimal jam mengajar per minggu.
Implikasi
Ambiguitas
antara keyakinan sekaligus kekhawatiran mewarnai opini umum dan sikap guru
terhadap implikasi perubahan kurikulum. Pada tataran idealisme, secara umum
guru optimistis bahwa Kurikulum 2013 akan meningkatkan kompetensi lulusan
peserta didik dari aspek spiritual, intelektual, dan mental. Namun, tataran
operasional tampak lebih problematis. Sebagian besar guru (64,8 persen)
menganggap bahwa Kurikulum 2013 tidak berbeda dengan Kurikulum 2006 yang
bermuatan padat sehingga dikhawatirkan memberatkan anak didik.
Pendekatan
tematik integratif juga menjadi sorotan. Separuh bagian guru (51,6 persen)
khawatir integrasi materi IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia akan melemahkan
nilai nasionalisme dan jati diri kebangsaan anak didik. Sekitar separuh guru
juga mengkhawatirkan hal itu akan melemahkan kemampuan kognitif siswa atas
pelajaran IPA dan IPS (56,1 persen) di satu sisi dan pemahaman tata bahasa
(49,8 persen) di sisi lain. Merujuk pada pengamat pendidikan M Abduhzen,
integrasi pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia, potensial menimbulkan
kerancuan berpikir peserta didik (Kompas, 12/12/2012).
Pro-kontra
yang mewarnai perubahan kurikulum menunjukkan bahwa kebijakan ini belum
sepenuhnya siap dilaksanakan. Kesan sebagai kebijakan yang tergesa dan
dipaksakan sulit ditepis. Sudah sepatutnya strategi penerapan Kurikulum 2013
dikaji ulang dengan strategi sosialisasi dan pelatihan yang memadai, demi
menghindari Kurikulum 2013 menjadi pepesan kosong. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar