|
KOMPAS,
14 Mei 2013
Aksi
kekerasan di sekitar kita sudah sampai pada tahap mengkhawatirkan. Kekerasan
mulai biasa dilakukan pihak yang seharusnya menjadi teladan mencegah aksi
kekerasan.
Sejumlah
anggota Batalyon Zeni Konstruksi/13 memukul empat anggota staf Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan di pos penjagaan Dewan Pimpinan Pusat PDI-P. Peristiwa
pada Sabtu (20/4) malam itu kian menambah statistik kekerasan yang dilakukan
TNI.
Pada
23 Maret, empat tahanan LP Cebongan, Sleman, tewas setelah ditembak oknum TNI
AD. Sebelumnya, pada 7 Maret, anggota TNI terlibat bentrok dengan Polri di Kota
Baturaja, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan.
Semua
rentetan kekerasan yang melibatkan korps bersenjata itu terjadi dalam rentang
waktu hanya satu bulan meski lokasi berbeda-beda. Mengapa terjadi anomali
penggunaan otoritas pada pemegang senjata?
Otoritas
kekerasan
TNI
dan Polri adalah dua institusi aparatur kenegaraan yang dalam kacamata Weberian
memiliki otoritas menggunakan kekerasan untuk menjamin ketertiban sosial
(social order). Secara legal, kedua institusi ini boleh menggunakan kekerasan
jika terjadi ancaman yang dapat mengganggu ketertiban masyarakat.
Akan
tetapi, peristiwa yang terjadi di tiga tempat itu menyerupai aksi kekerasan
yang lazim terjadi pada masyarakat primitif yang memang belum memiliki pranata
hukum memadai. Pada masyarakat primitif, kekerasan biasa dilakukan aktor
non-negara sebagai mekanisme pembalasan terhadap kekerasan yang dilakukan
individu atau kelompok lain.
Begitu
pranata hukum modern terbentuk, masyarakat tidak lagi dibenarkan menggunakan
kekerasan. Di samping dapat memutus mata rantai aksi balas dendam, pranata itu
juga dapat memulihkan tertib sosial. Inilah yang disebut dengan transformasi
dari hukum represif ke hukum yang lebih menekankan pada pemulihan keadaan
normal (restitutive). Namun,
peristiwa yang diaktori oknum TNI dan Polri itu justru mengembalikan memori
kolektif pada kondisi manusia primitif yang biasa balas dendam.
Ironisnya,
aksi kekerasan ini semakin sering terbiasa terjadi di sekitar kita. Ini
merupakan pertanda nyata, kekerasan sudah dianggap sebagai hal biasa. Fenomena
inilah yang disebut banalisasi. Kekerasan yang sejatinya merupakan modus
kejahatan mulai dianggap sebagai peristiwa biasa. Banalisasi tidak hanya
terjadi pada otoritas kekerasan, tetapi juga pada masyarakat sipil, aparatur
negara, dan para pejabat publik kita.
Banalisasi
keburukan
Banalisasi
pada pejabat publik terlihat dari cara mereka memenuhi tuntutan hidup sebagai
bagian dari komunitas elitis. Meski sudah mendapat posisi tinggi dan menikmati
remunerasi memadai (gaji pokok dan fasilitas yang fantastis), ternyata mereka
masih juga korupsi.
Menurut
ekonom yang juga Wakil Ketua Umum Partai Amanat Nasional, Dradjad H Wibowo, di
Jurnal Parlemen, data penghasilan beberapa pejabat eselon I di sebuah
kementerian rata-rata bisa mencapai Rp 2,23 miliar per tahun. Ia membandingkan
dengan penghasilan David Cameron—PM Inggris—yang ”hanya” Rp 2,03 miliar per
tahun.
Silakan
pembaca menghitung sendiri pendapatan yang diterima pejabat eselon puncak dalam
setiap bulannya. Dengan pendapatan sebesar itu, secara sosiologis seseorang
bisa duduk dengan gagah sebagai kelas menengah puncak (upper middle class). Kenyataannya, sekalipun berkelimpahan secara
material (affluent), masih banyak
pejabat publik yang belum terpuaskan. Alih-alih menjalankan tugasnya mewujudkan
kebaikan publik (good public), yakni
kebaikan bagi seluruh warga, mereka justru mengutamakan kepentingan diri
sendiri dan kelompoknya.
Modus
yang paling banyak digunakan pejabat publik adalah korupsi. Per definisi,
korupsi merupakan penyalahgunaan kepercayaan (sebagai pejabat publik) yang
didorong oleh motif mendapatkan keuntungan material melimpah. Seorang pejabat
dari institusi kepolisian yang sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK), misalnya, bisa memiliki kekayaan ratusan miliar rupiah.
Dari
mana kekayaan itu diperoleh? Menurut logika KPK, kekayaan itu tidak mungkin
dimiliki seorang pejabat jika tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Modus
penyalahgunaan kekuasaan bervariasi. Ada yang berbentuk pemberian suap (korupsi
transaktif), pungutan secara paksa (korupsi ekstortif), dan pemberian hadiah
atau fee kepada pejabat untuk mendapat kemudahan (korupsi invensif).
Pendorong
korupsi
Dapat
disimpulkan, keterbatasan material ternyata bukan faktor pendorong korupsi.
Penghasilan bulanan pejabat publik kita lebih dari cukup. Artinya, dorongan
korupsi bukan karena faktor keterdesakan pemenuhan kebutuhan hidup (corruption by need). Jika memperhatikan
tampilan pejabat yang berurusan dengan KPK, tidak salah bahwa keserakahan
ditambah adanya peluang menjadi pendorong pejabat melakukan penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power), termasuk
di dalamnya modus korupsi.
Sebagaimana
kekerasan yang mulai dianggap sebagai fenomena biasa, korupsi pun juga mulai
dianggap sebagai hal yang lumrah. Jadi, mulai muncul fenomena banalisasi
korupsi. Korupsi yang sejatinya sebagai modus kejahatan (evil) kemudian dianggap sebagai hal yang biasa. Pertanyaannya,
mengapa banalisasi terjadi di sekitar kita?
Dua
fenomena besar yang dijadikan sebagai bahan perbincangan pada tulisan ini,
yakni kekerasan dan korupsi, secara denotatif memiliki makna negatif secara
moral.
Korupsi
yang dilakukan pejabat publik merupakan bentuk pengingkaran terhadap
kepercayaan (trust) publik (warga)
yang hanya memberikan keuntungan material kepada pelakunya, dan sebaliknya
menjadikan publik sebagai korban. Kekerasan juga merupakan pengingkaran
terhadap nilai-nilai kemanusiaan universal.
Kehampaan
moral
Terlepas
dari berbagai atribut yang disandang sejak dilahirkan, pada diri manusia
terdapat kecenderungan alamiah ingin diakui, dihargai, dan dilindungi. Jika
kecenderungan ini bisa dipenuhi, kebahagiaan yang dirasakan. Namun, jika
sebaliknya yang terjadi, manusia akan merasakan penderitaan.
Tidak
ada satu pun manusia yang ingin menderita akibat kekerasan oleh pihak lain.
Suatu tindakan yang berdampak destruktif bagi pihak lain berakar pada kondisi
dalam diri kita yang sedang mengalami kehampaan atau nihilisme secara moral.
Tindakan yang bakal muncul di saat mengalami kehampaan moral bisa dipastikan
menimbulkan akibat buruk terhadap orang lain.
Mengapa
demikian? Nihilisme sebagaimana dijelaskan dalam literatur mengandung
pengertian pengingkaran dan pembangkangan terhadap nilai-nilai kesusilaan,
kemanusiaan, keindahan, dan sikap-sikap keutamaan lainnya. Kita perlu khawatir
karena fenomena nihilisme ini mulai berkecambah di sekitar kita. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar