Kamis, 02 Mei 2013

Gurita Politik Dinasti


Gurita Politik Dinasti
Ikhsan Darmawan ;  Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Depok;
Alumnus Master Ilmu Politik Universitas Diponegoro, Semarang
MEDIA INDONESIA, 01 Mei 2013


Chantal Mouffe (2000) telah lama mengingatkan bahwa demokrasi memiliki sederet paradoks. Satu di antaranya ialah bahwa demokrasi menginginkan adanya kebebasan (freedom), tetapi di sisi lain penerapan kebebasan itu menyebabkan ketersinggungan terhadap prinsip kesetaraan (equality).

Dalam konteks argumen tersebut, politik dinasti menyeret kepada hal paradoks itu. Keluarga Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Provinsi Banten, dari mulai dua orang anak, menantu, sampai suaminya beramai-ramai ikut dalam kontestasi Pemilu 2014. Ratu Atut mengatakan keluarganya memiliki hak yang sama untuk dipilih. Hak dipilih yang tidak berbatas itu mencerminkan adanya kebebasan dalam pemilu. Akan tetapi, ikutnya rombongan keluarga Ratu Atut itu bersentuhan dengan ketidaksetaraan dalam hal modal politik yang dimiliki keluarganya jika dibandingkan dengan para calon legislator lain yang bukan siapa-siapa dan hanya bermodalkan platform, visi, misi, dan program yang mumpuni.

Meminjam istilah Ernesto Dal Bo dan kawan-kawan (2007), politik dinasti menimbulkan inequalities (ketidaksetaraan) dalam distribusi kekuasaan yang merefleksikan ketidaksempurnaan dalam demokrasi perwakilan. Mendoza (2012) juga me nguatkan argumen Dal Bo dan kawan-kawan. Dia menegaskan bahwa menguatnya ikatan keluarga dalam politik menunjukkan berkembangnya ketidaksetaraan dalam akses terhadap kekuasaan dan pengaruh politik.

Bertautan dengan hal itu, hari-hari belakangan ini politik dinasti semakin menggurita. Tidak sulit menemukan contoh-contoh kasus politik dinasti itu. Apalagi saat ini ialah momen bagi parpol dan KPU mengurusi daftar caleg sementara (DCS). Dalam kasus keluarga Ratu Atut tadi, Andika Hazrumy, salah satu anak Ratu Atut yang saat ini menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI. Saudara perempuan Andika, Andiara Aprillia Hikmat, mendaftarkan diri sebagai anggota DPD perwakilan Banten.

Menantu Ratu Atut, yakni istri Andika, Ade Rossi Chaerunnisa, yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Serang, mencalonkan diri menjadi anggota DPRD Banten. Adapun suami Ratu Atut, Hikmat Tomet, yang saat ini menjadi anggota DPR RI, kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR RI. Mereka menggunakan Partai Golkar sebagai kendaraan politik. Dalam kasus Banten, bukan hanya keluarga Ratu Atut yang memburu kursi anggota legislatif, melainkan juga anak Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya dan anak Wali Kota Tangerang Wahidin Halim.

Untuk tingkat pusat di luar dinasti politik Banten, juga banyak pasangan caleg berikatan satu darah. Di Partai Demokrat ada tujuh pasang caleg yang memiliki ikatan kekerabatan. Dua di antara mereka ialah Suaedy Marasabessy-Derita Rina (suami-istri; Partai Demokrat; dapil Maluku 1 dan 3) dan Amir Syamsuddin-Didi Irawadi Syamsuddin (bapak-anak; Partai Demokrat; dapil Sulteng 1 dan Jabar 10). Di Partai Golkar, anak Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, yaitu Dave Laksono, juga ikut meramaikan Pemilu 2014 sebagai caleg.

Fenomena maraknya politik dinasti dalam Pemilu Legislatif 2014 bukan terjadi tanpa sebab. Sebaliknya, di balik itu ada beberapa hal yang menjadi biang sebabnya. Sebab pertama, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Legislatif tidak memuat aturan yang melarang caleg yang memiliki ikatan keluarga maju secara bersamaan. Di dalam deretan syarat pencalonan anggota DPR atau DPD, tak tampak pasal itu.

Sebab kedua, partai politik sebagai pihak yang memiliki hak prerogratif menyusun nama-nama caleg membiarkan caleg yang berasal dari satu keluarga itu lolos. Pembiaran oleh parpol itu menunjukkan ketidakpedulian pengurus parpol terhadap proses rekrutmen siapa saja yang akan menjadi jagoan mereka dalam pemilu.

Sebab ketiga, fenomena politik dinasti juga dapat disebabkan para penguasa ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara menempatkan orang-orang terdekat pada posisi yang bisa mendukung dan menjaga kekuasaan mereka. Hal itu nantinya dapat berujung pada oligarki kekuasaan alias kekuasaan yang dipegang segelintir orang/kelompok saja.

Mosca (1896) pernah mengatakan setiap kelas di dalam masyarakat cenderung berusaha membuat kekuasaan mereka turun-temurun. Pendapat tersebut dapat dimaknai ketika posisi politik dibuka untuk semua orang, mereka yang telah berada dalam kekuasaan akan cenderung mengedepankan ikatan keluarga karena akan (lebih) menciptakan bermacam keuntungan.

Indonesia bukan negara satu-satunya, apalagi negara paling pertama, yang terjangkit `penyakit' politik dinasti. Negara tetangga Indonesia sesama Asia Tenggara, Filipina, juga mengalami politik dinasti. Bahkan negara itu telah mengalami politik dinasti yang akut selama puluhan tahun. Saking akutnya, ada desakan kepada DPR Filipina untuk mendorong dibuatnya UU Antidinasti guna memperkuat aturan di Konstitusi Filipina yang menyebutkan `The State shall guarantee equal access to opportunities for public service, and prohibit political dynasties as may be defined by law'. Di Jepang, hal yang kurang lebih sama juga terjadi. Selama periode 1996 sampai 2007, dari 90% politikus di Jepang yang merupakan laki-laki, 30% di antara mereka berasal dari dinasti politik (Asako dan kawan-kawan, 2010).

Lantas, untuk pemilu legislatif di Indonesia bagaimana sebaiknya ke depannya? Harus ada peran aktif berbagai pihak terkait dengan hal ini.
Pertama, peran media massa. Media massa mesti aktif membantu masyarakat dengan memberitakan tidak hanya siapa saja caleg yang masuk ke politik dinasti, tetapi juga dampak buruk politik dinasti. Hal tersebut berguna membantu memberikan pemahaman kepada masyarakat luas.

Kedua, peran civil society terutama LSM atau NGO yang menunjukkan perhatian khusus kepada soal kepemiluan. Terakhir ialah peran masyarakat. Meskipun tidak ada larangan (apalagi sanksi) kepada caleg yang satu keluarga untuk berkompetisi dalam Pemilu Legislatif, UU tentang Pemilu Legislatif membuka ruang penilaian dari masyarakat. Pasal 62 ayat 5 UU No 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dan tanggapan kepada KPU, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.

Masukan itu harus disampaikan paling lama 10 hari sejak daftar calon sementara diumumkan. Oleh karenanya, sebelum nasi menjadi bubur, sebelum caleg berpolitik dinasti itu masuk daftar caleg tetap (DCT), sekarang saatnya masyarakat berbondong-bondong menyalurkan aspirasi agar para parpol tidak meloloskan para bakal calon wakil rakyat itu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar