Minggu, 12 Mei 2013

Keteladanan dan Pendidikan


Keteladanan dan Pendidikan
Toeti Prahas Adhitama ;  Anggota Dewan Redaksi Media Group
MEDIA INDONESIA, 10 Mei 2013


DALAM rangka peringatan Hardiknas minggu lalu, ricuh yang terjadi di banyak tempat di seluruh wilayah Indonesia menunjukkan kepedulian kaum muda akan pendidikan. Pernyataan kekecewaan anak-anak muda akan penyelenggaraan ujian nasional mengisyaratkan bahwa perubahan dalam sistem pendidikan merupakan keniscayaan. Ada anggapan, mungkin sentralisasi pendidikan oleh pemerintah pusat sudah bukan zamannya lagi.

Ke depan, rincian program pendidikan memerlukan rembukan bersama antara pusat dan daerah, baik oleh pemerintah, berbagai lembaga sosial maupun masyarakat luas. Orang muda ikut merasakan dan melihat ketimpangannya. Hanya kelompok yang naif dan terlalu percaya diri yang mengira bisa mengatasi sendiri problem pendidikan. Padahal, bukan hanya kelompok tertentu, tetapi kita semua perlu meyakini bahwa pendidikan menjadi senjata pamungkas untuk kemajuan yang harus diprioritaskan.

Berbagai demo Hardiknas dengan kekerasan hanya satu sisi wajah kepedulian. Perhatikan kekhusyukan ribuan kaum muda ketika mengikuti proses mendoakan arwah Ustaz Jefri. Kita melihat mereka merasa kehilangan tokoh muda yang menjadi teladan terutama untuk kehidupan spiritual dan hubungan vertikal dengan Yang Maha Kuasa. Orang-orang muda tidak seliar yang digambarkan demo-demo kekerasan. Mereka juga merindukan keteladanan batiniah dalam menghadapi kemunafikan yang dipertontonkan oleh selapis generasi lebih tua yang sekaligus menunjukkan ketidakmampuan masyarakat modern mengorganisasi dirinya.

Sebenarnya sejak dulu masyarakat terdidik sudah menyadari perubahan zaman menuntut perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari sang pemimpin sampai kaum pekerja. Juga diakui, jalan paling tepat memang lewat pendidikan dan rekayasa sosial. Salah satu pelajaran penting dari psikologi sosial: bukan hanya sikap yang memengaruhi perilaku, melainkan perilaku pun bisa memengaruhi sikap dan moral kita. Bila diangkat ke tingkat nasional, perilaku politik kita membantu membentuk atau sebaliknya, merusak kesadaran moral dan sosial kita. Bagaimana bentuk rekayasa sosial itu? Anjuran perubahan sosial-politik pastinya termasuk mengubah sistem pendidikan kita.

Sistem pendidikan terus berubah

Ekonom terkemuka Jepang, Profesor Ryokichi Hirono, ketika masih bertugas di UNDP New York pernah berkunjung ke Indonesia sekitar seperempat abad yang lalu. Sudah sejak waktu itu dia mengatakan, “Jepang bisa semaju sekarang terutama berkat antusiasme mereka di bidang pendidikan. Korea Selatan tumbuh pesat karena penggiatan pendidikan sejak Perang Dunia ke-2. China juga akan maju sekali. Lihat saja setelah tahun 2000 nanti.”

Memang Jepang sejak Restorasi Meiji seabad lalu memiliki hasrat untuk mengejar kebudayaan Barat. Sekarang dalam pencapaian tingkat pendidikan, Jepang menduduki posisi nomor satu dunia. Sementara itu, pemerintah China sekarang telah membuat komitmen bahwa menjelang 2020, setiap 100.000 orang, 13,5% atau lebih akan tamat S-1, dan 31% akan tamat SMA. Buta aksara akan turun di bawah 3%, lama pendidikan rata-rata seluruh penduduk meningkat dari 8 tahun sekarang menjadi 11 tahun nantinya. Belajar seumur hidup menjadi pedoman. Mereka beranggapan, modernisasi pendidikan sangat diperlukan untuk modernisasi kehidupan China. Mengalihkan manajemen pendidikan dari pusat ke tingkat lokal mereka pilih sebagai sarana untuk memperbaiki sistem pendidikan.

Namun, kekuasaan terpusat tidak mereka tinggalkan, seperti terbukti dengan berdirinya Komisi Pendidikan Negara. Secara akademis, reformasi pendidikan bertujuan membuat pendidikan sekolah tingkat dasar dan menengah bersifat universal. Selain itu, jumlah sekolah dan guru yang berkualitas ditambah serta dibangun sekolah-sekolah kejuruan dan teknik. Otonomi dan variasi di dalam dan di antara daerah-daerah diizinkan. Kontrol berlebihan atas perguruan tinggi dikurangi. Namun, tidak berarti bahwa Republik Rakyat China membiarkan inovasi dan pemikiran independen dalam sistem pendidikannya.

Dasar-dasar reformasi pendidikan RRC menargetkan lulusan yang berkemampuan, membuat daerah bertanggung jawab untuk pendidikan dasar dan secara sistematis menjalankan program wajib belajar 9 tahun, meningkatkan pendidikan menengah untuk mengembangkan pendidikan teknik dan kejuruan, dan mereformasi sistem pendidikan tinggi untuk mengembangkan kemampuan manajemen dan pengambilan keputusan. Ditambah lagi dengan memberikan kepada para administrator dorongan dan wewenang yang diperlukan untuk menjamin kelancaran reformasi pendidikan.

Dimana posisi Indonesia?

Dilihat dari peringkat pendidikan, menurut catatan UNESCO lima tahun lalu, Indonesia turun ke tingkat 62 di antara 130 negara di dunia. Education Development Index (EDI) Indonesia masih di bawah Malaysia dan Brunei Darussalam. Padahal, pada era 70-an Malaysia masih mengimpor tenaga pendidik dari Indonesia. Tiga dasawarsa kemudian situasinya sudah terbalik. Indonesia sekarang bahkan masih kalah dari Vietnam dalam peringkat pencapaian pendidikannya.

Mengenai anggaran pendidikan, sejak merdeka tahun 1957, Malaysia mengalokasikan anggaran pendidikan yang tidak pernah kurang dari 20% APBN-nya. UUD kita pun mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN. Selama Orde Baru, berkat dorongan yang tidak henti-hentinya, alokasi anggaran berkisar 10% APBN, turun lagi menjadi 8% yang terakhir sebelum masuk era reformasi.

Celakanya, anggaran pendidikan di awal-awal reformasi dipangkas habis-habisan sampai 3,8% pada 2001. Memang negara berkembang yang sedang mengalami pancaroba menginginkan pemberesan dan mencapai kemajuan serempak di berbagai bidang yang tidak mungkin dilaksanakan. Pendidikan rupanya dikalahkan. Baru pada 2009, jumlah anggaran sesuai dengan amanat UUD, yakni 20% yang berangsurangsur meningkat pula.

Dari total anggaran belanja negara (APBN) 2011 sebesar Rp1,229 triliun, alokasi anggaran pendidikan 2011 mencapai Rp248 triliun, yang ke daerah Rp158 triliun. Untuk tahun berikutnya (2012), SBY mengusulkan ke DPR kenaikan anggaran pendidikan menjadi Rp286,9 triliun dan naik lagi pada 2013 menjadi Rp331,8 triliun.

Sayangnya anggaran ratusan triliun rupiah itu tidak dibarengi dengan kesiapan dalam sistem penyelenggaraannya. Sosiolog dari Universitas Indonesia, Hanief Saha Ghafur, Februari tahun ini menyatakan, pemerintah pusat perlu menggalang koordinasi lebih ketat dan lebih baik dengan pemda. Misalnya, ‘Indonesia kelebihan guru sekitar 500 ribu, tapi ada ketimpangan antardaerah dan bidang studi per wilayah karena tidak terdistribusi dengan baik.’ Tak pelak, perubahan dan penertiban bidang pendidikan merupakan suatu keniscayaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar