|
KOMPAS,
20 Mei 2013
Berbagai
kasus kekerasan, bahkan pembunuhan, terhadap kelompok minoritas keagamaan
mencederai kehidupan bangsa beberapa tahun terakhir. Namun, pertengahan Mei ini
muncul kabar mengejutkan, The Appeal of
Conscience Foundation di New York, Amerika Serikat, berencana memberikan
penghargaan World Statesman kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Bagaimana
menyikapinya? ”Masyarakat Sampang itu
dari kampung sama, bahasa sama, shalat sama, lalu kenapa ada saudara sendiri
yang dibunuh, rumah dibakar. Apa salahnya?”
Gugatan
itu dilontarkan Ketua Umum Ahlul Bait Indonesia (ABI) Hassan Alaydrus. Di
depannya, ratusan ulama dan tokoh Syiah dari sejumlah wilayah di Indonesia
mengepalkan tangan. Berulang-ulang mereka berteriak, ”Pulangkan pengungsi Sampang! Tolak relokasi!”
Terik
menyengat, Selasa (14/5) siang lalu, tak meluruhkan para pengunjuk rasa di
depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta. Mereka menggugat kenapa kekerasan pada
sembilan bulan lalu itu belum juga diselesaikan.
Pada
26 Agustus 2012, dalam suasana Idul Fitri, massa menyerang kelompok Syiah di
Desa Karanggayam, Kecamatan Omben, dan Desa Bluuran, Kecamatan Parangpenang,
Sampang, Madura. Satu orang tewas, 10 luka parah, dan 46 rumah ludes dibakar.
Sekitar 600 jiwa mengungsi di GOR Sampang.
Hingga
kini, kasus itu masih menggantung. Para penyerang hanya diproses hukuman
ringan. Sementara pada serangan pertama terhadap Syiah, Desember 2011, pemimpin
Syiah, Ustaz Tajul Muluk, justru dihukum 4 tahun penjara dengan delik penodaan
agama. Kini, para pengungsi di GOR malah bakal direlokasi.
”Relokasi itu menyalahi konstitusi.
Pemerintah harus mengembalikan pengungsi ke kampung halaman, tempat mereka
lahir, besar, punya tanah dan rumah,” kata Sekretaris Jenderal ABI Ahmad
Hidayat.
Kasus
Sampang hanya salah satu dari banyak intoleransi yang merusak kerukunan umat
beragama di Tanah Air. Masih kita ingat, 6 Februari 2011, ribuan orang
menyerang jemaah Ahmadiyah di Kampung Pendeuy, Desa Umbulan, Kecamatan
Cikeusik, Pandeglang, Banten. Tiga anggota jemaah tewas mengenaskan, bahkan di
depan sejumlah polisi.
Pada
saat bersamaan, kasus perusakan rumah ibadah tidak berhenti. Sejumlah masjid
Ahmadiyah di Jawa Barat jadi sasaran serangan. Pada 21 Maret 2013, Satuan
Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bekasi malah membongkar
dinding luar Gereja Huria Kristen Batak Protestan Setu di Tamansari,
Bekasi. Kasus Gereja Kristen Indonesia Taman Yasmin di Kota Bogor masih belum
tuntas.
Reputasi
buruk
Berbagai
kasus intoleransi itu terekam jelas dalam laporan organisasi pemantau toleransi
di dalam dan luar negeri. Setara Institute mencatat ada 264 peristiwa
pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan selama tahun 2012. Itu mencakup
serangan, pembunuhan, pembakaran rumah, perusakan rumah ibadah, intimidasi,
penangkapan, vonis hukuman tak adil, atau pernyataan kebencian terhadap
kelompok minoritas.
The
Wahid Institute melaporkan, selama 2012 ada 274 kasus pelanggaran kebebasan
beragama di hampir seluruh provinsi. Jumlah itu meningkat dibandingkan tahun
2011 dengan 267 peristiwa, 2010 (184 peristiwa), dan 2009 (121 peristiwa).
Lebih menohok, sebagian intoleransi itu justru dilakukan aparat negara. Sebut
saja pembiaran kekerasan, pelarangan pendirian rumah ibadah, pelarangan
aktivitas keagamaan, kriminalisasi keyakinan, pemaksaan keyakinan, dan
intimidasi. Pelakunya polisi, TNI, Satpol PP, bupati/wali kota, atau camat.
Human
Rights Watch meluncurkan laporan serupa awal tahun 2013. Dipertanyakan kenapa
Presiden SBY tidak menggunakan otoritasnya untuk menindak tegas para pelaku
intoleransi. Sikap lemah malah membuat kelompok-kelompok militan merasa
dibenarkan untuk menyerang kelompok berbeda keyakinan.
Semua
itu memperburuk reputasi Pemerintah Indonesia. Negara dinilai gagal mengelola
keragaman suku, agama, dan budaya menjadi modal untuk membangun kehidupan yang
damai, toleran, dan saling menghargai. Kebebasan beragama dan berkeyakinan yang
dijamin Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan jargon Bhinneka Tunggal Ika
justru diabaikan.
Di
tengah situasi itu tiba-tiba tersiar kabar, The
Appeal of Conscience Foundation (TACF), sebuah organisasi di New York, AS,
berencana memberikan penghargaan World
Statesman kepada Presiden SBY. Situs www.appealofconscience.org mencatat,
anugerah serupa diberikan kepada para pemimpin dunia yang berhasil
mengembangkan toleransi, perdamaian, dan resolusi konflik.
Rencana
itu menuai protes keras dari tokoh-tokoh toleransi, pegiat pluralisme, dan
organisasi pemantau kebebasan beragama. Bagaimana bisa Presiden SBY dianugerahi
penghargaan toleransi di tengah penilaian gagalnya mengembangkan toleransi?
Belum
ada respons resmi dari TACF. Reaksi keras terus berdatangan. Pekan lalu,
rohaniwan dan Guru Besar Filsafat Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta,
Franz Magnis-Suseno SJ, mengirim protes tertulis lewat surat elektronik ke
TACF. ”Penghargaan itu menghina
kelompok-kelompok minoritas yang selama ini menjadi korban kekerasan,”
katanya.
Surat
protes Magnis semakin menyulut protes lanjutan. Lewat situs
www.change.org/natoSBY, mereka menggalang petisi daring menolak
penghargaan World Statesman untuk Presiden Yudhoyono. Hingga Minggu (19/5)
sore, jumlah penanda tangan mencapai 3.708 orang. ”Angka penanda tangan akan terus bertambah,” ucap Direktur
Komunikasi Gerakan Change.org Arief Aziz.
Sejauh
ini, Istana Kepresidenan memberikan sinyal bahwa Presiden Yudhoyono memang
pantas memperoleh penghargaan World
Statesman. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar