Senin, 20 Mei 2013

Gelembung Properti dan Menggapai Impian


Gelembung Properti dan Menggapai Impian
A Tony Prasetiantono ;  Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 20 Mei 2013

Tidak sederhana menentukan apakah sektor properti di Indonesia sudah ”gelembung” (property bubble) atau belum. Dalam berbagai seminar, saya sering menerima keluhan, baik dari konsumen maupun pengembang, soal fenomena ”gelembung properti”. Dari sisi konsumen, mereka mengeluhkan rumah atau apartemen mereka di Jakarta dan sekitarnya mulai sulit dijual kembali. Apakah ini gejala terjadinya gelembung properti? Belum tentu.

Saya pernah dikeluhi oleh pengembang Surabaya mengenai harga tanah yang kian gila-gilaan. Ia menyimpulkan sudah terjadi gelembung properti di Surabaya. Benarkah begitu? Belum tentu, karena harga tanah yang tinggi itu ternyata tetap ada pembelinya. Tinggi-rendahnya harga sifatnya relatif, tergantung segmentasi pasarnya. Meski harga tanah tinggi, pengembang masih bisa menemukan segmentasi konsumen yang cocok, yakni konsumen kelas atas yang mampu dan menilai harga itu layak dibelinya.

Karena itulah saya agak tercenung membaca laporan Bank Dunia bahwa Indonesia, khususnya Jakarta, mulai dirasuki gejala gelembung properti. Indikasinya, penjualan apartemen naik 45 persen tahun 2012. Harga jual apartemen juga naik 43 persen, sementara harga sewa perumahan di daerah industri naik 22 persen. Kredit apartemen oleh perbankan naik dramatis 84 persen.

Data itu memang memberi impresi bahwa kenaikan harga properti di Indonesia, terutama Jakarta, telah melejit. Namun, ada kemungkinan data itu bias sehingga kesimpulannya pun cenderung misleading.
Sebagai ilustrasi dan komparasi, negara yang paling banyak disebut mengalami gelembung properti saat ini adalah China. Pertumbuhan harga di sana sekitar 22 persen. Nyatanya di Jakarta jauh lebih pesat. Artinya, ruang untuk kenaikan harga masih lebar, yang berarti belum mencapai titik terjenuh. Justru di China, dengan pertumbuhan yang mulai mengecil, sudah mendekati titik jenuh. Fenomena gelembung bisa kita gambarkan sebagai telah dilampauinya titik jenuh (setelah sebelumnya mengalami leveraging) sehingga ke depannya rawan terjadi koreksi harga. Harga kemudian berpotensi terkoreksi tajam (deleveraging).

Menyebut pertumbuhan kredit 84 persen juga harus disertai penjelasan. Secara sepintas, angka tersebut tampak fantastis. Namun, sebenarnya, kredit perumahan kita hanya 3 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) yang saat ini Rp 8.200 triliun. Ini termasuk kecil. Lebih lanjut, kredit perumahan di Indonesia tidak atau belum mengalami sekuritisasi atau dijadikan produk derivatif di pasar modal sehingga tidak rawan spekulasi. Kredit perumahan benar merupakan produk murni perbankan konvensional, bukan perbankan investasi.

Meski demikian, kekhawatiran terhadap tren mahalnya harga properti di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia merupakan hal yang logis. Properti atau rumah bagi sebagian terbesar konsumen di Indonesia masih diperlukan sebagai tempat tinggal. Namun, dalam perkembangannya, menggunakan properti sebagai pilihan investasi menjadi sebuah keniscayaan. Ada beberapa hal penyebabnya.

Pertama, kebutuhan rumah atau apartemen di Indonesia terus meningkat, sejalan dengan pertambahan penduduk dan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi (tahun lalu 6,2 persen). Kombinasi dua faktor ini menjadi landasan bagi pengembang bahwa pasar properti masih jauh dari gelembung. Kalaupun ada suplai yang terlalu banyak, sifatnya lebih pada lokasi dan jenis propertinya. Misalnya, Jakarta dan Surabaya saat ini bisa jadi sudah kelebihan pasokan mal, tetapi apartemen belum jenuh, apalagi untuk segmentasi kelas menengah ke bawah.

Kedua, setelah terjadi krisis subprime mortgage (kredit perumahan di Amerika Serikat) tahun 2008-2009, timbullah kesadaran bahwa berinvestasi surat berharga ternyata mengandung risiko besar. Karena itu, banyak orang yang beralih portofolio ke logam mulia (emas) dan properti, yang dianggap harganya tidak akan turun. Namun, masalahnya, baik emas maupun properti tidak mungkin harganya terus naik tanpa batas. Suatu saat harga akan menyentuh level tertinggi, lalu berangsur turun. Itulah sebabnya, akhir-akhir ini kita menyaksikan tren penurunan harga emas meski sesekali masih bisa naik.

Ketiga, tren kebijakan suku bunga rendah dan likuiditas longgar (quantitative easing) terjadi di seluruh dunia. Mula-mula tren suku bunga rendah mendekati nol persen dimulai di Jepang, lalu disusul AS pasca-2009, dan kini zona euro. Sedangkan Indonesia menurunkan suku bunga acuan ke titik terendah dalam sejarah, yakni 5,75 persen. Rendahnya suku bunga telah memicu terjadinya migrasi likuiditas dari pasar uang ke pasar modal dan pasar komoditas, termasuk logam mulia. Itulah sebabnya, pekan lalu Indeks Harga Saham Gabungan pada Bursa Efek Indonesia menembus rekor tertinggi di atas 5.100.

Meski gelembung properti saya yakini belum terjadi, antisipasi menuju ke sana tentu harus dilakukan. Di sinilah Bank Indonesia (BI) mengalami dilema. Di satu pihak, BI berusaha meredam gelembung properti dengan cara menaikkan uang muka kredit perumahan menjadi 30 persen. Dengan kata lain, kebijakan loan to value (LTV) dinaikkan menjadi 70 persen. Hal ini dimaksudkan agar kualitas kredit properti dapat diproteksi sehingga mencegah kenaikan kredit macet. Saat ini non-performing loan (NPL) kredit properti sekitar 2,2 persen, atau masuk kategori baik.

Adapun untuk kepemilikan rumah atau apartemen kedua, yang ditengarai merupakan tabungan atau portofolio bagi pemiliknya, BI sedang mempertimbangkan kenaikan LTV. Namun, jika LTV dinaikkan, BI seolah-olah tidak memberikan dukungan pertumbuhan bisnis properti, yang memang sedang terus berkembang. Kepemilikan properti penduduk Indonesia juga masih jauh dari jenuh, lalu apa salahnya bank dan pengembang sama-sama agresif dalam hal ini?

BI perlu mengerem dan mulai bersikap konservatif terhadap sektor properti lebih ditujukan ke segmentasi konsumen kelas atas di Jakarta dan beberapa kota besar dan provinsi tertentu (Surabaya, Medan, Bali), yang memang menunjukkan karakteristik ”nonkonvensional” dibandingkan dengan kota lain yang konsumennya lebih konvensional.

Caranya, BI menetapkan LTV yang lebih tinggi untuk konsumen kelas atas di Jakarta dan beberapa kota besar tertentu. Selebihnya, BI masih perlu mendorong ketersediaan kredit dengan suku bunga terjangkau dan LTV yang rendah bagi mereka yang hendak memiliki rumah pertamanya. Bagi banyak rumah tangga kita, mencicil kredit rumah merupakan impian indah yang belum tentu mudah tergapai. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar