|
KOMPAS, 11 Mei 2013
Hari
Bumi baru saja berlalu, tetapi seolah tanpa gaung. Kerusakan lingkungan terus
terjadi dengan keserakahan manusia sebagai faktor paling dominan. Keserakahan
untuk mengeruk keuntungan pertumbuhan ekonomi membuat eksploitasi alam
berlangsung tanpa batas. Sebenarnya
kesadaran sudah muncul, dan dunia telah mengupayakan sejumlah kesepakatan untuk
membangun secara berkelanjutan dengan mengendalikan kerusakan lingkungan.
Namun, faktanya kerusakan ekologi semakin menjadi-jadi.
Nota
Pastoral Konferensi Waligereja Indonesia tahun ini bertopik keterlibatan gereja
dalam melestarikan keutuhan ciptaan. Dalam nota ini, Gereja ingin mengajak
seluruh umat Katolik memberikan perhatian, meningkatkan kepedulian, dan
bertindak partisipatif dalam menjaga, memperbaiki, melindungi, dan melestarikan
keutuhan ciptaan dari segala kerusakan. Gereja
memandang lingkungan hidup sebagai segala sesuatu yang ada di sekitar makhluk
hidup, termasuk manusia, berupa benda, daya, dan keadaan yang memengaruhi
kelangsungan makhluk hidup baik langsung maupun tidak langsung.
Dalam
lingkungan hidup terdapat ekosistem, yaitu unsur-unsur lingkungan hidup, baik
yang hidup (biotik) seperti manusia, tumbuhan, hewan, maupun yang tak hidup
(abiotik) seperti tanah, air, dan udara. Semua saling berhubungan dan saling
memengaruhi. Dengan demikian, manusia bersama ciptaan yang lain adalah bagian dari
lingkungan hidup. Lingkungan hidup menyediakan berbagai kebutuhan manusia serta
menentukan dan membentuk kepribadian, budaya, dan pola kehidupan masyarakat.
Karena
itu, dalam memanfaatkan sumber daya alam, manusia harus memperhatikan tujuan
dan dampak yang akan ditimbulkan. Sangatlah penting untuk melindungi sumber
daya hayati, melestarikan keanekaan hayati, dan bijak mengelola sumber daya
hutan dan laut.
Kesadaran
lingkungan
Kesadaran
masyarakat mengenai lingkungan hidup adalah hal penting dewasa ini. Kesadaran
ini sesungguhnya bukan sekadar bagaimana menciptakan suasana indah atau bersih
saja, melainkan juga masuk pada kewajiban manusia untuk menghormati hak-hak
orang lain, yaitu menikmati keseimbangan alam. Dengan demikian,
kegiatan-kegiatan yang tidak berpihak kepada kelestarian lingkungan sedini
mungkin dapat dihindari.
Namun,
faktanya tumbuhnya kesadaran tersebut belum terlihat mengingat kondisi
lingkungan kita yang hari ini sungguh-sungguh memprihatinkan. Bermacam bencana
alam masih terjadi silih berganti. Semakin banyak kawasan Indonesia yang
terendam banjir, padahal dahulu termasuk wilayah aman. Banjir
yang terkait dengan kerusakan hutan sebagai kawasan resapan, di sisi lain
dibarengi makin canggihnya modus para perusak hutan. Inilah jalinan tali-temali
yang sulit diurai.
Manusia
dan keserakahan
Menurut
Tjokrowinoto (1996), semua kesalahan ini tidak pernah diperhitungkan para
pelaku ekonomi yang rakus. Keberhasilan paradigma pertumbuhan ekonomi dalam
meningkatkan kesejahteraan kerap harus dicapai melalui pengorbanan (at the
expense of) berupa deteriorasi ekologis baik yang berwujud menurunnya kesuburan
tanah, penyusutan sumber daya alam yang tidak dapat diperbarui, maupun
desertifikasi. Upaya
mewujudkan masyarakat berkelimpahan (affluent society) ternyata harus disertai
dengan pengorbanan yang membahayakan. Masyarakat kecil di dataran rendah harus
menanggung amukan badai banjir lumpur akibat resapan yang sudah tidak lagi
memadai.
Perkembangan
kapitalisme yang semakin tidak tentu arah, terutama berkaitan dengan
penyelamatan alam, membuat manusia terus berhadapan dengan berbagai problem
lingkungan. Dari hari ke hari, gejala dan bentuk kerusakan alam semakin
berkembang tidak terduga.
Andre
Gorz (2002) dalam Ekologi dan Krisis Kapitalisme menyatakan, manusia sedang
menghadapi situasi semakin meningkatnya kelangkaan sumber daya alam. Solusi
dari krisis itu bukan pemulihan ekonomi, melainkan dengan pembalikan logika
kapitalisme yang cenderung berorientasi pada penumpukan keuntungan (profit)
untuk lebih seimbang antara kebutuhan dan aspek untuk mencapai kebutuhan itu
sendiri.
Perkembangan
kapitalisme yang semakin maju telah melahirkan krisis lingkungan serius karena
konsep pembangunan lebih banyak diarahkan oleh logika-logika kapitalisme. Alam
diperas untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang tidak henti-hentinya
menciptakan teknologi tak ramah lingkungan.
Karena
itu, berbagai praktik pembangunan dan juga industrialisasi di negara kita
hendaknya terus-menerus kita kritisi dari sudut proses dan dampak dari
kebijakan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar