|
IndoPROGRESS,
04 Mei 2013
DALAM beberapa waktu terakhir ini, media Indonesia
memberitakan kasus tentang kemarahan warga Bantaran Waduk Pluit, Jakarta Utara,
terhadap Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Thahaja Purnama alias Ahok, karena
menuduh warga tersebut sebagai komunis.
Di
zaman Orde Baru, tuduhan komunis jelas bukan perkara main-main, karena itu bisa
berarti kematian hak-hak sipil dan politik serta hak ekonomi, sosial dan budaya
bagi si tertuduh. Karena itu, setelah kejatuhan rezim orba, seluruh elemen
pro-demokrasi berusaha sekuat mungkin untuk tidak menggunakan kata komunis
sebagai alat untuk memojokkan lawan-lawan politiknya. Pertama, karena
faktor kesejarahannya yang berdarah dan brutal tersebut; dan kedua,
karena memang telah terjadi pemutarbalikkan dan penjungkirbalikkan yang luar
biasa terhadap sejarah gerakan dan pemikiran komunis itu sendiri.
Tentu saja tetap ada yang getol menggunakan kata komunis
untuk menyerang atau menyingkirkan lawan politiknya. Siapa mereka? Tidak lain
adalah tentara dan kalangan Islam Politik. Tapi, sejauh ini tuduhan-tuduhan
komunis itu sudah dianggap sebagai lelucon belaka, sebuah cara berpolitik yang
tak beradab. Mereka yang menuduh lawan politiknya sebagai komunis, pasti si
penuduh dianggap sebagai politisi yang goblok dan tukang konspirasi.
Karena
itu, saya heran mengapa Ahok berani sekali mengumbar kata-kata komunis dalam
pertemuan-pertemuan resminya. Apalagi, pemahaman Ahok akan komunisme itu
sepenuhnya salah. Ia mendefinisikan komunis bukan berdasarkan pada sebuah
telaah teoritik yang mendalam, melainkan hasil dari logika utak atik gathuk-nya. Logika ngawur Ahok itu begini:
A: Tanah milik negara (legal).
B: Warga menduduki tanah negara (legal) tersebut secara
illegal.
A+B: Karena warga yang digusur menuntut ganti rugi atas
tanah negara yang didudukinya secara illegal tersebut, maka warga (oknum,
dalam bahasa Ahok) tersebut adalah komunis.
Kalau
pinjam bahasa gaulnya Ahok, saya mau bilang, ‘komunis nenekmu yang
definisinya seperti itu.’
Darimana Ahok belajar atau membaca buku bahwa komunis itu
adalah seperti yang disebutkannya itu? Kalau melihat usianya, yang kira-kira
sekitar 40an tahun, maka bisa dipastikan pemahaman Ahok akan komunisme itu
hasil didikan rezim orba. Ia mungkin masih hapal betul buku-buku Pendidikan
Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) produk sejarawan ABRI atau sejarawan yang
bersekutu dengan rezim orba. Dan karena Ahok sudah tak punya waktu lagi membaca
secara serius (sesuai pengakuannya), maka pemahaman yang salah itu tetap
melekat di kepalanya. Omongan Ahok yang keliru ini menjadi masalah karena ia
adalah pejabat publik yang kini lagi digandrungi oleh banyak orang, sehingga
walaupun omongan itu salah secara akademik maupun politik, bisa dianggap benar
oleh publik.
Lalu apa makna komunis menurut Karl Marx dan Friedrich
Engels? Saya menggunakan definisi kedua orang ini, karena mereka adalah pendiri
sekaligus teoritikus utama gerakan komunisme. Engels mengatakan, komunisme
adalah sebuah doktrin mengenai kondisi-kondisi pembebasan proletarian (kelas
pekerja). Artinya, ini doktrin yang secara sengaja diperuntukkan buat kelas
pekerja, bukan buat seluruh kelas. Dengan kata lain, tidak mungkin kelas
kapitalis akan menggunakan doktrin komunis ini dalam upayanya melindungi dan
memenangkan kepentingannya sebagai sebuah kelas. Kenapa demikian?
Di sini, kita mesti lihat bagaimana Marx dan Engels
menganalisa corak produksi kapitalisme. Menurut keduanya, esensi kapitalisme
itu adalah adanya dua kelas yang sangat dominan dalam masyarakat, yakni kelas
yang memiliki (mengontrol dan menguasai) alat-alat produksi yang disebut
sebagai kelas kapitalis; serta kelas yang hanya bisa hidup jika ia menjual
tenaga kerja (alat produksi satu-satunya) kepada kelas kapitalis. Intinya,
masyarakat kapitalis itu adalah masyarakat yang dicirikan oleh sistem kerja
upahan. Tentu saja masyarakat kapitalis tidak hanya terdiri dari dua kelas ini.
Yang dikatakan Marx dan Engels bahwa dua kelas inilah yang paling dominan untuk
mengatakan bahwa inilah ciri dari corak produksi kapitalisme.
Dengan demikian, selama kedua kelas ini eksis maka
kapitalisme tetap eksis. Tetapi, walaupun keduanya berhubungan satu sama lain,
tetapi hubungannya yang paling mendasar bersifat konfliktual. Si kapitalis
ingin terus menindas buruh, sementara si buruh ingin bebas dari penindasan
tersebut. Nah, dalam konteks itulah maka komunisme memberikan panduan teoritik
kepada kelas buruh untuk membebaskan dirinya dari penindasan kelas kapitalis.
Tujuan dari perjuangan kelas buruh itu adalah terwujudnya masyarakat komunis,
yakni masyarakat tanpa kelas, dimana tidak ada lagi kelas buruh dan kelas
kapitalis. Karena ciri masyarakat berkelas adalah adanya kepemilikan pribadi
atas alat-alat produksi, maka dalam komunisme kepemilikan pribadi atas
alat-alat produksi harus dihapuskan. Mengapa harus dihapuskan? Karena
kepemilikan pribadi itulah sumber dari tegaknya masyarakat berkelas.
Ketika
dalam perjuangan itu kelas pekerja berhasil menang, maka mereka harus membangun
sebuah sistem kekuasaan yang bisa menjawab permasalahan sosial, politik,
ekonomi, dan budaya pada zamannya masing-masing. Marx dan Engels tidak
berpretensi membangun sebuah sistem pemikiran yang telah lengkap dan sempurna
dari A – Z, yang tidak boleh diubah oleh para pengikutnya. Yang dikemukakan
keduanya bahwa dalam masyarakat pasca-kapitalis ini, hal pertama yang harus
dilakukan oleh negara adalah menyediakan hak-hak paling mendasar bagi seluruh
warga negaranya, seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan gratis; dan tidak
boleh ada lagi orang atau kelompok orang menjadi kaya karena menindas orang
atau kelompok lainnya. Namun, karena masyarakat baru ini lahir dari reruntuhan
masyarakat kapitalis, maka pada tahap ini insentif berbasis pasar tetap
berlangsung, dimana ‘setiap orang dihargai sesuai dengan hasil kerjanya/to each according their work.’
Sebagai
contoh jika ada dua perempuan buruh, yang satu memiliki lima orang anak dan
yang lain hanya dua orang anak, jika keduanya sama-sama bekerja delapan jam
sehari, maka pada setiap akhir bulan keduanya akan mendapatkan gaji yang sama.
Jika perempuan buruh dua anak itu bekerja 9 jam, maka ia digaji satu jam lebih
banyak dari perempuan buruh dengan 5 anak tadi. Tetapi, ketika kerja bukan
hanya sekadar alat untuk hidup, tapi telah menjadi medium realisasi potensi
kemanusiaannya secara bebas, sehingga konsekuensinya level produksi menjadi
meningkat, maka adalah mungkin masyarakat diorganisir melampaui mekanisme
penghargaan pasar, dimana penghargaan/reward tidak
lagi berbasis pada kerjanya (berapa lama dan apa jenis kerjanya), tetapi sesuai
dengan kebutuhannya (from each according their needs).
Kembali menggunakan contoh kedua perempuan buruh
tersebut, maka pada tahap lanjut masyarakat komunis perempuan yang memiliki
lima anak harus memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari perempuan buruh
yang hanya memiliki dua orang anak, walaupun jam kerja keduanya sama. Bukankah
ini diskriminasi? Benar, ini diskriminasi dalam pengertian yang positif, bahwa
penghargaan harus diberikan kepada mereka yang kebutuhannya lebih besar.
Bagaimana jika seorang perempuan dokter dengan satu anak, apakah
penghargaannya harus lebih kecil dari perempuan sopir bis dengan lima
orang anak? Jawabannya adalah ya.
Dari
prinsip inilah kemudian muncul kesalahpahaman yang luar biasa, bahwa komunisme
itu bersifat totaliter karena tidak menghargai pencapaian individual;
berprinsip sama rata sama rasa, karena semua orang, tanpa peduli kemampuan
personalnya diperlakukan sama, yang artinya juga adalah totaliter. Saya mau
menjawab kesalahpahaman ini: pertama tudingan
itu keliru karena setiap orang kebutuhan mendasarnya telah disediakan oleh
negara secara gratis pada masa-masa awal pengorganisiran masyarakat
pasca-kapitalis; kedua, tidak ada lagi orang
menjadi kaya karena menindas orang lain, yang berarti orang bekerja sesuai
dengan keputusan personal yang bebas, karena kebutuhan dasarnya sudah
sepenuhnya tersedia. Ia mau jadi dokter bukan karena adanya iming-iming uang
segudang yang bakal diperolehnya, tapi karena ia memang senang menjadi dokter.
Ini berbeda dengan masyarakat kapitalis, dimana keputusan untuk bekerja itu
bersifat terpaksa karena suplai tenaga kerja jauh melampui kebutuhan pasar
tenaga kerja, atau karena mimpi akan uang sekoper, sehingga orang bersedia
kerja apa saja yang penting bisa punya uang untuk makan, bayar kuliah, bayar
kontrakan, dsb.
Ketiga, masyarakat
komunis ini bukan sesuatu yang bisa dipaksakan keberadaannya sejak awal
masyarakat pasca-kapitalis terbentuk. Tidak ada satu kalimat pun dari
Marx-Engels bicara soal ini. Bagi keduanya, masyarakat komunis itu adalah
sebuah proses historis, yang akan berkembang sesuai dengan kondisi-kondisi historis
pada masanya, seperti tingkat perkembangan teknologi, tingkat perkembangan
ekonomi, sosial dan budaya, perjuangan kelasnya, serta kebijakan pemerintah
yang berkuasa. Tidak ada sim salabim, abracadabra di
sini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar