Rabu, 22 Mei 2013

Membangkitkan Penegakan Hukum


Membangkitkan Penegakan Hukum
Agust Riewanto ;  Peneliti pada Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta
MEDIA INDONESIA, 21 Mei 2013
SETIAP 20 Mei bangsa Indonesia memperingati Harkitnas (Hari Kebangkitan Nasional). Sesungguhnya esensi dari perayaan setiap tahun Harkitnas ialah menginspirasi dan mendorong semangat pada bangsa Indonesia untuk terus bangkit menjadi bangsa yang konsisten dalam mewujudkan cita-cita besarnya, yakni `melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia', `mencerdaskan kehidupan bangsa', dan `melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial'.

Namun, tampaknya bangsa kita belum dapat mewujudkan cita-cita adiluhung itu sebagaimana tercantum dalam Preambule UUD 1945. Terutama terkait dengan menjamin kehidupan rakyat yang sejahtera secara ekonomi dan sosial yang ditopang penegakan hukum dan keadilan.

Masalah penegakan hukum menjadi titik sentral yang diharapkan mampu menjadi motor penggerak dimulainya kebangkitan nasional Indonesia di semua bidang. Negara kita pernah mempunyai tokoh-tokoh yang penuh dedikasi berjuang menjadikan negara bangkit dari belenggu penjajah. Saat ini kita teramat merindukan lahirnya para penegak hukum yang memiliki dedikasi seperti para penggerak lahirnya Boedi Oetomo. Mengapa demikian?

Hari-hari ini publik kita begitu rendah tingkat kepercayaannya (public distrust) pada institusi hukum karena tak mampu menjalankan imperatif hukum secara serius dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip moral-keadilan. Tengoklah belakangan ini hukum tak memihak pada keadilan, bahkan lebih banyak menyisakan duka dan kekecewaan publik tatkala melihat proses jalannya prosedur hukum. Ratusan bahkan ribuan kasus kejahatan terutama korupsi yang melibatkan kekuasaan politik dan uang dilepas begitu saja (SP-3). Namun, kasus kejahatan yang menimpa rakyat jelata dan miskin relasi uang dan kekuasaan justru diburu untuk `dibunuh' dengan baju hukum.

Itu menunjukkan sebuah realitas bahwa hukum hanya tegas pada rakyat jelata, tetapi tumpul dan bergeming pada uang dan kekuasaan. Hukum kita hari ini seolah telah mendengungkan lonceng kematiannya. Persis seperti ungkapan Hugo Black (156), `there can be no equal justice where the kind of trial a man gets depen on the amount of he has' (tak akan pernah tercapai keadilan jika  keadilan masih didasarkan pada besar-kecilnya uang yang didapat).

Hukum berideologi uang

Ini juga mencerminkan betapa institusi hukum kita tengah mempraktikkan hukum berideologi uang, bukan kebenaran ilmu, commen sense, dan rasa keadilan masyarakat. Gejala praktik hukum berideologi uang itu mirip seperti yang diisyaratkan sosiolog Ignas Kleden (2004) yang memopulerkan istilah venalitas (venality), yakni gejala uang bisa digunakan untuk membayar dan membeli hal-hal yang secara substansial tak mungkin bisa dibeli dengan alat tukar uang.

Itu termasuk membeli hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan amat bergantung pada uang. Sikap mental materialisme yang bertumpu pada uang itu kini menjadi ideologi para pekerja dan pengabdi hukum kita (hakim, jaksa, polisi, dan advokat) sehingga budaya venalitas itu terus memasuki ruang-ruang yang dulu mungkin tak dapat dan tak lazim dibeli dengan uang. Hukum dan keadilan i dealnya tak bisa di beli dengan uang, tetapi realitasnya uang menjadi alat tukar dan daya tawar utama.

Wajarlah bila banyak institusi dalam dan luar negeri yang mengkritik lemahnya moralitas moralitas lembaga lembaga hukum kita, salah satunya dituturkan Price Water house Coopers dan British Institute of International and Comparative Law, 2001, serta Asian Development Bank 2002, dalam Final Report of the Governance Audit of the Public Prosecution Service of the Republic of Indonesia, yang menutur kan insti tusi hukum ialah institusi demo krasi Indonesia yang paling lamban dalam upaya mereformasi diri.

Membangkitkan institusi hukum

Di titik inilah membangkitkan institusi hukum hukum dari keterpurukannya memperoleh momentum tepat dengan pertama-tama mendorong aparat hukum (polisi, jaksa, dan hakim) dari intervensi kekuasaan eksekutif.
Harus diakui bahwa lemahnya kinerja aparat hukum selama ini dalam menuntaskan aneka bentuk pelanggaran hukum, terutama kasus-kasus korupsi, disebabkan lemahnya dan tak kuasanya di hadapan uang dan kekuasaan eksekutif (dari presiden, gubernur hingga bupati/wali kota).

Faktor itulah yang menyeret institusi ini ke jurang nestapa sehingga tak tegas menjalankan imperatif substansi hukum, yakni keadilan. Agenda pembaruan berikutnya, ialah perlunya pengawas internal dan eksternal di institusi penegakan hukum (polisi, jaksa, hakim dan advokat), seperti inspektorat jenderal, Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Kejaksaan (Koja), Komisi Yudisial (KY), dan Dewan Etik Advokat, didorong untuk memiliki keberanian dan ketegasan dalam menindak para polisi, jaksa, hakim, dan advokat `nakal' yang suka memperjualbelikan hukum dan keadilan dengan sanksi yang tegas dan mengikat secara hukum.

Itu penting dilakukan sebab pengawasan tanpa diiringi keberanian memberi sanksi sama maknanya dengan pengawasan `banci'. Kendati untuk menuju ke arah keberanian komisi ini, melakukan proyek reformasi institusi hukum juga harus diiringi kontrol masyarakat sipil dan media massa secara intensif.

Yang tak kalah pentingnya dari agenda kebangkitan dalam penegakan hukum itu ialah mendorong reformasi moral. Menurut Harkristuti (2004), reformasi hukum jauh lebih utama bila dimulai dari reformasi moral ketimbang peraturan dan pengawasan verbal. Karena itulah, aneka komisi itu dan masyarakat sipil perlu terus mendorong lahirnya keteladanan moral dari pimpinan puncak institusi hukum (Kapolri, Jaksa Agung, dan Ketua MA).

Cara itu diharapkan akan meretas hingga ke polisi, jaksa, dan hakim di tingkat lebih rendah (provinsi, kabupaten/kota dan kecamatan). Dengan demikian, publik dapat segera menjumpai aparat-aparat hukum yang profesional dan bermoral di semua ranah publik (desa dan kota). Bangkitnya aparat hukum dari perilaku buruknya akan mencerminkan kebangkitan penegakan hukum. Kelak lamban tapi pasti rakyat pun akan segera bangkit untuk memercayai (trusty) aparat hukum dalam mengawal geraknya roda keadilan. Di sinilah ditemukan relevansi kebangkitan nasional dengan kebangkitan penegakan hukum di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar