Senin, 20 Mei 2013

Menghidupkan Api Kebangkitan


Menghidupkan Api Kebangkitan
Yudi Latif ;  Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan
KOMPAS, 20 Mei 2013

Kebangkitan Nasional tidaklah datang sebagai tiban, tetapi sebagai hasil usaha sadar untuk belajar dan berjuang.

Meminjam ungkapan Bung Karno, ”Hidup sesuatu bangsa tergantung dari vrijheids-bewustzijn, kesadaran kemerdekaan-kebangkitan bangsa itu; tidak dari teknik; tidak dari industri; tidak dari pabrik atau kapal terbang atau jalan aspal.”

Dalam mengusahakan kebangkitan kembali bangsa Indonesia di tengah era kebangkitan Asia, kita bisa menjadikan pengalaman kebangkitan masa lalu kaca benggala untuk memandang masa depan. Kebangkitan bangsa Indonesia di zaman kolonial Belanda bermula dari kesadaran keterbelakangan dan ketertindasan yang membangkitkan semangat kemajuan dan kemerdekaan.

Fajar kesadaran pertama-tama berpendar di lingkungan kaum guru. Profesi guru pada pergiliran abad ke-19-20 menghimpun porsi terbesar dari orang-orang pribumi berpendidikan terbaik. Sebagai pendidik, mereka merasa paling terpanggil mengemban misi suci mencerahkan saudara-saudara sebangsa. Selain itu, fakta bahwa profesi guru kurang dihargai dibandingkan posisi-posisi administratif (pangreh praja) membangkitkan hasrat untuk menjadi artikulator gagasan ”kemadjoean”, sebagai tolok ukur baru dalam menentukan kehormatan sosial.

Kaum guru melancarkan tuntutan dan kritik lewat majalah pendidikan yang mulai muncul sekitar 1880-an, seperti Soeloeh Pengadjar di Probolinggo dan Taman Pengadjar di Semarang. Media itu memainkan peran penting dalam mengartikulasikan aspirasi guru bagi penghapusan diskriminasi dalam pendidikan. Menjelang akhir abad ke-19, perkumpulan guru paling berpengaruh terbentuk, bernama Mufakat Guru, cabang-cabangnya bermunculan di sejumlah kabupaten dan kewedanaan Jawa.

Politik etis

Tujuan Mufakat Guru membuka jalan bagi para guru untuk bersatu dan berdiskusi mengenai permasalahan dan isu ”kemadjoean”. Tuntutan utama dalam proyek emansipasi kaum guru itu diarahkan pada transformasi di bidang pendidikan, dengan peluasan akses pribumi terhadap persekolahan modern, kepustakaan dan pengajaran bahasa Belanda, yang dipandang sebagai paspor menggapai kemajuan.

Tuntutan emansipasi kaum guru itu memperoleh momentum dengan kemunculan Politik Etis awal abad ke-20. Dampak buruk rezim perekonomian liberal menciptakan iklim opini baru di negeri Belanda yang lebih mendukung aktivitas negara dalam persoalan kesejahteraan di tanah jajahan, yang mendorong kemenangan sayap kanan, Partai Kristen, pada Pemilu 1901. Partai ini memperkenalkan Politik Etis, dengan menempatkan pendidikan sebagai prioritas program kesejahteraan.

Di bawah semangat etis, sistem pendidikan direorganisasi dan disesuaikan untuk memenuhi tuntutan baru, yang melahirkan beragam lembaga pendidikan, dan memperluas akses pribumi ke pendidikan modern. Reorganisasi terpenting terjadi pada sekolah kejuruan. Pada 1900-1902, sekolah Dokter-Djawa diubah menjadi STOVIA (School tot Opleiding Van Inlandsche Artsen). Dengan lama pendidikan 9-10 tahun, STOVIA merupakan level pendidikan tertinggi yang ada di Hindia hingga dua dekade pertama abad ke-20.
Situasi ini memberikan modal kultural bagi pelajar dan mantan pelajar sekolah ini untuk mengambil alih kepemimpinan inteligensia baru yang sebelumnya dipegang para guru. Tokoh terkemuka dari kalangan mantan pelajar Dokter-Djawa/STOVIA pada awal abad ke-20 adalah Wahidin Sudiro Husodo, Abdul Rivai, Tirto Adhi Surjo, Tjipto Mangunkusumo, dan Suwardi Surjaningrat.

Meski telah mencapai level pendidikan tertinggi, prestise sosial dan imbalan ekonomis yang diterima lulusan STOVIA masih mengecewakan. Posisi Dokter-Djawa di pemerintahan dianggap sama dengan posisi mantri. Peran utama mereka sebagai vaksinator tak menumbuhkan rasa hormat seperti halnya lulusan OSVIA (sekolah pangreh praja) yang bekerja di pos-pos administrasi pribumi. Gaji lulusan STOVIA setelah belajar 9-10 tahun umumnya hanya sepertiga dari gaji para lulusan OSVIA yang lama studinya hanya lima tahun.

Perasaan terampas dan terhina ini diperparah oleh krisis ekonomi global 1903 yang memiliki efek destruktif bagi kondisi perburuhan di Hindia. Gerakan emansipasi dari diskriminasi sosial-ekonomi kaum inteligensia baru ini menemukan rangsangan kebangkitannya dari kemunculan gelombang Kebangkitan Asia (Aziatisch Reveil); disimbolkan oleh kemenangan Jepang atas Rusia 1905, Revolusi Turki Muda 1908, gerakan pembebasan dan nasionalis lain di Asia.

Para intelektual organik dari strata inteligensia ini percaya bahwa ide kemajuan haruslah ditanam di atas basis sosial yang berbeda; terbentuk dari mereka yang memiliki ”modal kultural” seperti kualifikasi pendidikan, keterampilan dan bahasa. Untuk itu, mereka terdorong untuk menemukan sebuah batas spasial imajiner antara diri mereka dan aristokrasi tua dengan memancangkan tanda.

Seorang lulusan sekolah Dokter-Djawa, Abdul Rivai, sebagai seorang editor majalah Bintang Hindia, pada 1902 mulai memperkenalkan istilah ”bangsawan pikiran” (prestise sosial berbasis penguasaan ilmu) yang dikontraskan dengan ”bangsawan oesoel” (prestise berbasis keturunan). Selanjutnya, konstruksi ikutan dibuat untuk mempertautkan kode ”bangsawan pikiran” dengan komunitas imajiner baru, ”kaoem moeda”; sedangkan ”bangsawan oesoel” diasosiasikan sebagai ”kaoem toea”.

Salah satu eksperimen kaum muda untuk memperjuangkan kemajuan adalah pendirian perkumpulan Budi Utomo (BU) pada 1908. Dengan melancarkan kritik terhadap kegagalan kepemimpinan priayi tua dalam melindungi kepentingan rakyat, pada awalnya BU bermaksud memperjuangkan kepemimpinan kaum muda. Meski terbukti, pengaruh kaum tua masih terlalu kuat, membuat BU segera dibajak kalangan priayi konservatif.

Meski begitu, BU menjadi tonggak penting dalam pertumbuhan gerakan kebangkitan berbasis ”bangsawan pikiran”. Berpijak pada peta-jalan yang telah dipancangkan generasi sebelumnya, angkatan baru kaum terdidik bergerak lebih maju dengan mencampakkan kata bangsawan yang mendahului kata pikiran. 

Seseorang menulis di Sinar Djawa (4 Maret 1914): ”Dengan pergeseran waktu, telah muncul jenis bangsawan baru, yakni ’bangsawan pikiran’. Namun, jika bangsawan pikiran ini hanyalah kelanjutan dari bangsawan usul, maka perubahan dan pergerakan tak akan pernah lahir.”

Maka, tanda baru segera dicipta, tanda yang sepenuhnya bebas dari imaji kebangsawanan, dan berkhidmat sepenuhnya pada pikiran. Tanda itu bernama ”kaum terpelajar” atau ”pemuda-pelajar”, atau sering kali diungkapkan dalam bahasa Belanda, jong. Dalam tanda dan peta-jalan seperti inilah generasi Soekarno, Hatta, Sjahrir, dan Natsir dibesarkan. Semua tokoh ini lahir pada dekade pertama abad ke-20, dan semua tak bisa dikatakan sebagai anak priayi tinggi. Mereka mendapatkan keuntungan bisa memasuki sistem pendidikan Eropa karena pengenduran prasyarat keturunan berkat perjuangan generasi sebelumnya.

Perjuangan kebangkitan bermula dari kerja wacana. Aktivitas pergerakan politik generasi Soekarno berjejak pada kekuatan diskursif-argumentatif lewat kelompok studi, kerja jurnalistik, dan kesastraan. Sejak 1924, Hatta terlibat aktif di Perhimpunan Indonesia berikut jurnalnya, Indonesia Merdeka, seraya tak lupa menulis puisi-puisi patriotik. Pada 1926, Soekarno mendirikan Algemene Studieclub berikut jurnalnya, Indonesia Moeda. Pada saat sama ia aktif sebagai editor majalah SI, Bandera Islam (1924-1927), bahkan selama pembuangan menulis naskah drama.

Seperti Hatta, Sjahrir aktif di Perhimpunan Indonesia dan kelak berperan penting dalam jurnal Daulat Rakyat. Ia pun dikenal sebagai pemain sandiwara dengan erudisinya yang luas di bidang kesusastraan. Natsir mengikuti beberapa kelompok diskusi dan terlibat intens di Persatuan Islam. Sejak 1929 ia menekuni kerja jurnalistik sebagai ko-editor dari jurnal Pembela Islam.

Eksperimen kaum muda

Menulis adalah mencipta, dan mencipta selalu mensyaratkan membaca. Semakin banyak mencipta, semakin banyak membaca; semakin kaya bacaan, semakin kaya hasil penciptaan. Yang pertama mereka ciptakan adalah nama. Tanda pengenal diri yang memberi kesadaran eksistensial. Jika tak suka dengan rumah kolonial, hal pertama yang harus dirobohkan adalah tanda-tanda yang diciptakannya. Jika Belanda menandai tanah-air ini sebagai Hindia-Belanda, yang diperjuangkan generasi Soekarno adalah memberi nama baru kepada tumpah darahnya, ”Indonesia”.

Dengan penemuan nama ”Indonesia”, sentimen sempit etno-nationalism bertransformasi menuju keluasan semangat civic nationalism: keragaman etnis, agama, dan kelas sosial bertaut ke dalam kesatuan tanah-air, bangsa, bahasa persatuan. Monumennya dipancangkan pada Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Dari sanalah kemerdekaan Indonesia menemukan jangkarnya.

Mimpi kebangkitan baru

Berdiri di awal milenium baru, kita memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan menyaksikan gerak sejarah yang berulang dan hilang. Kesadaran kebangkitan nasional di masa penjajahan mendapatkan inspirasi dari gelombang Kebangkitan Asia; disertai usaha sadar kaum terdidik saat itu membumikan inspirasi ini dalam kenyataan Indonesia dengan mengerahkan daya cipta dan daya juang.

Sekarang, kita kembali memimpikan kebangkitan nasional, diinspirasikan oleh kebangkitan Asia sebagai pusat baru peradaban dunia, ditandai oleh kemajuan fenomenal yang dicapai China, India, dan negara lain di kawasan Asia Pasifik. Namun, yang terasa hilang dari rantai sejarah bangsa ini adalah kekuatan daya cipta dan daya juang. Terdapat tanda-tanda bahwa ”pikiran” dan keberaksaraan tak lagi jadi ukuran kehormatan.
Inteligensia dan politisi berhenti membaca dan mencipta karena kepintaran kembali dihinakan oleh ”kebangsawanan baru”: kroni, nepotisme, dan kemewahan. Pendidikan tidak lagi menjadi sarana pembebasan dan pencerahan, melainkan menjadi mata rantai penindasan dan penggelapan. Tantangan tidak dijawab oleh perjuangan menggeluti kenyataan, melainkan ditutupi oleh rekayasa pencitraan.

Dalam memperingati Hari Kebangkitan Nasional, yang harus kita tangkap adalah apinya, bukan abunya. Mengagungkan kebangkitan masa lalu tanpa kesediaan menghidupi apinya hanya akan membuat bangsa ini mewarisi abunya. Seperti diingatkan Bung Karno, ”Kita bangsa Indonesia, kita pemimpin-pemimpin Indonesia, tidak boleh berhenti, tidak boleh duduk diam bersenyum simpul di atas damparnya kemasyhuran dan damparnya jasa-jasa di masa lampau. Kita tidak boleh teren op oud roem, tidak boleh hidup dari kemasyhuran yang lewat, oleh karena jika kita teren op oud roem, kita nanti akan jadi bangsa yang ngglenggem, satu bangsa yang gila kemuktian, satu bangsa yang berkarat”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar