Minggu, 12 Mei 2013

Asrama dan Kebangkitan Pemuda Era Media Sosial


Asrama dan Kebangkitan Pemuda Era Media Sosial
David Krisna Alka ;  Peneliti Populis Institute dan Maarif Institute for Culture and Humanity
MEDIA INDONESIA, 10 Mei 2013


DULU, Indonesia pernah memiliki kalangan muda sebagai pejuang dan pemikir yang menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan di kalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan. Mereka mendorong semangat rakyat melalui pikir, ucap, dan laku dalam berjuang membebaskan negeri ini dari penindasan kolonialis.

Kini, era sudah berganti. `Peradaban' pemuda beralih ke ranah media sosial. Memang, zaman kini berbeda dengan era bambu runcing dan era mendengar informasi hanya dari radio. Seiring dengan era diplomasi dan komunikasi yang sudah mengalami perubahan luar biasa dan memutarbalikkan zaman, media sosial dan wadah interaksi lainnya sudah jauh lebih maju.

Kebangkitan dari asrama

Asrama pemuda pernah menjadi tempat menyatunya spirit kaum muda. Itu menjadi tempat pembahasan mengenai Indonesia bertumpahruah, merebut kemerdekaan, ataupun meruntuhkan rezim diktator. Di asrama-asrama itu, kaum muda menyatu kan kesadaran, seperti apa zaman yang akan mereka hadapi. Semangat zamannya jelas, hendak ke mana arah dan tujuannya. Mereka, para pemuda itu, membangun gerakan dan mendiskusikan format perjuangan melalui basis asrama-asrama untuk berbagai golongan pemuda.

Saat itu ada tiga asrama terkenal dalam sejarah kemerdekaan yang memiliki semangat zaman dan berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh nasional. Ada Asrama Angkatan Baru Indonesia (Menteng 31), Asrama Fakultas Kedokteran atau Asrama Prapatan 10, dan Asrama Cikini 71. Di ketiga asrama itu, dalam catatan Taufik Rahzen (2007), kaum muda menggelar diskusi dengan tema bagaimana dan seperti apa konsep negara Indonesia. Mereka sampai membicarakan bentuk negara. Salah satu sesi diskusi yang paling banyak dikenang ialah ketika Mohammad Hatta diminta berceramah mengenai visi kenegaraannya di Deutsches Haus, Gambir Barat (Jl Merdeka Barat sekarang).

Bung Hatta mengutarakan bentuk statenbond (sederhananya bentuk negara federal) sebagai yang paling cocok bagi negara Indonesia yang luas dan punya keragaman etnik yang begitu kaya. Poin itu pula yang kembali diui tarakan Bung Hatta pada t sidang-sidang BPUPKI sebelum akhirnya `dikalahkan' bentuk negara kesatuan yang diperjuangkan dengan gigih oleh Soepomo dan Soekarno.

Konon, tokoh pergerakan dalam Asrama Menteng 31 itu, antara lain, Chairul Saleh dan Sukarni. Mereka merupakan angkatan muda 1945 yang bersejarah, yang pada saat itu terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamasikan kemerdekaan. Peristiwa itu kemudian dikenal dengan Peristiwa Rengasdengklok. Selain Sukarni dan Chairul Saleh, ada Maruto Nitimihardjo, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, DN Aidit, Armunanto, MH Lukman, dan AM Hanafi.

Masih menurut Taufik Rahzen, berbeda dengan Menteng 31, Asrama Prapatan 10 dihuni mahasiswa dari latar belakang menengah ke atas yang kesehariannya menggunakan bahasa Belanda dengan pandangan sosial demokrat mereka. Asrama Prapatan 10 dipimpin Sutan Sjahrir, Johar Nur, Syarif Thayeb, Darwis, dan Ari Soedewo. Selain itu, asrama mahasiswa lainnya ada di Jalan Cikini yang ditempati Chaerul Saleh, Johar Nur, dan Kusnandar cs.

Ada juga Asrama Indone sia Merdeka yang didirikan dengan tujuan mengimbangi Angkatan Darat dalam menarik pemuda. Pada akhir 1944, berdiri organisasi bernama Angkatan Muda yang dalam konferensinya menghasilkan beberapa resolusi, antara lain, pertama, seluruh golongan harus dipersatukan dan disentralisasi di bawah satu pimpinan tunggal. Kedua, kemerdekaan Indonesia harus diwujudkan secepat mungkin.

Para pemuda Menteng 31 dan Cikini 7 serta Prapatan 10 itu lah yang kelak banyak mengisi posisi-posisi penting dalam tubuh pemerintahan Indonesia, KNIP, ataupun militer. Angkatan muda itu pula yang menjadi aktor peristiwa Rengasdengklok yang (harus diakui) menjadi bagian tak terpisahkan dari lahirnya Proklamasi 17 Agustus 1945. Barangkali cukup banyak asrama pemuda lain yang memiliki spirit zaman yang sama dalam era penindasan yang sama dan memiliki motif politik yang sama, baik pada zaman penjajah maupun tatkala orde baru berkuasa.

Abad media sosial

Barangkali, kini sulit ditemukan asrama-asrama pemuda yang menjadi tempat yang melahirkan tokoh pergerakan, sebagai titik mula melakukan gerakan melawan penindasan zaman. Pertanyaannya, zaman apa yang akan mereka lawan? Perubahan apa yang akan mereka lakukan?

Dengan menilik semangat pemuda yang merupakan bagian penting dalam melahirkan sebuah zaman baru, tak bisa lepas dari pengaruh perubahan politik, sosial, ekonomi, dan budaya dalam sebuah negara, pemuda Indonesia cenderung telah masuk ke budaya konsumerisme, hedonisme, dan kurang peka dengan apa yang terjadi di masyarakat. Mereka tak memiliki motif yang jelas dan luas dalam konteks menentukan tujuan semangat zaman seperti apa yang akan diciptakan.

Cultural movement pemuda biasanya membuat berbagai macam kegiatan yang terlihat dalam bentuk komunitas-komunitas tertentu. Tujuan dan bentuk komunitas-komunitas itu berbeda bila dilihat dari latar belakang terbentuknya.
Ada yang terbentuk atas dasar sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, bahkan politik. Komunitas-komunitas tersebut merupakan respons yang terjadi akibat ketidakmenentuan zaman.

Seyogianya, dalam teori semangat zaman (zeitgeist = the spirit of the time), di suatu komunitas atau opini publik, memang zaman sudah matang untuk timbulnya pandanganpandangan baru yang akhirnya menjadi tren zaman dan tokoh-tokoh pemuda baru justru dilahirkan semangat zaman tersebut. Yang pasti, itu bukan tren dan semangat zaman tentang tokoh muda atau kaum muda yang korupsi.

Sejatinya, semangat zaman kaum muda hari ini melahirkan pandangan jauh ke depan untuk memahami tujuan dan arah gerakan bangsa ini di masa yang akan datang. Kini, harapan terletak pada generasi baru di Republik ini yang kelak akan membawa semangat zaman yang juga baru. Generasi yang mampu mengubah negeri ini menjadi lebih baik dan bermutu. Generasi muda yang gagasan dan gerakannya menggetarkan dan menggema di dunia sehingga negeri ini menjadi lebih bermartabat dan beradab. Tentunya, getaran dan gemanya tak hanya dari Twitter dan Facebook, atau gema berita tentang korupsi yang dilakukan kalangan muda Indonesia. Wallahualam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar