|
MEDIA INDONESIA, 10 Mei 2013
DALAM rangka peringatan Hardiknas
minggu lalu, ricuh yang terjadi di banyak tempat di seluruh wilayah Indonesia
menunjukkan kepedulian kaum muda akan pendidikan. Pernyataan kekecewaan
anak-anak muda akan penyelenggaraan ujian nasional mengisyaratkan bahwa perubahan
dalam sistem pendidikan merupakan keniscayaan. Ada anggapan, mungkin
sentralisasi pendidikan oleh pemerintah pusat sudah bukan zamannya lagi.
Ke depan, rincian program pendidikan memerlukan rembukan
bersama antara pusat dan daerah, baik oleh pemerintah, berbagai lembaga sosial
maupun masyarakat luas. Orang muda ikut merasakan dan melihat ketimpangannya. Hanya
kelompok yang naif dan terlalu percaya diri yang mengira bisa mengatasi sendiri
problem pendidikan. Padahal, bukan hanya kelompok tertentu, tetapi kita semua
perlu meyakini bahwa pendidikan menjadi senjata pamungkas untuk kemajuan yang
harus diprioritaskan.
Berbagai demo Hardiknas dengan kekerasan hanya satu sisi
wajah kepedulian. Perhatikan kekhusyukan ribuan kaum muda ketika mengikuti
proses mendoakan arwah Ustaz Jefri. Kita melihat mereka merasa kehilangan tokoh
muda yang menjadi teladan terutama untuk kehidupan spiritual dan hubungan
vertikal dengan Yang Maha Kuasa. Orang-orang muda tidak seliar yang digambarkan
demo-demo kekerasan. Mereka juga merindukan keteladanan batiniah dalam
menghadapi kemunafikan yang dipertontonkan oleh selapis generasi lebih tua yang
sekaligus menunjukkan ketidakmampuan masyarakat modern mengorganisasi dirinya.
Sebenarnya sejak dulu masyarakat terdidik sudah menyadari
perubahan zaman menuntut perubahan sikap dan perilaku kita semua, dari sang
pemimpin sampai kaum pekerja. Juga diakui, jalan paling tepat memang lewat
pendidikan dan rekayasa sosial. Salah satu pelajaran penting dari psikologi
sosial: bukan hanya sikap yang memengaruhi perilaku, melainkan perilaku pun
bisa memengaruhi sikap dan moral kita. Bila diangkat ke tingkat nasional,
perilaku politik kita membantu membentuk atau sebaliknya, merusak kesadaran
moral dan sosial kita. Bagaimana bentuk rekayasa sosial itu? Anjuran perubahan
sosial-politik pastinya termasuk mengubah sistem pendidikan kita.
Sistem pendidikan
terus berubah
Ekonom terkemuka Jepang, Profesor Ryokichi Hirono, ketika
masih bertugas di UNDP New York pernah berkunjung ke Indonesia sekitar seperempat
abad yang lalu. Sudah sejak waktu itu dia mengatakan, “Jepang bisa semaju sekarang terutama berkat antusiasme mereka di
bidang pendidikan. Korea Selatan tumbuh pesat karena penggiatan pendidikan
sejak Perang Dunia ke-2. China juga akan maju sekali. Lihat saja setelah tahun
2000 nanti.”
Memang Jepang sejak Restorasi Meiji seabad lalu memiliki
hasrat untuk mengejar kebudayaan Barat. Sekarang dalam pencapaian tingkat
pendidikan, Jepang menduduki posisi nomor satu dunia. Sementara itu, pemerintah
China sekarang telah membuat komitmen bahwa menjelang 2020, setiap 100.000
orang, 13,5% atau lebih akan tamat S-1, dan 31% akan tamat SMA. Buta aksara
akan turun di bawah 3%, lama pendidikan rata-rata seluruh penduduk meningkat
dari 8 tahun sekarang menjadi 11 tahun nantinya. Belajar seumur hidup menjadi
pedoman. Mereka beranggapan, modernisasi pendidikan sangat diperlukan untuk
modernisasi kehidupan China. Mengalihkan manajemen pendidikan dari pusat ke
tingkat lokal mereka pilih sebagai sarana untuk memperbaiki sistem pendidikan.
Namun, kekuasaan terpusat tidak mereka tinggalkan, seperti
terbukti dengan berdirinya Komisi Pendidikan Negara. Secara akademis, reformasi
pendidikan bertujuan membuat pendidikan sekolah tingkat dasar dan menengah
bersifat universal. Selain itu, jumlah sekolah dan guru yang berkualitas
ditambah serta dibangun sekolah-sekolah kejuruan dan teknik. Otonomi dan
variasi di dalam dan di antara daerah-daerah diizinkan. Kontrol berlebihan atas
perguruan tinggi dikurangi. Namun, tidak berarti bahwa Republik Rakyat China
membiarkan inovasi dan pemikiran independen dalam sistem pendidikannya.
Dasar-dasar reformasi pendidikan RRC menargetkan lulusan
yang berkemampuan, membuat daerah bertanggung jawab untuk pendidikan dasar dan
secara sistematis menjalankan program wajib belajar 9 tahun, meningkatkan
pendidikan menengah untuk mengembangkan pendidikan teknik dan kejuruan, dan
mereformasi sistem pendidikan tinggi untuk mengembangkan kemampuan manajemen
dan pengambilan keputusan. Ditambah lagi dengan memberikan kepada para
administrator dorongan dan wewenang yang diperlukan untuk menjamin kelancaran
reformasi pendidikan.
Dimana posisi
Indonesia?
Dilihat dari peringkat pendidikan,
menurut catatan UNESCO lima tahun lalu, Indonesia turun ke tingkat 62 di antara
130 negara di dunia. Education
Development Index (EDI) Indonesia masih di bawah Malaysia dan Brunei
Darussalam. Padahal, pada era 70-an Malaysia masih mengimpor tenaga pendidik
dari Indonesia. Tiga dasawarsa kemudian situasinya sudah terbalik. Indonesia
sekarang bahkan masih kalah dari Vietnam dalam peringkat pencapaian
pendidikannya.
Mengenai anggaran pendidikan, sejak merdeka tahun 1957,
Malaysia mengalokasikan anggaran pendidikan yang tidak pernah kurang dari 20%
APBN-nya. UUD kita pun mengamanatkan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN.
Selama Orde Baru, berkat dorongan yang tidak henti-hentinya, alokasi anggaran
berkisar 10% APBN, turun lagi menjadi 8% yang terakhir sebelum masuk era
reformasi.
Celakanya, anggaran pendidikan di awal-awal reformasi
dipangkas habis-habisan sampai 3,8% pada 2001. Memang negara berkembang yang
sedang mengalami pancaroba menginginkan pemberesan dan mencapai kemajuan
serempak di berbagai bidang yang tidak mungkin dilaksanakan. Pendidikan rupanya
dikalahkan. Baru pada 2009, jumlah anggaran sesuai dengan amanat UUD, yakni 20%
yang berangsurangsur meningkat pula.
Dari total anggaran belanja negara (APBN) 2011 sebesar
Rp1,229 triliun, alokasi anggaran pendidikan 2011 mencapai Rp248 triliun, yang
ke daerah Rp158 triliun. Untuk tahun berikutnya (2012), SBY mengusulkan ke DPR
kenaikan anggaran pendidikan menjadi Rp286,9 triliun dan naik lagi pada 2013
menjadi Rp331,8 triliun.
Sayangnya anggaran ratusan triliun rupiah itu tidak
dibarengi dengan kesiapan dalam sistem penyelenggaraannya. Sosiolog dari
Universitas Indonesia, Hanief Saha Ghafur, Februari tahun ini menyatakan,
pemerintah pusat perlu menggalang koordinasi lebih ketat dan lebih baik dengan
pemda. Misalnya, ‘Indonesia kelebihan
guru sekitar 500 ribu, tapi ada ketimpangan antardaerah dan bidang studi per
wilayah karena tidak terdistribusi dengan baik.’ Tak pelak, perubahan dan
penertiban bidang pendidikan merupakan suatu keniscayaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar