Rabu, 22 Mei 2013

Kejanggalan SKL-BLBI Layak Diselidiki


Kejanggalan SKL-BLBI Layak Diselidiki
Bambang Soesatyo ;  Anggota Komisi III DPR RI,
Presidium Nasional KAHMI 2012-2017
MEDIA INDONESIA, 21 Mei 2013

SEJUMLAH petinggi era pemerintahan Megawati Soekarnoputri satu per satu dipanggil dan diperiksa KPK terkait dengan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI. Mulai Rizal Ramli, Kwik Kian Gie hingga Putu Ary Sutta. Bahkan dalam perkembangan di pertengahan Mei 2013, terdengar kabar Megawati, Ketua Umum PDI Perjuangan dan Presiden RI kelima, akan dipanggil KPK sebagai saksi kasus SKL BLBI. Tentu saja informasi tersebut membuat kita tercengang.

Kita berharap penyelidikan terhadap penerbitan SKL yang membuat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dihentikan penyidikannya (SP3) oleh Kejaksaan Agung di masa kepresidenan Megawati ini bukan bagian dari operasi Sunyi Senyap atau `SS' yang ingin menempatkan Megawati menjadi sasaran tembak un tuk menjatuhkan pamor PDIP. Sebab, elektabilitas PDIP terus meroket bersama Partai Golkar, dan telah meninggalkan jauh Partai Demokrat.

Ketika KPK memanggil mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas Kwik Kian Gie, semua kalangan ingin tahu apa yang ditanyakan KPK kepada Kwik. Kwik membuat publik tetap penasaran karena tak mau menjelaskan materi pembicaraannya dengan KPK. Persoalan mulai agak jelas ketika mantan Menteri Perekonomian Rizal Ramli mau merespons pertanyaan pers seusai menjalani pemeriksaan di KPK, belum lama ini. Dia mengaku, dari materi pertanyaan para penyidik, sangat jelas bahwa KPK berupaya menelusuri kejanggalan penerbitan SKL BLBI.

Agar tidak menjadi beban sejarah bangsa, Rizal pun mengimbau penegak hukum lebih bersungguh-sungguh menuntaskan kasus penyalahgunaan BLBI. Sebab, negara masih terus membayar bunga subsidi BLBI sekitar Rp60 triliun per tahun. Kewajiban ini masih harus dijalankan negara selama 20 tahun mendatang. Bagi Rizal, meluruskan kasus SKL BLBI itu penting untuk menegakkan keadilan.

Penuturan Rizal itu secara tidak langsung menjelaskan bahwa KPK sedang mendalami dugaan penyalahgunaan fasilitas BLBI, serta kemungkinan adanya penyimpangan pada kebijakan dan mekanisme penerbitan dan pemberian SKL BLBI kepada sejumlah debitur.

Dalam sebuah seminar di Jakarta baru-baru ini, Ketua KPK Abraham Samad mengemukakan bahwa modus dan praktik korupsi dewasa ini terus berkembang dan semakin canggih. Cara koruptor menghilangkan alat bukti serta track record-nya dalam tindak pencucian uang semakin canggih. Dia mengacu pada kasus penyalahgunaan BLBI dan keanehan yang meliputi mekanisme penerbitan SKL BLBI itu.

SKL BLBI diterbitkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan Inpres No 8/2002. SKL memuat ketentuan tentang pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya. Dan sebaliknya, tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS). Berdasarkan SKL dari BPPN itu, Kejaksaan Agung menindaklanjutinya dengan menerbitkan SP3 (surat perintah penghentian penyidikan).
Inpres No 8/2002 yang populer dengan sebutan Inpres release and discharge ini menjadi sangat kontroversial pada waktu itu. Banyak kalangan keberatan, termasuk ekonom Kwik Kian Gie yang saat itu menjabat ketua Bappenas.
Soalnya, debitur BLBI dipastikan sudah melunasi seluruh utang kendati hanya 30% dari JKPS dalam bentuk tunai dan 70% dibayar dengan sertifikat bukti hak kepada BPPN.

Dengan perhitungan seperti ini, debitur yang ditetapkan sudah melunasi kewajibannya berdasarkan penyidikan akan mendapat SP3 dari Kejaksaan Agung. Tidak kurang dari 10 debitur besar yang mendapat SKL, termasuk Sjamsul Nursalim, The Nin King, dan Bob Hasan.

Tipu muslihat

Belakangan, diketahui bahwa perilaku debitur BLBI penuh tipu muslihat. Mereka mengaku tidak mampu lagi melaksanakan kewajibannya mengembalikan BLBI dan bersedia menyerahkan asetnya kepada negara melalui BPPN. Namun, saat aset-aset itu dilelang, BPPN dengan harga yang sangat murah, para obligor itu membeli lagi aset-aset tersebut melalui perusahaan milik mereka yang berdomisili dan beroperasi di luar negeri.

Dari beberapa debitur yang menyerahkan aset kepada BPPN, kasus penyerahan aset oleh Sjamsul Nursalim, selaku pemilik BDNI, paling menyita perhatian karena perhitungannya dinilai tidak akurat. Di kemudian hari, dugaan ketidakjujuran Sjamsul Nursalim terendus ketika mantan jaksa Urip Tri Gunawan (kini berstatus terpidana) ditangkap KPK di pekarangan rumah Sjamsul Nursalim di Jakarta Selatan.
Bukan tidak mungkin, debitur BLBI lain yang telah memperoleh SKL dan SP3 pun berkolaborasi dengan oknum penegak hukum lainnya. Karena itu, KPK perlu `meminjam' terpidana Urip Tri Gunawan untuk sekadar mengetahui bagaimana dia `melayani' kepentingan Sjamsul Nursalim sampai akhirnya mendapatkan SP3.

Dengan demikian, penyelidikan kasus BLBI berpotensi melebar. Tidak hanya soal dugaan penyalahgunaan BLBI, tetapi juga masuk pada kejanggalan jual-beli aset oleh debitur. Berdasarkan laporan audit investigasi penyaluran dan penggunaan BLBI oleh BPK pada 2000, total dana BLBI yang disalurkan kepada 48 bank mencapai Rp144,5 triliun. Dari audit yang sama, ditemukan penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam penyaluran BLBI, yang menimbulkan potensi kerugian negara Rp138,4 triliun, ekuivalen 96% dari total BLBI. Pihak-pihak yang diduga terlibat adalah manajemen bank penerima BLBI dan pejabat Bank Indonesia.

BLBI digagas untuk mencegah runtuhnya industri perbankan nasional akibat krisis moneter 1998. Bantuan diberikan kepada puluhan bank untuk menjaga likuiditas bank-bank penerima bantuan, yang saat itu harus menghadapi rush dari nasabah. Saat itu, segala sesuatunya digambarkan harus serba cepat, termasuk menghitung kebutuhan bantuan likuiditas ataupun pendistribusian bantuan. Presiden (saat itu) HM Soeharto tak punya pilihan lain kecuali setuju saja dengan proposal BLBI dari para pejabat Bank Indonesia saat itu.
Per kebijakan, BLBI mungkin tidak bisa disalahkan. Namun, jumlah, penyalahgunaan BLBI, penyalahgunaan wewenang oleh pejabat BI, dan ingkar janji pemegang saham bank penerima BLBI sangat layak untuk dipersoalkan. Termasuk juga kebijakan dan mekanisme penerbitan SKL sejumlah debitur BLBI.

Karena itu, sangat melegakan jika KPK akhirnya membuka penyelidikan kasus ini. Kelak, jika kasus ini digelar lagi di ruang publik, semua anak bangsa bisa memahami bahwa kasus BLBI adalah kejahatan besar di bidang keuangan yang pernah dilakukan terhadap negara ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar