|
IndoPROGRESS,
16 Mei 2013
RIBUAN buruh kembali turun ke jalan. Aksi massa buruh ini
tampaknya akan terus menjadi pemandangan rutin. Masih lekat dalam ingatan,
ketika Januari 2012, para buruh dari kawasan-kawasan industri Kabupaten Bekasi,
menyeruak memasuki jalan tol Cikampek di kawasan Cikarang. Mereka memblokir
jalan tol, dan sanggup melumpuhkan aktivitas ekonomi di Jabodetabek. Aksi ini
merupakan wujud luapan kemarahan para buruh ketika Penetapan Upah Minimum
Kabupaten Bekasi, digugat ke meja hijau oleh pihak pengusaha. Para kapitalis itu
enggan melaksanakan kenaikan upah yang telah ditentukan.
Cerita serupa kembali berulang awal 2013. Kali lokasi
sedikit bergeser ke wilayah Jakarta Raya. Saat disepakati kenaikan upah
minimum hingga 40 persen, kelompok pengusaha yang tergabung dalam Asosiasi
Pengusaha Indonesia (Apindo), menolak menaikan upah sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan Gubernur DKI Jakarta. Padahal keputusan
gubernur itu sudah melalui proses Dewan Pengupahan, dimana Apindo juga terlibat
di dalamnya. Akibatnya, ribuan buruh turun kembali turun ke jalan melawan
kebijakan upah murah.
Tetapi aksi buruh tak hanya berlangung di pusat-pusat
kekuasaan di ibukota negara. Rangkaian aksi itu terus menjalar ke pusat-pusat
pemerintahan daerah kota dan kabupaten yang memberlakukan kebijakan upah murah.
Ini berarti masalah perburuhan masih terus jauh dari selesai. Celakanya,
pemerintah sepertinya belum melihat persoalan buruh sebagai prioritas. Baru
setelah buruh marah-marah, lalu pemerintah membuka mata dan kupingnya.
Belakangan, memang Presiden menegur para menterinya segera menyelesaikan
persoalan buruh. Namun, teguran tanpa realisasi kebijakan yang berpihak pada
kepentingan buruh itu tak lebih dari pencitraan semata. Persis kebiasaan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selama ini.
Yang juga lucu dari respon pemerintah selama ini,
persoalan upah selalu dijawab dengan mengakomodir kepentingan pengusaha.
Misalnya, ketika buruh menuntut kenaikan upah, jawaban pemerintah justru
menunda kenaikan upah minimum. Awal april 2013, Menko Perekonomian, Hatta
Rajasa, mengeluarkan usul mengejutkan. Ketua Partai Amanat Nasional
(PAN), yang akan mencalonkan diri menjadi Presiden tahun depan ini,
menyarankan upah buruh ditentukan Perusahaan. Hatta menilai itu lebih adil bagi
pengusaha sesuai skala usahanya. Jika usulan gila Hatta Rajasa ini
dijadikan kebijakan negara, itu artinya negara lepas tanggung jawab atas
persoalan kesejahteraan buruh. Amanat konstitusi agar negara melindungi warga
negara, dicabut melalui usulan ini. Nasib buruh diserahkan kepada mekanisme
pasar yang impersonal, yang tujuan utamanya adalah meraih keuntungan
setinggi-tingginya tanpa batas.
Secara empirik, bahkan ketika negara secara konstitusi
berhak campur tangan dalam pasar, nyatanya nilai upah selalu mengalami
penurunan nilai riil tiap tahunnya. Nilai upah riil menggambarkan daya beli
dari upah yang diterima pekerja. Semakin tinggi upah riil, semakin tinggi daya
beli upah buruh dan sebaliknya. Badan Pusat Statistik (BPS), Maret 2013,
melaporkan penurunan nilai riil upah buruh industri sebesar 3,72 persen.
Ini terjadi karena meningkatnya harga-harga secara umum akibat kenaikan harga
bahan pangan. Inflasi harga pangan merupakan dampak ketergantungan pangan
nasional terhadap produk pangan impor.
Perdagangan
bebas
Dari
waktu ke waktu persoalan yang diteriakkan buruh tak banyak berubah, berkisar
antara upah murah, sistem kontrak dan outsourching, kebebasan
berserikat, dan soal hak-hak normatif lainnya. Namun pemerintah menanggapinya
bagai menjawab sebuah teka-teki besar yang tak terpecahkan sampai kapanpun.
Fakta ini hanya menunjukkan bahwa prioritas pemerintah bukan untuk
mensejahterakan buruh. Prioritas pemerintah adalah melayani kepentingan
pengusaha dan memfasilitasi perdagangan bebas.
Apa hubungan perdagangan bebas dengan kesejahteraan
buruh? Ada beragam teori yang menjelaskan hubungan itu, tapi dalam artikel
singkat ini saya coba menunjukkan dampak praktisnya. Agenda utama dari
perdagangan bebas antar negara adalah dihilangkannya hambatan-hambatan
dalam perdagangan barang-barang dan jasa-jasa, termasuk jasa buruh.
Kapitalis ingin agar mereka bisa membeli tenaga kerja buruh di pasar tenaga
kerja semurah mungkin. Mereka juga menghendaki agar pasar tenaga kerja buruh
lebih fleksibel sehingga mereka bisa berproduksi dengan biaya rendah, efisien,
dan efektif. Realisasi dari pasar kerja fleksibel itu, salah satunya
dengan mengurangi peran negara dalam melindungi dan mensejahterakan kehidupan
buruh. Jika negara tak ikut mengatur upah buruh – seperti yang disarankan Hatta
Radjasa, maka pengusaha bisa menggaji buruh semurah-murahnya atau memecat buruh
kapan saja dengan dalih apa saja.
Mari lihat contoh penyediaan buruh murah di Kawasan
Ekonomi Khusus (KEK). KEK dibentuk guna memfasilitasi perdagangan bebas
sebagaimana komitmennya dalam integrasi kawasan ekonomi ASEAN. Tujuannya untuk
menciptakan arus perdagangan yang efisien dan murah, termasuk tenaga
kerja. Upah buruh di KEK Batam saat ini sebesar Rp.2.040 ribu,
lebih rendah dari upah buruh non-KEK, seperti Jakarta, yang mencapai Rp.2.200
ribu. Seharusnya, upah buruh di KEK bisa lebih tinggi karena telah diberikan
banyak insentif yang menguntungkan investor, seperti penghapusan berbagai macam
pajak, penghapusan bea masuk, dan sewa lahan yang murah dibandingkan di kawasan
non-KEK.
Hambatan lain yang dihilangkan perdagangan bebas adalah
bea masuk produk impor. Bagi industri lokal ini bencana, sebab mereka
bisa kalah bersaing dengan produk impor yang harganya jauh lebih murah.
Akibatnya, banyak industri lokal yang bangkrut, seperti tekstil dan baja,
dan buruhnya kehilangan pekerjaan. Apalagi, sejak berlakunya Perjanjian
Perdagangan Bebas China-ASEAN, sejumlah 71 industri paku kawat Indonesia kalah
bersaing dengan produk paku kawat impor dari China pada 2009. Hasilnya bagi
buruh adalah PHK massal 1700 buruh di Indonesia.
Dengan pemaparan ini, maka persoalan buruh hari ini
terkait erat dengan agenda perdagangan bebas. Apalagi Indonesia telah
mengikatkan dirinya dengan perjanjian perdagangan bebas di Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) pada 1995, lantas menjadi bagian Integrasi Kawasan
Ekonomi ASEAN pada 2003. Belum lagi perjanjian-perjanjian perdagangan bebas
antara dua Negara (bilateral). Ini berarti, ke depan masalah perburuhan akan
semakin kompleks, dan aksi-aksi buruh akan terus meningkat.
Bagi gerakan buruh, menyelesaikan persoalan buruh
kemudian harus diletakan pada akar soal yang tepat. Buruh tak lagi hanya
berhadapan dengan majikan sebagai individu, ataupun keberpihakan minus
pemerintah. Buruh kini harus berhadapan dengan kapitalisme yang
lebih luas, sistem perdagangan bebas. Oleh karena itu, tuntutan gerakan
buruh hari ini tidak bisa lagi hanya sekedar menuntut pemenuhan hak-hak
normatif. Tuntutan gerakan buruh sudah harus ditambah dengan tuntutan untuk
menolak agenda perdagangan bebas dan segera mendesak pemerintah untuk
membatalkan seluruh komitmen perdagangan bebas yang mereka setujui. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar