Kamis, 02 Mei 2013

Mengakhiri Jebakan Kebijakan Energi


Mengakhiri Jebakan Kebijakan Energi
Rahmad Pribadi ; Mahasiswa Master in Public Administration Harvard University, AS
MEDIA INDONESIA, 01 Mei 2013


Nyali pemerintah di bawah duet kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Boediono benar-benar sedang diuji. Ujian itu berpangkal dari kebijakan soal energi, khususnya terkait dengan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Pilihannya tidak banyak, hanya tersedia dua hal, yakni mengakhiri subsidi yang terbukti selama ini salah strategi dan salah sasaran atau tetap mempertahankannya demi menghindari risiko inflasi dan bertambahnya masyarakat miskin untuk jangka pendek.

Jika pilihannya yang pertama, dalam jangka menengah hingga jangka panjang rezim kali ini akan memiliki legacy penting, yaitu keluar dari jebakan kebijakan energi dan memutus mata rantai panjang kesalahan strategi subsidi. Namun, bila pilihan dijatuhkan pada konsep yang kedua, bom waktu yang memorakporandakan kelangsungan fiskal dan roda perekonomian kita bakal segera terjadi. Kondisi tersebut didasarkan pada kecenderungan realisasi subsidi BBM yang digerojokkan pemerintah sepanjang Januari hingga Maret 2013 yang menunjukkan tren kenaikan.

Dalam hitung-hitungan pemerintah, jika tren tersebut dibiarkan berjalan tanpa ada upaya penting untuk menghentikannya, hingga akhir tahun total subsidi BBM bakal mencapai Rp294,2 triliun. Itu berarti akan jauh melampaui anggaran subsidi BBM yang dialokasikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013 yang hanya dipatok Rp193,8 triliun. Jelas itu situasi yang amat mencekik bagi APBN kita sehingga ruang fiskal pun amat sempit--kalau tidak boleh disebut buntu.

Mari kita tengok postur subsidi BBM tersebut terhadap total belanja dalam APBN 2013. Angka subsidi yang menembus Rp294,2 triliun, jika digelontorkan, akan setara dengan sekitar 19% total belanja APBN 2013 yang mencapai Rp1.600 triliun. Jumlah tersebut hanya terpaut 1% lebih sedikit jika dibandingkan dengan anggaran untuk sektor pendidikan yang sesuai dengan amanat konstitusi dipatok 20%. Jika dibandingkan dengan anggaran untuk belanja modal bagi infrastruktur, stimulus ekonomi bagi usaha mikro, kecil, dan menengah, maupun untuk memberikan stimulasi bagi sektor-sektor yang tradeable yang padat karya, jumlah subsidi BBM itu jauh lebih besar.

Kondisi seperti itu, jika dibiarkan dalam jangka panjang, akan menggerogoti pertumbuhan ekonomi dan upaya pencapaian kesejahteraan rakyat. Belum lagi kalau kita bicara tentang ke mana sebenarnya subsidi BBM tersebut mengalir. Survei yang dilakukan Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menunjukkan 77% subsidi BBM yang dimaksudkan untuk masyarakat miskin itu justru dinikmati mereka yang berkecukupan secara ekonomi.

Secara anatomi konsumsi untuk premium, misalnya, kita mendapati data bahwa 53% premium yang harganya disubsidi tersebut dikonsumsi mobil pribadi. Lalu, sebanyak 40% premium dikonsumsi sepeda motor, serta hanya 4% dipakai untuk angkutan barang dan cuma 3% yang digunakan untuk angkutan umum. Itu artinya, subsidi BBM tersebut salah sasaran.

Tidak mengherankan memang jika kemudian subsidi tersebut salah sasaran. Dari sejak awal kebijakan subsidi secara umum sudah salah strategi. Selama ini, hampir semua rezim memerlukan lebih dari 80% dari total subsidi untuk sektor konsumsi yang tingkat produktivitas dan efek pemerataannya bagi ekonomi sangat kecil. Padahal, jika subsidi itu diberikan kepada sektor-sektor produktif seperti UKM dan usaha-usaha padat karya yang banyak menyerap tenaga kerja atau sektor manufaktur yang bisa memberikan added value tinggi, tentu dampaknya terhadap perekonomian akan sangat terasa.

Benarlah sektor konsumsi selama ini telah menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga bisa mencapai 6,1% hingga 6,5%. Angka tersebut merupakan pertumbuhan ekonomi paling eksplosif di dunia setelah China. Namun, dalam teori ekonomi manapun, pertumbuhan ekonomi yang sebagian besar ditopang sektor konsumsi jelas tidak berkualitas. Dalam jangka panjang, pertumbuhan tersebut hanya akan menghasilkan bubble economy.

Dialihkan ke Sektor Produktif

Karena itulah, jika kita ingin mencapai pertum buhan ekonomi yang berkualitas, jelas sektor produksi harus didorong untuk menjadi penentu pertumbuhan. Karena itu, sektor produksi perlu mendapatkan sejumlah kemudahan dan insentif yang bisa merangsang kalangan industri untuk bergerak.

Lalu, dari mana anggaran stimulus diberikan? Jawabnya jelas, diambilkan dari dana subsidi yang tadinya untuk sektor konsumsi dicabut lalu dialihkan ke sektor produksi. Jika itu terjadi, jumlah angka kemiski nan yang menurut data Badan Pusat statistik masih sekitar 30 juta serta angka pengangguran yang masih sekitar 18 juta orang lambat laun akan teratasi.

Memindahkan subsidi BBM ke sektor yang produktif berarti mesti menempuh cara menaikkan harga BBM bersubsidi. Dengan menaikkan harga BBM bersubsidi pula, jebakan energi juga bisa kita hindari. Selama ini, upaya bangsa ini untuk menggalakkan energi baru dan terbarukan terus terhambat oleh tidak kompetitifnya sektor tersebut. Itu disebabkan disparitas harga yang sangat tajam antara harga bahan bakar dari energi baru terbarukan dan BBM bersubsidi. Dengan harga BBM bersubsidi yang dinaikkan, orang memilih alternatif bahan bakar dari jenis energi baru terbarukan tersebut.

Maka, konsumsi energi yang terus meningkat sebagai konsekuensi pertumbuhan ekonomi yang juga meningkat akan teratasi. Pertumbuhan ekonomi 6,5% akan membawa konsekuensi pada naiknya kebutuhan energi hingga 12%. Dengan harga BBM yang berada di titik keekonomian yang berujung pada pilihan ke energi baru dan terbarukan seperti bahan bakar nabati, misalnya, supply energi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bakal tercukupi. Intinya, paradigma selama ini yang menempatkan BBM vital dan utama harus diubah menjadi energi terbarukan.

Namun, itu semua mensyaratkan ketegasan dan nyali besar dari pemimpin di Republik ini untuk mengambil keputusan. Terus-menerus memelihara subsidi BBM yang salah sasaran dengan mempertahankan harga BBM subsidi sama saja mengajak rakyat bersama-sama masuk jebakan. Berada dalam situasi memelihara dilema sama saja dengan menumpuk bom waktu yang jika dibiarkan menumpuk, akan meledak sangat dahsyat dalam jangka panjang. Maka, janganlah ragu-ragu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar