Selasa, 07 Mei 2013

Wartawan di Pusaran Politik


Wartawan di Pusaran Politik
Eko Maryadi Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen-AJI
JAWA POS, 07 Mei 2013


Selain artis, yang perlu dicermati saat ini adalah gejala wartawan ramai-ramai menjadi calon legislatif (caleg). Wartawan, terutama dari media televisi dan pernah menjadi presenter, menjadi incaran. Mereka dinilai memiliki popularitas lebih di mata pemilih mengingat seringnya mereka tampil di layar kaca. Bukan kebetulan jika pendukung utama Hanura dan Partai Nasdem adalah konglomerat media penyiaran.

Pada era Orde Lama dan Orde Baru, ada sederet wartawan yang menjadi "politikus". Baharuddin Mohammad (B.M.) Diah dan Harmoko pernah menjadi anggota DPR selain menjadi pejabat eksekutif. Harmoko yang pernah menjadi ketua PWI Pusat menduduki jabatan menteri penerangan dan menjadi ketua umum Golkar pada era Orde Baru. Adam Malik pernah menjadi wakil presiden.

Memasuki era Reformasi (1998-sekarang), para wartawan juga mewarnai dunia politik. Syaifullah Yusuf adalah mantan wartawan Detik yang kemudian menjadi Wagub di Jatim pada Pemilu 2009, sebelumnya menjadi legislator PDIP. Bambang Soesatyo, anggota DPR dari Golkar, dulu wartawan Suara Karya. Effendi Choirie mantan wartawan harian Surya Surabaya yang kemudian menjadi anggota DPR dari PKB. Ramadhan Pohan, anggota DPR dari Demokrat, adalah mantan jurnalis Jawa Pos di Washington DC.

Beberapa tokoh pers nasional juga ikut mendirikan partai politik. Misalnya, Erros Djarot (eks wartawan Detik) mendirikan Partai Nasionalis Bung Karno (PNBK), Goenawan Mohamad (Tempo) ikut mendirikan PAN, Surya Paloh (Media Indonesia/Metro TV) membidani Partai Nasdem. Di luar tiga nama itu, masih ada Dahlan Iskan, tokoh pers nasional, pendiri Grup Jawa Pos, dan sekarang menjabat menteri BUMN.

Tidak ada undang-undang yang melarang wartawan masuk politik. UU Nomor 40/1999 tentang Pers, misalnya, hanya menjelaskan "pers nasional sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini publik, harus mendapatkan perlindungan hukum, bebas dari campur tangan dan paksaan pihak manapun".

Secara substansial, partai politik dan pers sama-sama memiliki peluang untuk memperkuat demokrasi. Meskipun begitu, pers dan partai politik memiliki perbedaan dalam soal rekrutmen, watak-ideologi, dan dalam cara melayani kepentingan publik. Apalagi pers memiliki kode etik jurnalistik (KEJ) sebagai panduan profesionalitas.

Sistem rekrutmen partai politik bersifat terbuka, sukarela, dan amatir (tidak dibayar) meskipun praktiknya seorang caleg harus menyiapkan "amunisi" untuk "membeli" kursi yang diminatinya. Dalam rekrutmen parpol, siapa pun orangnya, asal bisa jadi vote-getter, terlebih punya "amunisi" cukup, jadilah dia. Sementara sistem rekrutmen jurnalis dilakukan tertutup dan harus melewati seleksi kompetensi khusus jurnalisme.

Ideologi partai politik, apa pun, pada ujungnya ialah kekuasaan. Partai politik menginginkan berkuasa untuk mengelola masyarakat sesuai dengan ideologi mereka. Sedangkan ujung profesi wartawan adalah melayani masyarakat dengan informasi yang jujur dan independen atau singkatnya memenuhi kaidah jurnalistik untuk meningkatkan harkat kemanusiaan.

Dalam hal loyalitas, anggota parpol wajib mengikuti garis kebijakan partai dan tunduk kepada keputusan pimpinan partai. Sedangkan jurnalis bebas menganut ideologi apa pun. Ia tak punya kewajiban tunduk pada garis ideologi atau pilihan politik bos pemilik media. Secara etik, setiap jurnalis bahkan dituntut bersikap nonpartisan (tidak berpihak) dan menjaga independensinya dari intervensi atau kooptasi di luar tujuan jurnalistik. Inilah alasan profesi wartawan dan politisi harus dipisahkan.

Dalam perkembangan demokrasi di Indonesia, pers tumbuh menjadi pilar keempat di luar kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif (trias politica). Karena itu, secara etika politik, tidak boleh ada rangkap jabatan atau rangkap fungsi karena bisa mengarah pada kekuasaan yang absolut. Jika pers berperan sebagai kontrol terhadap kekuasaan eksekutif, legislatif, yudikatif, semestinya orang pers tidak boleh merangkap menjadi salah satu atau lebih pilar lain kekuasaan tersebut. Artinya, wartawan yang terjun ke politik, apakah menjadi anggota legislatif atau pejabat eksekutif, harus keluar dari ruang redaksi untuk menghindari konflik kepentingan.

Pada masa Orde Baru, media dan organisasi wartawan pernah dikooptasi kekuasaan, bahkan disalahgunakan oleh pejabat negara sebagai corong propaganda penguasa. Tapi, jurnalis profesional hanya memproduksi berita yang akurat, berimbang, dan independen. Intinya, profesi wartawan tidak bisa dirangkap dengan pekerjaan sebagai politisi.

Sayangnya, tidak ada aturan tertulis soal rangkap jabatan ini kecuali dalam peraturan organisasi wartawan seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Dalam salah satu pasal Anggaran Rumah Tangga (ART) AJI tertulis: anggota AJI bukan pegawai negeri dan tidak boleh jadi pengurus partai politik. Artinya, seorang jurnalis bisa menjadi simpatisan atau anggota parpol, tapi tidak boleh menjadi pengurus partai. Termasuk tidak boleh merangkap sebagai anggota legislatif atau pejabat negara atau pengurus organisasi lain yang bertentangan dengan marwah AJI.

Pemisahan empat pilar kekuasaan -eksekutif, yudikatif, legislatif, dan pers yang bebas- secara efektif akan menguatkan dan menyehatkan demokrasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar