Minggu, 12 Mei 2013

Kurikulum 2013 (Bukan) Pepesan Kosong


Survei Pendidikan
Kurikulum 2013 (Bukan) Pepesan Kosong
Indah Surya Wardhani  ;  Litbang Kompas
KOMPAS, 11 Mei 2013


Banyak hal perlu dipersiapkan menjelang dua bulan ”target” pelaksanaan Kurikulum 2013, pada Juli mendatang. Pengetahuan guru terhadap perubahan kurikulum masih di permukaan, pemahaman teknis pengajaran masih kedodoran. Tanpa persiapan memadai, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan kekacauan manajemen di sekolah. Indah Surya Wardhani

Survei Kompas mengenai Guru dan Kualitas Pendidikan Nasional 2013 memperlihatkan bahwa para guru SD-SMP belum memiliki pemahaman memadai tentang Kurikulum 2013. Dari tiap 10 responden, tujuh di antaranya belum mengetahui isi Kurikulum 2013. Tiga responden lain mengaku sudah tahu, tetapi hanya garis besarnya. Dari delapan kota lokasi survei, Kota Kupang, NTT, merupakan wilayah dengan tingkat pemahaman kurikulum paling rendah.

Pengetahuan guru yang masih sebatas kulit luar terlihat setidaknya dari tiga aspek. Dalam aspek konseptual, lebih dari separuh responden guru belum mengetahui perbedaan muatan isi antara Kurikulum 2013 dan Kurikulum 2006. Buta konsep ini merembet pada lemahnya perencanaan. Hampir separuh guru mengaku tidak paham teknis menjabarkan materi Kurikulum 2013 ke dalam rencana pelaksanaan pendidikan (RPP).
Pada akhirnya, pada tataran operasional hampir separuh guru mengaku bingung bagaimana teknis pengajaran pada kurikulum baru, khususnya cara mengajar dengan pendekatan tematik-integratif. Sejumlah pertanyaan mengemuka seperti bagaimana cara mengajar materi IPA, IPS, dan bahasa Indonesia dalam waktu yang bersamaan, bagaimana pembagian porsi jam mengajar untuk ketiga materi, dan guru bidang apa yang akan mengampu mata pelajaran integratif itu.

Faktor usia dan ”jam terbang” guru berbanding terbalik dengan tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum 2013. Makin lama masa kerja guru, maka tingkat pengetahuan terhadap kurikulum baru justru makin rendah. Kelompok guru senior, dengan masa mengajar di atas 24 tahun, hanya 22 persen yang paham isi Kurikulum 2013. Sebaliknya, kelompok guru muda dengan masa kerja di bawah delapan tahun memiliki proporsi pemahaman lebih tinggi, yaitu 41 persen.

Orientasi nilai yang dianut guru juga memengaruhi tingkat pengetahuan terhadap kurikulum. Guru berpikiran moderat cenderung memiliki tingkat pengetahuan lebih baik (35 persen) dibandingkan dengan guru konservatif (31 persen). Ada lebih dari separuh proporsi guru (57,5 persen) dalam survei ini berpola moderat. Guru dalam kategori ini antara lain meyakini kualitas pendidikan ditentukan praktik pendidikan dialogis antara guru dan murid, sementara faktor biaya dan sertifikasi guru bukanlah hal utama. Guru moderat terutama berada dalam rentang usia 36-43 tahun, sementara guru konservatif rata-rata berusia 44-50 tahun.

Wacana media

Rendahnya tingkat pengetahuan guru terhadap Kurikulum 2013 tidak terlepas dari minimnya sosialisasi resmi dari pemerintah. Sejak pemerintah menggulirkan uji publik perubahan kurikulum sekitar November 2012, gereget sosialisasi tampak kedodoran. Survei menunjukkan, sosialisasi terhadap guru dilakukan rata-rata satu kali dan cenderung menyasar SD-SMP berakreditasi A dan B di kota-kota utama. Baru dua dari tiap 10 guru mendapat sosialisasi, itu pun dinilai tidak memberikan pemahaman memadai.

Sejauh ini, pemerintah baru menyatakan akan melakukan pelatihan massal bagi guru inti dan instruktur nasional pada Mei ini. Sekitar 46.000 guru inti akan dilatih menjadi ujung tombak sosialisasi dilanjutkan dengan pelatihan massal untuk 713.000 guru. Selain itu, pemerintah akan mencetak buku panduan pelaksanaan Kurikulum 2013 bagi guru dan murid. Distribusinya direncanakan sebelum tahun ajaran baru 2013/2014 dimulai.

Minimnya panduan dan sosialisasi formal menyebabkan media massa yang justru banyak mengambil alih wacana perubahan kurikulum dalam beberapa bulan terakhir. Surat kabar (31,8 persen), televisi (27,5 persen), dan internet (15,8 persen) merupakan sumber informasi utama bagi para guru. Kemudian disusul institusi formal seperti kepala sekolah (10,4 persen) dan kolega guru (7,4 persen). Akibatnya, pengetahuan umum para guru terhadap Kurikulum 2013 bersifat setengah-setengah dan cenderung terombang-ambing wacana.

Dampak penerapan kurikulum baru terhadap institusi sekolah juga dikhawatirkan guru. Terkait kondisi dan status sekolah, perubahan struktur kurikulum potensial menimbulkan persoalan bagi SD-SMP negeri (50,2 persen) dibandingkan dengan sekolah swasta (46,2 persen).

Hal ini karena jumlah guru bersertifikasi cenderung lebih banyak di sekolah negeri. Tujuh dari setiap 10 guru SD-SMP negeri sudah memiliki sertifikasi guru, sementara hanya lima dari tiap 10 guru di sekolah swasta yang memiliki sertifikasi. Pengurangan jam pelajaran menyebabkan guru bersertifikasi sulit memenuhi syarat minimal jam mengajar per minggu.

Implikasi

Ambiguitas antara keyakinan sekaligus kekhawatiran mewarnai opini umum dan sikap guru terhadap implikasi perubahan kurikulum. Pada tataran idealisme, secara umum guru optimistis bahwa Kurikulum 2013 akan meningkatkan kompetensi lulusan peserta didik dari aspek spiritual, intelektual, dan mental. Namun, tataran operasional tampak lebih problematis. Sebagian besar guru (64,8 persen) menganggap bahwa Kurikulum 2013 tidak berbeda dengan Kurikulum 2006 yang bermuatan padat sehingga dikhawatirkan memberatkan anak didik.

Pendekatan tematik integratif juga menjadi sorotan. Separuh bagian guru (51,6 persen) khawatir integrasi materi IPA dan IPS ke dalam Bahasa Indonesia akan melemahkan nilai nasionalisme dan jati diri kebangsaan anak didik. Sekitar separuh guru juga mengkhawatirkan hal itu akan melemahkan kemampuan kognitif siswa atas pelajaran IPA dan IPS (56,1 persen) di satu sisi dan pemahaman tata bahasa (49,8 persen) di sisi lain. Merujuk pada pengamat pendidikan M Abduhzen, integrasi pelajaran IPA, IPS, dan Bahasa Indonesia, potensial menimbulkan kerancuan berpikir peserta didik (Kompas, 12/12/2012).

Pro-kontra yang mewarnai perubahan kurikulum menunjukkan bahwa kebijakan ini belum sepenuhnya siap dilaksanakan. Kesan sebagai kebijakan yang tergesa dan dipaksakan sulit ditepis. Sudah sepatutnya strategi penerapan Kurikulum 2013 dikaji ulang dengan strategi sosialisasi dan pelatihan yang memadai, demi menghindari Kurikulum 2013 menjadi pepesan kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar