|
KOMPAS,
14 Mei 2013
Beberapa
waktu lalu, ada dua berita yang menarik. Pertama, mulai disidangkannya perkara
korupsi Djoko Susilo. Kedua, gagalnya pelaksanaan eksekusi putusan perkara
korupsi dengan terpidana Susno Duadji. Kedua jenderal itu sebelumnya adalah
jenderal hebat di jajaran Polri.
Menyimak
dakwaan penuntut umum KPK terhadap Djoko Susilo menunjukkan bahwa tindak pidana
korupsi telah dilakukan oleh level jenderal. Membandingkan penyidikan KPK dan
penyidikan Bareskrim (Polri) terhadap kasus yang sama tersebut, simulator SIM,
terdapat isu yang menarik. Terlihat bahwa penyidikan yang dilakukan Bareskrim
telah diarahkan untuk tidak menemukan pelaku korupsi yang sebenarnya.
Mengingat
para penyidik kunci dari Bareskrim yang melakukan penyidikan tersebut adalah
para mantan penyidik KPK, besar kemungkinan arahan penyidikan berasal dari
pimpinan para penyidik tersebut, yang tentu saja berlevel jenderal. Ini
merupakan petunjuk adanya obstruction of
justice—tindakan menghalang-halangi proses penegakan hukum—setidaknya
diketahui oleh level jenderal.
Pelaksanaan
eksekusi terhadap Susno Duadji telah gagal dilaksanakan eksekutor dari
kejaksaan. Kita masih ingat bahwa penyidikan terhadap Susno dulu dilakukan
Bareskrim. Artinya, kegagalan eksekusi tersebut juga merupakan bentuk kegagalan
penuntasan hasil kerja Bareskrim.
Pernyataan
Firdaus Dewilmar selaku koordinator tim eksekutor kejaksaan bahwa upaya
mengeksekusi Susno bukan gagal, melainkan digagalkan, merupakan petunjuk adanya
obstruction of justice yang dilakukan
Polri di tingkat Polda Jawa Barat. Ini pun setidaknya diketahui oleh level
jenderal.
Kedua
isu tersebut, pengarahan penyidikan dan penggagalan eksekusi, adalah dua isu
krusial sebagai obstruction of justice.
Polri
yang hebat
Pemisahan
Polri dari ABRI, yang kemudian berhasil mendudukkan Polri dan TNI sebagai dua
institusi yang terpisah dengan tugas dan tanggung jawab yang berbeda, telah
berhasil dilakukan dengan baik. Tentu hal itu juga dimaksudkan agar kedua
institusi tersebut menghasilkan kinerja yang maksimal untuk kepuasan rakyat.
Dengan
melihat kedua isu obstruction of justice
yang secara gamblang terlihat berkat kebebasan pers tersebut, perlu dilihat
kemungkinan penyebab kedua isu tersebut terjadi. Selanjutnya perlu dilakukan
penyesuaian tugas dan tanggung jawab pada institusi Polri agar para jenderal
Polri lebih fokus menjalankan tugas dan tanggung jawabnya.
Pengarahan
penyidikan secara tak tepat kemungkinan diakibatkan adanya konflik kepentingan.
Guna menjaga agar konflik kepentingan seperti ini tidak merugikan nama baik
Polri, ada baiknya—ke depan—Polri tidak diberi
kewenangan melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Hal ini juga agar
Polri bisa lebih berfokus meningkatkan kualitas penyidikan terhadap berbagai
jenis tindak pidana lain. Kelebih-fokusan ini akan menghasilkan kualitas
kinerja Polri menjadi lebih baik sehingga persepsi publik terhadap Polri juga
akan jadi lebih baik. Kita semua ingin memiliki Polri yang hebat.
Mungkin
para jenderal Polri juga terlalu banyak terbebani berbagai macam tugas sehingga
tugas utama di area fungsi ”perpolisian” kurang terjaga kualitasnya.
Penggagalan proses eksekusi merupakan bentuk negatif fungsi ”perpolisian”.
Untuk mengatasi hal ini, ada baiknya, ke depan, tugas-tugas Polri yang tak
merupakan bagian dari fungsi ”perpolisian” dipisahkan dari Polri. Ini juga bisa
dipandang sebagai kelanjutan dari langkah pemisahan Polri dari ABRI yang dulu
sudah berhasil dilakukan. Tugas berat Polri yang bukan merupakan bagian dari
fungsi ”perpolisian”, salah satunya, adalah urusan STNK dan SIM. Karena itu, perlu dipikirkan ulang agar urusan STNK dan SIM ini
dikeluarkan dari Polri agar para jenderal Polri lebih fokus dalam
meningkatkan kualitas kinerjanya.
Legislator
Fakta
di lapangan terkait pelaksanaan tugas dan tanggung jawab institusi Polri harus
selalu jadi obyek utama yang diawasi para legislator di negara ini, khususnya
anggota Komisi III DPR. Para legislator kiranya perlu melakukan penyesuaian
undang-undang (UU) yang mengatur tugas dan tanggung jawab Polri.
Dengan
mengamati dua isu obstruction of justice
di atas, sudah waktunya para legislator membuat
aturan dalam bentuk UU agar Polri tak lagi melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi dan tidak lagi menangani urusan STNK dan SIM. Dengan
mengurangi beban tugas dan tanggung jawab Polri tersebut, bukankah itu berarti
para legislator selalu menjaga agar institusi Polri tetap dinamis dan secara
efektif dapat menghasilkan kinerja maksimal untuk kepuasan rakyat Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar