Selasa, 07 Mei 2013

Kisruh BBM dan Semitioka Persoalan Tambang


Kisruh BBM dan Semitioka Persoalan Tambang
W Riawan Tjandra Pengamat Hukum, Dosen di FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 07 Mei 2013


Kisruh manajemen BBM saat ini kembali terjadi yang bisa berimbas terhadap gejolak sosial. Manajemen BBM selalu berkorelasi dengan persoalan utama yaitu pertama kapasitas pengelolaan pertambangan nasional khususnya untuk menyuplai kebutuhan BBM nasional dan kedua kapasitas subsidi terhadap anggaran yang dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri. 

Negeri ini sebenarnya kaya akan potensi pertambangan, namun hampir seluruhnya masih mengandalkan kolaborasi dengan asing dalam pengelolaan pertambangan nasional. Akibatnya, keuntungan negara yang diperoleh dari pengelolaan pertambangan nasional masih jauh panggang dari api untuk memberikan keuntungan yang memadai bagi kepentingan nasional. Kebutuhan BBM dalam negeri saat ini ditaksir mencapai 1,3 juta kiloliter (Kl), sementara produksi BBM di Indonesia masih kurang dari 540.000 barel per hari (bph). Hal itu berakibat Indonesia terpaksa mengimpor sekitar 500.000 bph. 

Kebutuhan BBM nasional saat ini tiap hari mencapai 1,3 juta barel per hari, sementara produksi minyak dalam negeri yang murni bagian yang didapat pemerintah hanya 540.000 barel per hari dan itu tidak semuanya menjadi BBM. Saat ini, produksi minyak nasional masih di bawah yang ditetapkan dalam asumsi APBN-P 2012 yakni 930.000 bph, produksi minyak nasional saat ini hanya sekitar 885.000 bph, kondisi ini tentunya akan berdampak pada meningkatnya jumlah impor minyak. Pada tahun 2013, tak kurang dari Rp277,4 triliun bisa dihabiskan untuk impor BBM.

Dengan demikian, mau tak mau untuk membenahi persoalan manajemen BBM nasional harus diawali dengan melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap kapasitas pengelolaan pertambangan nasional agar dapat memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri secara bertahap. Persoalan pengelolaan tambang tak akan pernah habis untuk dibicarakan. Pertambangan bisa menjadi hulu maupun hilir dari berbagai permasalahan yang kait mengait di baliknya, tergantung sudut pandang dalam meneropongnya. 

Dari sudut pandang persoalan agraria, tambang bisa jadi merupakan hilir persoalan yang bermuara pada disparitas dalam penguasaan lahan dan keadilan sosial dalam tata kelola perekonomian di negara yang menisbatkan diri sebagai negara kesejahteraan ini. Dari sudut pandang lingkungan, tambang divonis menjadi hulu permasalahan lingkungan yang berkembang menjadi kerusakan ekologis dan pencemaran lingkungan. 

Buruknya sistem pertambangan yang menggunakan klaim keabsahan berdasarkan lisensi/konsesi pertambangan, selama ini dinilai menjadi penyebab utama kegagalan konservasi fungsi lingkungan dan rusaknya ekosistem yang sekaligus tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri terhadap BBM. Di antara persoalan hulu dan hilir tersebut, sebenarnya negara sendiri bukan termasuk pihak yang selama ini mendapatkan keuntungan dari aktivitas pertambangan pada umumnya. 

Kontraktor atau perusahaan tambang di Indonesia masih menikmati pendapatan yang jauh lebih tinggi dibandingkan porsi yang seharusnya diterima oleh pemerintah Indonesia. Tengoklah dalam kasus tambang yang dikelola oleh Freeport misalnya, Freeport hanya memberikan royalti tak lebih dari 1% kepada pemerintah atas penjualan emasnya. Tentu hal ini sangat jauh dari rasa keadilan. Fenomena ini membenarkan tuduhan yang menyatakan bahwa operasi perusahaanperusahaan multinasional yang di beberapa tempat juga berkolaborasi dengan perusahaan pertambangan nasional telah menjelma menjadi kolonialisme baru yang terselubung. 

Dengan royalti 1%, pajak 28%, dan biaya operasional produksi diasumsikan 30% dari nilai pendapatan kotor, porsi penerimaan negara dari pertambangan umum hanyalah 20,32% dari nilai pendapatan kotor (gross revenue). Hal ini berarti, 79,68% dari pendapatan kotor dinikmati oleh kontraktor/ perusahaan tambang. Jika mengacu pada PP No. 45 Tahun 2003, seharusnya pemerintah bisa memperoleh paling sedikit 4 persen bagi hasil tambang. 

Caldwell dan Utrecht (1978) dalam bukunya Indonesia: An Alternative History menengarai bahwa pola-pola hegemoni penguasaan ekonomi-politik termasuk dalam pertambangan yang bias asing telah dimulai sejak era kolonisasi Hindia Belanda yang berkonspirasi dengan kekuasaan kapitalisme internasional. Pascakemerdekaan, jaringan kekuasaan kapitalisme internasional terus dipertahankan dan diundang untuk tetap hadir oleh para “kooperator” republik, yaitu para penguasa politik yang membutuhkan partner ekonomi untuk menjalankan roda kekuasaan. 

Kemanfaatan Pertambangan 

UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah sebenarnya telah menentukan bahwa semangat dari bagi hasil penerimaan negara dari sektor pertambangan mampu menjadi salah satu komponen penerimaan fiskal yang penting bagi pemerintah dan pemda yang pada gilirannya akan dikembalikan kepada rakyat melalui berbagai skema subsidi dalam APBN/D. Skema pembagian dari penerimaan negara di bidang pertambangan ditentukan 20 % untuk pemerintah pusat dan 80 % untuk pemerintah daerah. 

Namun, dengan rendahnya bagi hasil yang diterima pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, praktis kemanfaatan sosial dari hadirnya aktivitas pertambangan di berbagai daerah dipertanyakan. Negara telah kehilangan kendali pascaperizinan tambang dikeluarkan. Padahal, Pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menegaskan bahwa mineral dan batubara sebagai sumber daya alam (SDA) yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. 

Aturan semacam itu akhirnya hanya menjadi pepesan kosong dalam praksis, karena negara pun telah kehilangan kendali terhadap aktivitas pertambangan dan tak mampu berbuat banyak di saat rakyatnya dirugikan oleh perilaku predatoris sebagian besar korporat pertambangan. Berbagai persoalan terkait pertambangan yang tidak segera ditangani termasuk evaluasi pelaksanaan pemberian izin usaha pertambangan (IUP), akan menyebabkan permasalahan pertambangan akan menjadi semakin kritis dan pada saatnya akan menimbulkan konflik sosial, permasalahan hukum dan kerusakan lingkungan yang tidak terkendali. 

Kini pemerintah perlu melakukan pemetaan dan penataan ulang terhadap aktivitas pertambangan sambil mengevaluasi secara kritis kemampuannya dalam mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri serta manfaat sosial dari aktivitas pertambangan. 

Pengelolaan pertambangan tidak boleh hanya merupakan kelanjutan praktik-praktik kolonisasi kuasa modal internasional, karena realitasnya pola pengelolaannya selama ini secara kasatmata mengabaikan kemanfaatannya terhadap rakyat dan hanya menjadi sarana untuk mengeksploitasi habis-habisan SDA yang menimbulkan kerusakan ekologis. Kisruh BBM sebenarnya berakar dari paradigma pengelolaan pertambangan di negeri ini yang masih belum menunjukkan kedaulatan otentik di bidang pertambangan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar