Selasa, 07 Mei 2013

Menjaga APBN dan Kesehatan Fiskal


Menjaga APBN dan Kesehatan Fiskal
Firmanzah Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
KORAN SINDO, 07 Mei 2013


Hingga akhir triwulan I/2013, sinyal pemulihan global akibat krisis fiskal, khususnya di Eropa, masih menyisakan banyak pertanyaan. 

Krisis yang berlangsung sejak 2008 itu terus menekan ekonomi zona euro dengan dinamika yang bervariasi dari stagnasi hingga kontraksi ekonomi. Dana Moneter Internasional (IMF) beberapa waktu lalu memprediksi ekonomi zona euro akan berkontraksi sebesar 0,3% tahun ini atau dengan skenario lebih pesimistis dibanding tahun 2012 yang berkontraksi 0,1%. Dampak krisis fiskal membuat sektor riil tidak bergerak, pengangguran meningkat tajam, dan tergantungnya banyak negara Eropa atas dana talangan, baik dari IMF ataupun Uni Eropa. 

Sebagai respons atas hal itu, otoritas Uni Eropa telah mengeluarkan kebijakan pengetatan fiskal untuk dapat menahan terperosoknya ekonomi Eropa lebih dalam. Kebijakan pengetatan fiskal ini diharapkan dapat membantu penyehatan kapasitas fiskal yang tertekan utang yang demikian besar. Defisit fiskal yang besar sebagai akibat dari besarnya pos pengeluaran (termasuk kewajiban pembayaran pokok utang dan bunga) dibanding pos penerimaan negara menyebabkan ruang fiskal menjadi sangat terbatas. 

Defisit fiskal di sejumlah negara di Eropa semakin besar, bahkan beberapa di antaranya mencapai dua digit seperti Spanyol (26,3%) dan Portugal (17,5%). Kebijakan fiskal merupakan instrumen yang digunakan tidak hanya dalam mengelola keuangan negara, tetapi juga instrumen untuk menggerakkan ekonomi suatu negara. Melalui manajemen fiskal dengan tingkat kedisiplinan tinggi, instrumen fiskal diharapkan dapat terus mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara. 

Pengalaman Indonesia tahun 1998 dan krisis Eropa 2008, kesehatan dan kapasitas fiskal sebagai pendulum ekonomi sangat ditentukan oleh pengelolaan dan kedisiplinan fiskal yang tinggi. Indonesia sangat menjaga kesehatan fiskal pasca-Reformasi sehingga investasi terus berlanjut, ekonomi resilien terhadap krisis sub-prime mortgage dan krisis Eropa, bergeraknya sektor riil, serta terpenuhinya target pembangunan nasional. Postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia hingga 2012 telah menunjukkan peningkatan kapasitas yang tidak hanya progresif tapi juga prospektif. 

Ruang fiskal terus diperlebar untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta menopang berbagai program pembangunan yang sedang berjalan. Setidaknya dibanding 2001, kapasitas fiskal 2012 telah bertumbuh 353% pada pos pembelanjaan dan 351% pada pos pendapatan negara. Ruang fiskal ini akan terus diperbesar seiring semakin meningkatnya penerimaan dan membesarnya kebutuhan pembiayaan pembangunan di sejumlah sektor. Tahun 2013, ruang fiskal ditargetkan mencapai Rp1.657,9 triliun dan pada 2014 direncanakan mencapai Rp1.900 triliun. 

Kapasitas fiskal yang memadai disertai stabilitas makro yang terjaga menjadi kunci pencapaian ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Alokasi anggaran pada sektorsektor kunci seperti pendidikan dan sektor penopang kesejahteraan masyarakat terus ditingkatkan di samping pembangunan infrastruktur pada enam koridor ekonomi. Pertumbuhan ekonomi disertai membesarnya kelas menengah menjadi manifestasi dari keberhasilan pengelolaan fiskal dalam mendorong sektor-sektor ekonomi produktif. 

Bagi Indonesia, kesehatan fiskal merupakan penyangga sekaligus pendorong bagi sejumlah agenda pembangunan yang tertuang baik dalam RPJP maupun RPJMN. Sepanjang 2007–2012, profil realisasi defisit fiskal Indonesia di bawah 2% kecuali tahun 2012 sebesar 2,23% (tetapi masih dalam rentang toleransi 3% dari PDB). Bandingkan dengan Irlandia sebesar 13,1%, Yunani 9,8%, Spanyol 8,5%, Prancis 5,2%, dan Belanda 4,7%. Meningkatnya defisit fiskal 2012 disebabkan peningkatan defisit keseimbangan primer (primary balance) yang mencapai Rp45,5 triliun (sementara realisasi tahun 2011 masih surplus Rp8,5 triliun). 

Melonjaknya belanja negara merupakan salah satu unsur yang menjadi katalisator defisit keseimbangan primer, khususnya realisasi belanja subsidi energi 2012 yang mencapai Rp306,5 triliun (naik 151% dari Rp202,4 triliun yang tercatat di APBN-P 2012). Peningkatan realisasi subsidi energi disebabkan melonjaknya realisasi subsidi BBM yang mencapai Rp211,9 triliun atau kelebihan 154,2% dari pagu sebesar Rp137,5 triliun dan realisasi subsidi listrik mencapai Rp94,6 triliun atau kelebihan 145,6% dari pagu Rp65 triliun. 

Untuk mengantisipasi potensi risiko defisit fiskal di tengah tekanan global economic slowdown, pemerintah telah menyiapkan beberapa langkah sebagai berikut. Pertama, kedisiplinan fiskal terus ditingkatkan dengan prinsip kehatihatian yang adaptable. Artinya kedisiplinan fiskal yang ditempuh tetap memperhitungkan fleksibilitas fiskal termasuk ketika ruang ekspansi memungkinkan untuk dilakukan, khususnya ditujukan bagi agenda pembangunan yang sedang berjalan. Kedua, instrumen impor khususnya impor migas yang mengalami peningkatan cukup besar beberapa waktu terakhir akan ditekan melalui pengendalian BBM bersubsidi. 

Di sejumlah negara seperti Brasil, Yaman, Afrika Selatan, Cile, Peru, Turki, dan Ghana, pengendalian BBM bersubsidi telah berhasil mengatasi kesehatan fiskal negara-negara tersebut. Bahkan negara seperti Turki, Brasil, Afrika Selatan telah mampu mengonversi defisit fiskal menjadi surplus fiskal di sektor energi melalui kebijakan reformasi subsidi BBM. Pemerintah dalam beberapa waktu terakhir telah melakukan sejumlah kajian dan simulasi terkait kebijakan BBM bersubsidi untuk merespons lonjakan subsidi BBM. 

Sejumlah opsi sedang dimatangkan berikut simulasi dampak dari kebijakan pengendalian BBM bersubsidi ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menginstruksikan agar BBM bersubsidi hanya diperuntukkan bagi masyarakat kurang mampu. Di samping itu, sedapatnya kebijakan pengendalian BBM bersubsidi disertai dengan sejumlah program prorakyat sehingga daya beli masyarakat khususnya golongan miskin dan rentan miskin dapat dipertahankan. Ketiga, efisiensi belanja negara terus ditingkatkan di lingkup kementerian, lembaga, dan nonlembaga. 

Terkait dengan efisiensi konsumsi energi di lingkup pemerintahan, Presiden SBY telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 13 Tahun 2011 untuk menekan lonjakan konsumsi energi, khususnya BBM, sehingga alokasi anggaran subsidi BBM dapat ditekan. Selain itu, untuk meningkatkan kualitas belanja negara Presiden SBY telah mengeluarkan Instruksi Presiden No 7 Tahun 2011 yang menekankan peningkatan kualitas belanja negara. 

Keempat, optimalisasi penerimaan pajak terus ditingkatkan mengingat 80% penerimaan negara bersumber dari pajak. Meningkatnya penerimaan pajak dalam postur APBN selama 10 tahun terakhir berdampak pada semakin kecilnya porsi utang sebagai sumber pembiayaan dalam APBN. Rasio utang terhadap PDB terus mengecil hingga 24% di akhir 2012 (bandingkan tahun 2001 yang mencapai 77%). Kelima, kinerja perdagangan luar negeri terus ditingkatkan melalui diversifikasi pasar dan mengidentifikasi potensi pasar-pasar nontradisional. 

Melemahnya permintaan global dalam beberapa waktu belakangan juga telah memberi efek tekanan pada ekspor nasional. Bahkan tahun 2012, neraca perdagangan Indonesia tercatat defisit USD1,6 miliar di mana ekspor menurun menjadi USD190,04 miliar (dari USD203,5 miliar di 2011), sementara impor meningkat mencapai USD191,69 miliar (dari USD177,43 miliar di 2011). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar