Sabtu, 18 Mei 2013

Gerakan Mahasiswa dan the New Spirit of Capitalism


Keluar dari Jebakan Involusi :
Gerakan Mahasiswa dan the New Spirit of Capitalism
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, UGM, Yogyakarta
IndoPROGRESS, 06 Mei 2013

BAGAIMANA memahami ‘gerakan mahasiswa’ setelah reformasi 1998? Mungkin, jika boleh merangkum, pertanyaan ini menjadi cukup sentral dalam diskusi antara Dicky Dwi Ananta, (Gerakan Mahasiswa Berangkat Dari Mana dan Menuju Ke Mana?) dan Zamzam Muhammad Fuad (Involusi Gerakan Mahasiswa) yang dimuat di IndoPROGRESS. Kedua tulisan tersebut sama-sama berangkat dari kondisi gerakan mahasiswa yang terjebak dalam mitos-mitos seputar heroisme gerakan (seperti diungkap oleh Dicky), maupun terperangkap dalam relasi patron-klien dalam usahanya mengakses negara (dalam bahasa Zamzam).

Tulisan Zamzam berusaha untuk menyingkap mengapa gerakan mahasiswa cenderung untuk terperangkap pada relasi patron-klien yang ada. Ia melihat hal tersebut sebagai sebuah upaya (yang disebutnya) ‘mengakses negara.’ Namun, sampai di sini muncul pertanyaan: mengapa gerakan mahasiswa bisa terjebak dalam relasi patron-klien yang oligarkis, yang tentu saja sangat mereka tentang ketika Reformasi? Bagaimana gerakan mahasiswa saat ini harus bergerak untuk keluar dari jebakan politik oligarkis tersebut?
Tulisan Zamzam, kendati mengeksplorasi banyak dimensi ekonomi-politik dari pragmatisme mahasiswa, tidak banyak mengupas akar persoalannya. Benar, bahwa gerakan mahasiswa saat ini terjebak pada dimensi patron-klien yang saat ini terkonstruksi pada ‘negara’ yang digambarkan Zamzam. Akan tetapi yang menjadi persoalan, apakah kondisi itu adalah sesuatu yang given dan dengan demikian harus diterima oleh gerakan mahasiswa? Sehingga, jika kerangka berpikirnya tidak diteruskan, tulisan Zamzam akan terjebak pada Tesis XI Marx tentang Feuerbach: ‘para filsuf hanya menafsirkan dunia dalam berbagai cara, padahal yang terpenting adalah bagaimana mengubahnya.’ Oleh sebab itu, tulisan ini mencoba mengupas mengapa mahasiswa terjebak pada praktik politik oligarkis setelah Orde Baru, dan Bagaimana cara menghadapi politik oligarkis tersebut.

Perkembangan Mahasiswa

Mari kita mengajukan pertanyaan: siapakah sebenarnya (gerakan) mahasiswa? Saya mencoba untuk melakukan rekonstruksi dengan menggunakan alat bantu psikoanalisis yang dikembangkan oleh Jacques Lacan.
Selama bertahun-tahun, mahasiswa belajar, berorganisasi, dan melihat realitas di sekelilingnya dari ‘rahim’ ibu yang bernama kampus/universitas. Kondisi ini, disebut oleh Lacan sebagai pra-oedipal. Kehadiran ‘ayah’ –personifikasi dari negara— membuyarkan hubungan intim mahasiswa dengan kampus tersebut, karena ‘negara’ berkuasa untuk memisahkan/mengkastrasi mahasiswa dari kondisi alamiahnya. ‘Negara’ punya kepentingan untuk menguasai kampus sebagai alat melegitimasi kebijakannya, yang membuatnya harus menundukkan semua yang ada di dalam kampus. Kemampuan negara untuk meng-kastrasi mahasiswa tersebut melahirkan rasa takut pada mahasiswa, melahirkan ketundukan pada mahasiswa untuk diatur oleh ‘Sang Ayah.’

Hadirnya ‘Ayah’ tersebut tercermin dalam negara Orde-Baru. Sebelum Orde Baru, mahasiswa adalah mahasiswa yang-alami; hidup dan bergaul dari dalam kampus. Demokrasi Liberal membuat mahasiswa mengafiliasikan dirinya dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada, memberikan mahasiswa kebebasan-di-dalam-kampus untuk belajar dan bergerak. Namun, di tahun 1970an, Orde-Baru mencoba untuk memisahkan mahasiswa dari kebebasan yang ia alami di kampus tersebut, melalui NKK/BKK. Hal ini dilakukan atas dalih mengembalikan mahasiswa ke iklim akademik yang selama ini, menurut versi Orde Baru, tercemari oleh politik. Hadirnya negara kemudian memberikan imaji baru tentang yang-real dari mahasiswa. 

Di sana, mahasiswa mengenai the Others, yang ia sangka bertanggung-jawab atas pemisahannya dengan alam imajiner. Mahasiswa mulai memasuki proses identifikasi yang disebut sebagai fase cermin. Dengan bercermin pada the Others, mahasiswa mulai mengidentifikasikan dirinya. Mahasiswa mengidentifikasi dirinya sebagai ‘abdi negara,’ yang akan menjadi pengayom rakyat di masa depan. Dengan logika ini, mahasiswa mulai memiliki hasrat ‘untuk-menjadi’ apa yang dikatakan oleh cerminnya tersebut: para abdi ‘negara.’

Namun, di tahun 1990an, imaji tersebut berubah. Hasrat tentu saja tidak dapat terus menerus dipuaskan. Ia selalu bereproduksi. ‘Mahasiswa’ yang selama ini ‘diayomi’ oleh negara tiba-tiba sadar bahwa ‘negara’ ternyata tidak mampu memenuhi hasrat-hasratnya. Tentu saja, ini bisa dipahami dari adanya krisis ekonomi. Mahasiswa pun akhirnya berontak. Akhirnya, lahirlah gerakan reformasi yang diinisiasi mahasiswa. Kesadaran untuk memberontak pada ‘Sang Ayah’ akhirnya muncul, hingga akhirnya subjek mahasiswa itu membebaskan diri dari sang ayah. Tahun 1998, Soeharto jatuh dan menyisakan diskursus baru tentang ‘negara’ dan ‘mahasiswa.’
Dari sini, dapat dipahami bahwa gerakan mahasiswa, selama Orde Baru, telah menempatkan ‘Negara’ sebagai The Others. Di lain pihak, Kekuasaan besar negara telah menundukkan gerakan mahasiswa sebagai The Others, ‘negara’ ingin mengonstruksi subjek mahasiswa yang dapat mereka tundukkan. Dengan kata lain, politik NKK/BKK dan depolitisasi mahasiswa, pada dasarnya adalah bentuk penampakan superioritas negara yang mereka tampilkan sebagai cara untuk mendominasi laku dan gerak mahasiswa.
Lantas, bagaimana kita memahami ‘negara Orde Baru’ yang superior ini? Jika kita melihat kajian-kajian lama tentang Orde Baru, seperti Richard Robison (1987) kita akan melihat bahwa superioritas negara sebetulnya adalah penampakan dari kapitalisme. Modus utama kapitalisme pada era ini adalah dengan menguasai negara dan mengoperasikan kapitalisme dari dalam negara tersebut. Herbert Feith (1981) menyebutnya sebagai ‘rezim developmentalis represif.’ Kapitalisme bergerak dari apa yang-disebut-sebagai ‘pembangunan.’ Konsepsi pembangunan ini sangat menonjolkan dominasi negara, yang menjalankan roda pemerintahan dan di sisi lain mendisiplinkan seluruh aktivitas yang melawan-negara tersebut. Sehingga, kita bisa memahami bahwa ‘negara’ yang diidentifikasi sebagai The Others oleh gerakan mahasiswa, adalah jenis negara superior ala Orde Baru. Pertanyaannya, apakah superioritas negara ini kemudian bertahan setelah Orde Baru runtuh?
Vedi R. Hadiz dan Richard Robison (2004) telah memperingatkan kita sejak dini: setelah reformasi 1998, terjadi rekonsolidasi struktur dan aparatus kapitalisme di Indonesia dalam wajahnya yang baru. ‘Reformasi’ –yang diklaim sebagai produk dari demonstrasi mahasiswa— ternyata tidak hanya memberikan prospek demokratisasi yang membuat kebebasan mahasiswa untuk mengartikulasikan pendapatnya di muka umum menjadi lebih terbuka, tetapi juga memberikan sisi lain: semakin hegemonik dan terkonsolidasinya kapitalisme di Indonesia. Persoalan penting yang kemudian layak untuk disoroti adalah bagaimana kapitalisme bertransformasi di Indonesia. Hadiz dan Robison mengungkap, pembentukan kembali oligarki pasca-1998 sangat terkait dengan paket reformasi ekonomi yang ditawarkan oleh IMF dan Bank Dunia. Di saat eforia reformasi dirayakan oleh para aktivis, dua lembaga Bretton Woods ini dengan giat menawarkan paket-paket kebijakan yang beroperasi melalui utang dan bantuan.
Akibatnya, struktur kebijakan ekonomi-politik Indonesia sangat khas bernafas neoliberal. Paket reformasi ekonomi yang ditawarkan oleh Bank Dunia dan IMF mendesentralisasi kekuasaan politik kepada sektor-sektor lain, semisal institusi badan usaha milik negara (melalui privatisasi) perguruan tinggi (melalui otonomi), pemerintahan daerah (melalui desentralisasi), dan kebijakan-kebijakan lain yang membuat peran negara hanya menjadi sekadar penjamin agar logika pasar dapat berkembang di sektor-sektor masyarakat. Paket reformasi ekonomi yang ditawarkan Bank Dunia tersebut mengubah diskursus tentang ‘negara.’ Negara superior yang ditampilkan oleh Orde Baru harus diubah; kekuasaan harus didesentralisir ke semua elemen melalui proses yang-disebut-sebagai ‘demokratisasi.’ Tetapi, demokrasi itu tidak memutus pola-pola ‘oligarki’ lama. Benar bahwa ‘negara Orde Baru’ telah runtuh, tetapi peran ‘negara’ diatur-ulang sebagai penjaga proses liberalisasi yang memungkinkan kapitalisme berjalan secara normal. Kekuasaan kini berada pada institusi baru: pasar.
Instrumen negara yang kemudian diutilisasi oleh kapitalisme global adalah hukum. Dalam bahasa Stephen Gill (2000), perangkat hukum menjadi semacam ‘konstitusi global’ dari kapitalisme yang bermain di Indonesia. Aturan-aturan hukum di Indonesia menjadi instrument untuk memastikan semua aparatus negara dikelola dalam logika pasar. Hal ini mengakibatkan logika kapitalisme bisa masuk ke hampir seluruh bidang kehidupan yang diatur oleh negara. Dengan demikian, sejatinya, struktur ekonomi-politik Indonesia pasca-Orde Baru sejatinya tidak berubah: hanya bentuk dan pola relasi kekuasaannya yang bergeser.
Di sini, kita bisa menggunakan teori Lacan tentang Diskursus ‘Sang Penguasa.’ Kemampuan kapitalisme yang paling berbahaya adalah kemampuannya untuk memperbarui diri. Dengan memperbarui dirinya setelah Suharto jatuh, Kapitalisme mampu menunjukkan dirinya untuk menjadi Sang-Penguasa. Kapitalisme beroperasi dalam sebuah penanda-utama: akumulasi kapital. Kemampuan untuk mengakuisisi negara menyebabkan logika akumulasi-kapital tidak lagi dilakukan di luar negara, melainkan justru berada di dalam ‘negara’. Inilah yang kemudian melahirkan the New Spirit of Capitalism ¬–pola akumulasi kapital berbasis jaringan-jaringan otonom dan eksploitasi atas hasrat manusia.
Mahasiswa yang tadinya bergembira karena ia telah berhasil menumbangkan kekuatan ‘Negara,’ rupanya harus melakukan proses identifikasi yang baru. Terjadi ‘kegalauan’ di kalangan gerakan mahasiswa ketika muncul pertanyaan: mau ke mana setelah Suharto jatuh? Gerakan mahasiswa 1998 yang meletakkan reformasi sebagai ‘penanda-utama’ dan mengidentifikasi Negara sebagaithe-Other, tidak siap menghadapi perubahan struktur diskursus yang selama ini menjadi the-Other. Padahal, keberadaan the-Other penting untuk mengidentifikasi diri. Sebagian mahasiswa menjadikan Negara sebagai the-Other, yang membuat sebagian mahasiswa itu akhirnya ‘mengakses negara’ –dengan menjadi politikus atau semacamnya— sebagai ikhtiar untuk mengartikulasikan diskursus yang mereka bawa. Celakanya, aktivitas semacam itu justru memerangkap aktivis mahasiswa karena ‘negara’ beroperasi tidak lagi dengan mengeksklusi mahasiswa, melainkan mengakomodasi tuntutannya atas nama ‘the new spirit of capitalism.’
The New Spirit of Capitalism
Slavoj Zizek (2009) telah memperingatkan kita tentang satu gejala yang muncul dalam transformasi-transformasi kapitalisme: gejala untuk ‘menikmati’ kapitalisme. Fenomena ini mengiringi apa yang disebut sebagai sebagai ‘the new spirit of capitalism,’ yang menurut Zizek, berkembang melalui organisasi-organisasi berbasis jaringan yang bersifat otonom. Dengan logika ini, ‘kapitalisme’ hadir dengan mengeksploitasi hasrat manusia untuk menikmati proses yang ia tawarkan.
Kapitalisme tidak lagi mengeksploitasi ‘status simbolik’ atau ‘utilitas’ yang dimiliki oleh sebuah produk, melainkan ‘pengalaman’ yang disediakan oleh produk tersebut. Dengan kata lain, kapitalisme menikmati ‘hasrat’ manusia yang muncul dari rasa nyaman ketika ia menikmati produk tersebut. Propaganda kapitalisme sekarang berkutat pada beberapa diksi seperti ‘nikmati!’ ‘nyamankan dirimu,’ dan ‘be a man,’ dan lain sebagainya, yang tidak lagi memberikan pilihan-pilihan utilitas kepada orang-orang untuk memilih, melainkan untuk menikmati parade yang ditampilkan oleh jejaring-jejaring kapitalisme.
Dalam konteks gerakan mahasiswa, kecenderungan sama juga dapat kita lihat. Alih-alih melakukan kritik, gerakan mahasiswa justru dihadapkan pada ‘kenikmatan’ ketika bersetubuh dengan kekuasaan politik. Kapitalisme telah menawarkan berbagai modes of jouissance, seperti ‘bantuan sosial,’ ‘proposal proyek,’ dan produk-produk yang ditawarkan oleh kapitalisme via ‘negara.’ Akhirnya, muncul kosakata baru, ‘jaringan’ yang bisa dinikmati sebagai privilege seseorang ketika menjadi aktivis. Kapitalisme membuat dimensi ‘aktivis’ menjadi kian absurd: ia tidak lagi menghambat seseorang untuk menjadi aktivis, tetapi justru menawarkan kenyamanan-kenyamanan tertentu yang membuat mahasiswa akhirnya ‘menikmati’ statusnya sebagai aktivis tersebut.
Proses-proses kenikmatan inilah yang kemudian menjelaskan mengapa mahasiswa begitu menikmati hubungan mereka dengan ‘negara.’ Sebab, dengan sumber daya besar yang tersedian dan memungkinkan untuk dimiliki, ‘negara’ menyajikan kenyamanan-kenyamanan tersendiri yang menggoda untuk dinikmati. Tetapi, para aktivis itu lupa –atau mungkin tidak tahu— bahwa ‘negara’ sebetulnya hanyalah apparatus dari kapitalisme global yang meng-incorporate seluruh konstituennya dalam jejaring mereka.
Konsekuensi dari lahirnya modus baru kapitalisme tersebut adalah munculnya narasi-narasi yang menyingkirkan modus-modus pengorganisasian yang tidak seirama dengan ‘the new spirit of capitalism’ tersebut. Zizek mencontohkan, misalnya, dengan jargon seperti ‘Goodbye Mr. Socialism’ yang lahir setelah Mei ’68. ‘The New Spirit of Capitalism’ tersebut ditopang oleh semacam penciptaan narasi dan propaganda yang menyingkirkan kekuatan-kekuatan yang resisten dengan mereka, dengan label-label seperti ‘kolot,’ tradisional, tidak keren, dan berbagai macam hal lain yang sejenis. Rezim Gaya Hidup telah membuat aktivisme tidak populer. Bahkan, berkembang pola-pola pengorganisasian baru di kalangan mahasiswa yang kemudian mengambil bentuk yang mirip dengan pengorganisasian gerakan mahasiswa, tetapi dengan basis menikmati ‘kenyamanan’ yang diberikan kapitalisme. Ada gerakan-gerakan pop yang mengambil tema Future Leadersthe Next Generation, dan sejenisnya, tetapi atas dasar jouissance. Tema-tema populer semacam itu memberikan mahasiswa ‘hasrat’ untuk dihasrati orang lain; ia tidak memberikan semacam hasrat untuk ‘menjadi sesuatu,’ tetapi hanya untuk menikmati ‘perasaan-untuk-menjadi’ seperti itu. Dasarnya adalah jouissance, kenikmatan.
Untuk memahami gejala-gejala semacam itu, mungkin relevan jika kita menggunakan konsep diskursus-universitas yang diajukan oleh Lacan. Hegemoni kapitalisme yang beroperasi pada ruang-ruang ketidaksadaran mahasiswa, pada dasarnya, adalah bentuk dari diskursus universitas yang bersifat tiran. Kapitalisme beroperasi dalam logika ‘sistem,’ yang mengharuskan penerimanya untuk menjalinkan diri pada sistem tersebut (Bracher, 1997). Transformasi kapitalisme menyebabkan proses penjalinan diri penerima sistem, yaitu ‘mahasiswa,’ beroperasi dengan begitu halus, mengandalkan kenikmatan-kenikmatan yang dialami mahasiswa melalui pengalamannya.
Untuk menggambarkan hal ini, Zizek (2009) mengubah slogan Kantian: ‘You Can, Because You Must,’ menjadi ‘You Must, Because You Can.’ Aktivitas mahasiswa tidak didasarkan karena ‘keharusan,’ melainkan justru ia harus melakukan sesuatu karena ia bisa melakukannya. Zizek menyebutnya sebagai ‘non-repressive hedonism.’ Apa artinya? Saat ini, kapitalisme tidak lagi mengeksklusi format-format perlawanan mahasiswa dengan represi, melainkan justru sebaliknya: ia mengakomodasi bentuk ‘perlawanan’ itu, tetapi mengisinya dengan kenikmatan-kenikmatan yang menggelorakan hasrat anaklitik mahasiswa.
Dengan kapitalisme yang kian hegemonik dan mencengkeram dimensi kesadaran kita, gerakan mahasiswa berada pada titik yang sangat dilematis. Lantas, apa yang harus dilakukan? Kembali ke Marx, tugas aktivis gerakan mahasiswa bukanlah sekadar menafsirkan realitas, tetapi juga mengubahnya. Kenyataan bahwa kapitalisme telah berubah dengan begitu pesat seharusnya membuat gerakan mahasiswa mempromosikan diskursus baru yang mempunyai struktur berlawanan dengan diskursus ‘the new spirit of capitalism.’ Pada titik inilah gagasan Dicky Dwi Ananta tentang ‘Emansipasi’ menjadi relevan.
‘Sang Emansipator’
Ada beberapa pertanyaan yang dimunculkan oleh Zamzam dalam tulisannya: ‘Masih pantaskah aktivis mahasiswa menyandang status sebagai intelektual organik? Masih berlakukah status agent of social control bagi gerakan mahasiswa? Masih relevankah agent of change melekat pada diskursus gerakan mahasiswa? Masih bisa disebut creative minority-kah gerakan mahasiswa?’
Beberapa pertanyaan tersebut, jika boleh saya rangkum, akan bermuara pada satu pertanyaan: bagaimana kita memaknai subjek tentang mahasiswa saat ini? Memahami subjek tentang mahasiswa, setidaknya memerlukan beberapa hal. Pertama, subjek dikonstruksi oleh proses diskursif yang bersifat terus-menerus melalui artikulasi. Kedua, subjek bukanlah sesuatu yang given karena status sosial tertentu, melainkan dikonstruksi dalam pertarungan dan kontestasi makna di ranah sosial. Ketiga, subjek hanya bisa eksis dari identifikasi atas sesuatu ‘yang-lain’ (the Others), yaitu dimana subjek diidentifikasi dari penolakannya atas sebuah diskursus tertentu.
Dengan demikian, subjek ‘mahasiswa’ bukanlah sesuatu yang didoktrinkan seperti Agent of Social Change, Iron Stock, dsb. Namun, ia dibentuk oleh artikulasi yang ia lakukan di ranah sosial. Namun, menurut Zizek, penting untuk mengikat semua artikulasi tersebut dalam sebuah penanda tertentu, yang dijadikan sebagai rujukan atas semua artikulasinya. Sebagai contoh, diskursus tentang agen perubahan sosial hanya akan bermakna jika ia merujuk semua artikulasinya pada diskursus tentang perubahan sosial. Di sini, ‘perubahan sosial’ mengikat semua artikulasi aktivis mahasiswa dan menjadi referensi dari semua artikulasinya.
Analisis Dicky tentang ‘mau ke mana gerakan mahasiswa’ dapat menjadi semacam batu loncatan bagi kita untuk menentukan ‘siapa sebenarnya mahasiswa.’ Dicky berargumen, bahwa gerakan mahasiswa seharusnya berangkat pada satu garis finis: ‘emansipasi.’ Menurut Dicky, Perjuangan ini secara singkat bertujuan untuk humanisasi kehidupan manusia, yaitu pembebasan manusia dari belenggu yang diciptakan permasalahan pada konteksnya yang ‘real.’ Di sini, Emansipasi menjadi ‘penanda utama’ (master signifier), yang mengikat dan memberi makna pada seluruh artikulasi aktivis mahasiswa. ‘Emansipasi’ sebagai master signifier akan memberi makna bagi laku dan gerak aktivis mahasiswa. ‘Makna’ tersebut hanya akan didapat jika mahasiswa mengartikulasikan diskursusnya dalam ranah sosial. Diskursus tersebut hanya akan bermakna jika ia diartikulasikan dalam berbagai pertarungan dan kontestasi makna. Untuk mengontestasikan makna tersebut, mahasiswa harus bergerak; ia membawa diskursus tentang ‘sang emansipator’ tersebut dan memenangkannya dalam pertarungan-pertarungan diskursif di ranah sosial. Dengan demikian, gerakan mahasiswa harus bergerak. Ia harus mengartikulasikannya emansipasinya dengan memperjuangkan hak-hak rakyat dan memenangkannya dalam pertarungan-pertarungan politik yang terjadi.
Karena itu, diskursus tentang sang emansipator itu baru bermakna jika ia memiliki ‘lawan.’ Mau tidak mau, suka tidak suka, mahasiswa harus tahu siapa lawannya. Diskursus sang emansipator menjadikan ‘sang penindas’ sebagai ‘lawan’; ‘sang penindas’ yang dijadikan Lawan itu bekerja dalam sistem penandaan yang diterima oleh mahasiswa saat ini. Penting bagi mahasiswa untuk mengenal ‘hasrat’-nya dan dengan demikian juga mengenali the Others-nya. Mengenali the Others memberikan mahasiswa kesempatan untuk memformulasi sistem penandaan baru
Kegalauan mahasiswa yang digambarkan oleh Zamzam Muhammad Fuad, jika ditelaah, sebetulnya adalah salah satu refleksi dari kegagalan aktivis gerakan mahasiswa mengenali the Other-nya itu. Gerakan Mahasiswa kebingungan mencari-cari cermin untuk merefleksi diri. Akibatnya, ketika gerakan mahasiswa bingung dengan identitasnya, kapitalisme yang tumbuh dalam wajahnya yang baru memberikan cermin kepada mahasiswa untuk mengidentifikasi diri dan menanamkan diskursus Sang-Penguasa baru.
Oleh sebab itu, untuk bisa mengenali the Others, gerakan mahasiswa saat ini harus membekali dirinya dengan pengetahuan tentang the Others itu, dan dengan pengetahuan itu mengenali dirinya sendiri. Pengetahuan itu bersifat interpelatif, dalam artian ia memiliki kemampuan untuk menciptakan ‘kerinduan mendasar’ mahasiswa untuk mengikatkan diri dengan ‘penanda-utama’-nya. Artinya, pengetahuan mahasiswa bukan untuk-dirinya-sendiri, melainkan untuk menjadikan dirinya sebagai emansipator yang bergerak membebaskan masyarakat dari ketertindasan. Pengetahuan inilah yang akan diikuti oleh gerakan-gerakan mahasiswa yang bersifat lebih praksis. Sebaliknya, dalam konteks subjektivikasi mahasiswa sebagai ‘sang emansipator’ sangat penting bagi gerakan mahasiswa saat ini untuk mengenali hasratnya dan mengikatnya dalam penanda-utama ‘emansipasi.’ Dengan demikian, ia akan dapat lebih jelas memetakan relasi-relasi struktural yang berada di sekitarnya, sekaligus memosisikan di mana dirinya akan berada. Pada titik ini pengetahuan menjadi penting. Gerakan Mahasiswa harus membekali dirinya dengan pengetahuan teoretis yang akan memandunya untuk bergerak. Tantangan gerakan mahasiswa saat ini, pada dasarnya, bukanlah pada seberapa heroik aksi yang ditampilkannya, melainkan seberapa cermat ia bergerak untuk menantang sistem sosial kapitalisme yang kian hegemonik.
Pada titik inilah kita merasakan pentingnya pesan seorang Dipa Nusantara Aidit dulu, bahwa ‘Mereka yang punya pengetahuan buku harus pergi ke kenyataan yang hidup, supaya bisa maju dan tidak mati dalam mengeloni buku… Mereka yang berpengalaman bekerja supaya pergi studi dan supaya membaca dengan sungguh-sungguh… dengan demikian dapat meningkatkan diri di lapangan teori.’ Bagi aktivis gerakan mahasiswa, teori dan praktik adalah satu kesatuan yang tak bisa terpisahkan.
Penutup
Dengan menegaskan subjek-nya sebagai ‘mahasiswa,’ gerakan mahasiswa akan dapat berhindar diri dari apa yang disebut oleh Zamzam Muhammad Fuad sebagai ‘involusi gerakan mahasiswa.’ Jika meminjam bahasa Dicky Dwi Ananta bahwa ‘gerakan mahasiswa’ berangkat dari realitas dan berhenti pada emansipasi manusia.
Mungkin, jika boleh menyederhanakan, gerakan mahasiswa sekarang perlu kembali pada aktivitasnya yang paling mendasar: pengkaderan, pengorganisiran aksi, dan bacaan. Inilah yang memberi garis demarkasi: mana yang mahasiswa, dan mana yang pseudo-mahasiswa. Mungkin, melalui basis ini, gerakan mahasiswa akan lebih bermakna bagi rakyat ketimbang harus bersenyawa dengan partai politik yang hanya mempermainkan rakyat untuk kepentingan suara dan modal.
Kepustakaan:
Aidit, DN. (1955). Jalan ke Demokrasi Rakyat bagi Indonesia. Jakarta: Pembaruan.
Ananta, Dicky Dwi. (2013). Gerakan Mahasiswa: Berangkat dari Mana dan Menuju Ke Mana?. Indoprogress.
Bracher, Mark. (1997). Jacques Lacan, Diskursus, dan Perubahan Sosial: Pengantar Kritik Budaya Psikoanalisis. Terj. Gunawan Admiranto. Yogyakarta: Jalasutra.
Feith, Herbert. (1981).Rezim-rezim Developmentalis Represif di Asia: Kekuatan Lama, Kerawanan Baru. Prisma,11 (November), 69-84.
Fuad, Zamzam Muhammad. (2013). Involusi Gerakan Mahasiswa: Gotong Royong Mengakses Negara. Indoprogress.
Gill, Stephen. (2000). ‘The Constitution of Global Capitalism.’ The Capitalist World, Past and Present.The International Studies Association Annual Convention, Los Angeles.
Hadiz, Vedi R. dan Richard Robison. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.
Hadiz, Vedi R. (2005). Dinamika Kekuasaan: Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
Lacan, Jacques. (1995). The Mirror-Phase as Formative of The Function of The I” dalam Slavoj Zizek (ed). Mapping Ideology. London: Verso.
Marx, Karl. (1845). Theses on Feuerbach. Internet Marxist Archives. Diunduh dari http://www.marxists.org/
Mandel, Ernest. (1968). Gerakan Mahasiswa Revolusioner. Internet Marxist Archives. diunduh dari http://www.marxists.org/
Polimpung, Hizkia Yosie. (2008). Ilusi Dekolonisasi: Psikoanalisis Lacanian dan Rekonstruksi Kolonialisme Barat. Global & Strategis, Vol. 2 No. 1 : 98-125.
Robison, Richard. (1987). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.
Zizek, Slavoj. (1995). ‘Introduction’ dalam Slavoj Zizek (ed). Mapping Ideology. London: Verso.
Zizek, Slavoj. (2009). First as Tragedy, then as Farce. London: Verso.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar