|
MEDIA INDONESIA, 01 Mei 2013
Chantal Mouffe (2000) telah lama
mengingatkan bahwa demokrasi memiliki sederet paradoks. Satu di antaranya ialah
bahwa demokrasi menginginkan adanya kebebasan (freedom), tetapi di sisi lain penerapan kebebasan itu menyebabkan
ketersinggungan terhadap prinsip kesetaraan (equality).
Dalam konteks argumen tersebut, politik dinasti menyeret
kepada hal paradoks itu. Keluarga Ratu Atut Chosiyah, Gubernur Provinsi Banten,
dari mulai dua orang anak, menantu, sampai suaminya beramai-ramai ikut dalam
kontestasi Pemilu 2014. Ratu Atut mengatakan keluarganya memiliki hak yang sama
untuk dipilih. Hak dipilih yang tidak berbatas itu mencerminkan adanya
kebebasan dalam pemilu. Akan tetapi, ikutnya rombongan keluarga Ratu Atut itu
bersentuhan dengan ketidaksetaraan dalam hal modal politik yang dimiliki keluarganya
jika dibandingkan dengan para calon legislator lain yang bukan siapa-siapa dan
hanya bermodalkan platform, visi, misi, dan program yang mumpuni.
Meminjam istilah Ernesto Dal Bo dan kawan-kawan (2007),
politik dinasti menimbulkan inequalities (ketidaksetaraan) dalam distribusi
kekuasaan yang merefleksikan ketidaksempurnaan dalam demokrasi perwakilan.
Mendoza (2012) juga me nguatkan argumen Dal Bo dan kawan-kawan. Dia menegaskan
bahwa menguatnya ikatan keluarga dalam politik menunjukkan berkembangnya
ketidaksetaraan dalam akses terhadap kekuasaan dan pengaruh politik.
Bertautan dengan hal itu, hari-hari belakangan ini politik
dinasti semakin menggurita. Tidak sulit menemukan contoh-contoh kasus politik
dinasti itu. Apalagi saat ini ialah momen bagi parpol dan KPU mengurusi daftar caleg
sementara (DCS). Dalam kasus keluarga Ratu Atut tadi, Andika Hazrumy, salah
satu anak Ratu Atut yang saat ini menjabat anggota Dewan Perwakilan Daerah
(DPD) RI, mencalonkan diri menjadi anggota DPR RI. Saudara perempuan Andika,
Andiara Aprillia Hikmat, mendaftarkan diri sebagai anggota DPD perwakilan
Banten.
Menantu Ratu Atut, yakni istri Andika, Ade Rossi
Chaerunnisa, yang saat ini menjabat Wakil Ketua DPRD Kota Serang, mencalonkan
diri menjadi anggota DPRD Banten. Adapun suami Ratu Atut, Hikmat Tomet, yang
saat ini menjadi anggota DPR RI, kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR
RI. Mereka menggunakan Partai Golkar sebagai kendaraan politik. Dalam kasus
Banten, bukan hanya keluarga Ratu Atut yang memburu kursi anggota legislatif,
melainkan juga anak Bupati Lebak Mulyadi Jayabaya dan anak Wali Kota Tangerang
Wahidin Halim.
Untuk tingkat pusat di luar dinasti politik Banten, juga
banyak pasangan caleg berikatan satu darah. Di Partai Demokrat ada tujuh pasang
caleg yang memiliki ikatan kekerabatan. Dua di antara mereka ialah Suaedy
Marasabessy-Derita Rina (suami-istri; Partai Demokrat; dapil Maluku 1 dan 3)
dan Amir Syamsuddin-Didi Irawadi Syamsuddin (bapak-anak; Partai Demokrat; dapil
Sulteng 1 dan Jabar 10). Di Partai Golkar, anak Menteri Koordinator
Kesejahteraan Rakyat Agung Laksono, yaitu Dave Laksono, juga ikut meramaikan
Pemilu 2014 sebagai caleg.
Fenomena maraknya politik dinasti dalam Pemilu Legislatif
2014 bukan terjadi tanpa sebab. Sebaliknya, di balik itu ada beberapa hal yang
menjadi biang sebabnya. Sebab pertama, UU No 8 Tahun 2012 tentang Pemilu
Legislatif tidak memuat aturan yang melarang caleg yang memiliki ikatan
keluarga maju secara bersamaan. Di dalam deretan syarat pencalonan anggota DPR
atau DPD, tak tampak pasal itu.
Sebab kedua, partai politik sebagai pihak yang memiliki hak
prerogratif menyusun nama-nama caleg membiarkan caleg yang berasal dari satu
keluarga itu lolos. Pembiaran oleh parpol itu menunjukkan ketidakpedulian pengurus
parpol terhadap proses rekrutmen siapa saja yang akan menjadi jagoan mereka
dalam pemilu.
Sebab ketiga, fenomena politik dinasti juga dapat
disebabkan para penguasa ingin melanggengkan kekuasaan dengan cara menempatkan
orang-orang terdekat pada posisi yang bisa mendukung dan menjaga kekuasaan
mereka. Hal itu nantinya dapat berujung pada oligarki kekuasaan alias kekuasaan
yang dipegang segelintir orang/kelompok saja.
Mosca (1896) pernah mengatakan setiap kelas di dalam
masyarakat cenderung berusaha membuat kekuasaan mereka turun-temurun. Pendapat
tersebut dapat dimaknai ketika posisi politik dibuka untuk semua orang, mereka
yang telah berada dalam kekuasaan akan cenderung mengedepankan ikatan keluarga
karena akan (lebih) menciptakan bermacam keuntungan.
Indonesia bukan negara satu-satunya, apalagi negara paling
pertama, yang terjangkit `penyakit' politik dinasti. Negara tetangga Indonesia
sesama Asia Tenggara, Filipina, juga mengalami politik dinasti. Bahkan negara
itu telah mengalami politik dinasti yang akut selama puluhan tahun. Saking
akutnya, ada desakan kepada DPR Filipina untuk mendorong dibuatnya UU
Antidinasti guna memperkuat aturan di Konstitusi Filipina yang menyebutkan `The State shall guarantee equal access to
opportunities for public service, and prohibit political dynasties as may be
defined by law'. Di Jepang, hal yang kurang lebih sama juga terjadi. Selama
periode 1996 sampai 2007, dari 90% politikus di Jepang yang merupakan
laki-laki, 30% di antara mereka berasal dari dinasti politik (Asako dan
kawan-kawan, 2010).
Lantas, untuk pemilu legislatif di Indonesia bagaimana
sebaiknya ke depannya? Harus ada peran aktif berbagai pihak terkait dengan hal
ini.
Pertama, peran media massa. Media massa mesti aktif membantu masyarakat dengan
memberitakan tidak hanya siapa saja caleg yang masuk ke politik dinasti, tetapi
juga dampak buruk politik dinasti. Hal tersebut berguna membantu memberikan
pemahaman kepada masyarakat luas.
Kedua, peran civil society terutama LSM atau NGO yang
menunjukkan perhatian khusus kepada soal kepemiluan. Terakhir ialah peran
masyarakat. Meskipun tidak ada larangan (apalagi sanksi) kepada caleg yang satu
keluarga untuk berkompetisi dalam Pemilu Legislatif, UU tentang Pemilu
Legislatif membuka ruang penilaian dari masyarakat. Pasal 62 ayat 5 UU No 8
Tahun 2012 menyatakan bahwa masyarakat dapat memberikan masukan dan tanggapan
kepada KPU, baik di tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota.
Masukan itu harus disampaikan
paling lama 10 hari sejak daftar calon sementara diumumkan. Oleh karenanya,
sebelum nasi menjadi bubur, sebelum caleg berpolitik dinasti itu masuk daftar
caleg tetap (DCT), sekarang saatnya masyarakat berbondong-bondong menyalurkan
aspirasi agar para parpol tidak meloloskan para bakal calon wakil rakyat itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar