|
KOMPAS,
14 Mei 2013
Di
tengah gegap gempita berita tentang elite politik kita yang egoistis, di tengah
kemuakan kita terhadap keserakahan partai-partai politik dan badai korupsi yang
tak kunjung henti, tiba-tiba kita terentak sejenak oleh berita Tasripin dari
Banyumas.
Tasripin,
bocah miskin berumur 12 tahun, harus menjadi ”orangtua” bagi ketiga adiknya:
Dandi (7), Riyanti (6), dan Daryo (4). Satinah (37), ibu mereka, meninggal dua
tahun lalu, terhantam longsoran batu saat menambang pasir. Ayah mereka, Kuwito
(47), merantau ke Kalimatan, bekerja di pabrik kayu bersama anak sulungnya,
Natim (21). Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, Tasripin bekerja sebagai
buruh tani. Kadang-kadang ia dibayar beras, kadang-kadang ia diberi Rp 10.000.
Cukup buat makan dua kali sehari, sisanya dibuat jajan adik-adiknya.
Bupati
Banyumas Achmad Husein mengaku khawatir kisah Tasripin hanya fenomena gunung es
di Banyumas (Kompas, 15/1/2013). Benar! Tak lama setelah berita Tasripin,
kembali kita terentak oleh berita Indah Sari (17) dan kedua adiknya, Supriyani
Astuti (15) dan Juliah (13). Sejak lima tahun lalu, sambil sekolah, ketiga
bocah miskin dari Desa Penusupan, Purbalingga, itu harus bekerja bikin idep
(bulu mata) untuk hidup sehari-hari.
Karena
tekanan ekonomi, ibu mereka, Tarmini (40), menderita gangguan mental sejak
kelahiran anak terakhirnya, Sayang (5). Indah dan kedua adiknya bisa
mendapatkan Rp 150.000 per bulan dari hasil membuat bulu mata palsu. Tentu uang
itu habis untuk makan. Namun, Indah berusaha sedapat mungkin menyisihkan hasil
kerjanya untuk biaya sekolah (Kompas,
2/5/2013).
Begitu
berita Tasripin muncul di media, khalayak ramai segera menyalurkan dana,
termasuk Presiden SBY. Kiranya Indah Sari pasti juga mendapat simpati dan bantuan
serupa. Bantuan karitatif itu menunjukkan kita masih punya empati terhadap
nasib anak-anak miskin seperti Tasripin dan Indah. Namun, sadarkah kita bahwa
peristiwa Tasripin dan Indah sesungguhnya bukan sekadar peristiwa yang cukup
ditanggapi secara karitatif, melainkan fenomena serius yang sedang menggugat
hidup kita sampai ke sendi dan dasarnya.
Gugatan
penderitaan
Bolehkah
anak kecil yang tak bersalah seperti Tasripin dan Indah itu menderita? Kita
semua pasti akan menjawab, ”Tidak!” Namun, patut diingat, dengan menjawab
”tidak”, kita sesungguhnya telah masuk ke dalam persoalan yang gawat: soal yang
diajukan Ivan Karamazov, salah satu tokoh penting dalam novel terkenal The Brothers Karamazov, karya pengarang
besar Dostojevsky. Di Barat, gugatan Dostojevsky lewat tokoh Ivan Karamazov itu
memberi jalan bagi munculnya ateisme dan membongkar kaidah klasik theodicy yang bertugas membela dan
memberi argumentasi tentang keberadaan Tuhan.
Kepada
saudaranya tercinta, Alyosha, Ivan berkisah soal penderitaan anak-anak yang tak
bersalah. Tentang seorang anak gadis yang disiksa orangtuanya. Lalu tentang
seorang anak lelaki yang bekerja sebagai budak seorang tuan tanah. Tanpa
sengaja anak itu melukai anjing kecintaan tuannya. Dengan para begundalnya,
tuan tanah memburu dia, seperti memburu binatang, lalu anak itu ditembak,
kemudian badannya dikoyak habis oleh para anjing pemburunya, dan itu semua
terjadi di hadapan ibunya.
Ivan
bertanya, bagaimana mungkin jika Tuhan ada, Tuhan tega membiarkan anak-anak
yang tak bersalah menderita? Tak mungkin penderitaan itu kita kembalikan kepada
kesalahan anak-anak itu. Tak mungkin pula kita menjawab, Tuhan punya maksud
tertentu dengan membiarkan anak-anak itu menderita, misalnya toh kelak ia bakal
bahagia di surga justru karena penderitaannya. Bahkan, jika kita sepakat bahwa
Tuhan punya maksud tertentu dengan penderitaan di dunia, tetaplah tak terjawab,
mengapa anak-anak itu harus disertakan dalam penderitaan demi maksud tertentu
itu? Kita, orang dewasa, sanggup membeli ”harmoni abadi” dengan penderitaan,
tetapi apa hubungan semuanya itu dengan anak-anak itu? Mengapa mereka harus
menderita dan membayar harmoni itu dengan penderitaannya?
Kita
bercita-cita membangun suatu masa depan, ketika semuanya akan damai, sejahtera,
dan bahagia. Namun, kata Ivan lagi, mestikah masa depan itu dibangun di atas
air mata anak-anak yang tak bersalah? Ivan tak setuju dengan itu. Karena itu,
ia juga tidak bisa menerima jika keberadaan Tuhan dibenarkan dengan pembenaran
atas penderitaan yang tidak adil itu. Secara moral, ia menolak Tuhan demikian
dan ia menjadi ateis. Jadi, atas nama keadilan, ia memberontak melawan Tuhan,
yang hanya dapat dibenarkan dengan keadilan yang sebenarnya tidak adil.
Menurut
teolog Richard Bauckham dari University
of Manchester (1987), gugatan Ivan Karamazov itu mau tak mau mengguncang
bangunan theodicy sampai di zaman modern ini. Selama ini demikianlah
argumentasi theodicy: penderitaan itu sudah dikalkulasikan sebagai risiko
ketika Tuhan menciptakan dunia dan ciptaan-ciptaan-Nya yang bebas; penderitaan
mau tak mau juga merupakan bagian yang tak terhindarkan dari dunia yang secara
natural terus berevolusi; dan penderitaan punya peran mendidik dan membentuk
jiwa manusia agar sesuai dengan maksud ia diciptakan di dunia.
Dengan
serangan Dostojevsky lewat Ivan Karamazov, ”mengapa
bangunan semacam itu harus dipertahankan dengan cara menyertakan anak-anak tak
bersalah untuk ikut menderita”, seluruh argumentasi theodicy itu ambruk. Bahkan, teologi secara umum tak bisa lagi
bertahan dengan argumennya yang klasik bahwa penderitaan adalah nilai yang
harus dibayar demi tercapainya tujuan eskatologis Tuhan, yakni bahwa akhirnya
di masa depan manusia akan mencapai kebahagiaannya yang sempurna justru karena
telah melewati penderitaan itu. Teologi tidak bisa berargumen ”murahan” lagi
dalam membela keberadaan Tuhan berhadapan dengan penderitaan. Apalagi
”pemberontakan melawan Tuhan” itu akhirnya bisa menuntun orang berpandangan
nihilistis, seperti kemudian dituturkan Albert Camus.
Camus
dalam karyanya, The Rebel, mengorek
akibat lebih lanjut dari kritik Ivan. Karena menolak Tuhan sebagai pembenaran
terhadap penderitaan dan ketakadilan yang terjadi di dunia, Ivan menemukan
sebuah nilai positif: rasa akan martabat dan solidaritas kemanusiaan. Di atas
martabat dan solidaritas inilah keadilan dapat dibangun di dunia yang penuh
ketidakadilan ini. Namun, Ivan sekaligus menyediakan penggerogotan yang ganas
terhadap nilai positif itu. Dan, itulah yang dilihat dengan jeli oleh Camus.
Menurut
Camus, manusia-manusia pemberontak di zaman modern ini telah meletakkan
humanitas di atas
Tuhan. Lebih ekstrem lagi, mereka ingin agar humanitas
menggantikan Tuhan. Maka, sekarang hanya humanitas yang boleh mengontrol tujuan
akhir manusia. Jadi, saatnyalah bahwa theodicy
harus diganti dengan anthropodicy.
Dan, tersimpan dalam proses ini keyakinan bahwa dunia lama diganti dengan dunia
baru, ketakadilan diganti dengan keadilan, dan nilai-nilai Tuhan yang terbukti
tidak adil itu diganti dengan nilai-nilai manusia yang adil.
Itulah
yang justru memberi peluang bagi sementara elite membenarkan bahwa mereka boleh
memakai segala cara meraih tujuan itu. Maka, penderitaan, bahkan pembunuhan pun,
dibenarkan demi keadilan di masa depan. Rezim-rezim kekuasaan revolusioner
bermunculan, menggantikan tirani kekuasaan Tuhan.
Dan,
terulang lagi sejarah lama: rezim-rezim revolusioner membenarkan penderitaan
manusia demi keadilan di dunia. Itulah akar dari otoritarianisme dan
totalitarisme, seperti Nazisme atau Stalinisme di zaman modern, yang sangat
kejam, brutal, dan nihilistis terhadap kemanusiaan. Kamar gas di Auschwitz dan
penyiksaan di Siberia adalah ujung perjalanan pemberontakan manusia melawan tirani
Tuhan yang dianggap sewenang-wenang terhadap penderitaan manusia. Maka, problem
yang dimunculkan pemberontakan Ivan bukan lagi theodicy, melainkan anthropodicy.
Tuhan
yang memihak
Mungkinkah
kita membela theodicy, yang berada di
bawah ancaman anthropodicy itu?
Hal-hal di atas kiranya menantang orang beriman mempertanggungjawabkan imannya
terhadap Tuhan. Jelasnya, mungkinkah kita membela keberadaan Tuhan berhadapan
dengan dunia yang penuh ketakadilan dan penderitaan ini?
Konsep
theodicy yang melepaskan Tuhan dari
penderitaan jelas tak akan bisa menjawab tantangan itu. Dan, agama yang
mempertahankan penderitaan itu perlu demi kebahagiaan abadi yang disediakan
Tuhan kelak jelas mendegradasikan humanitas dan akan menjadi sasaran kritik anthropodicy, yang melengserkan Tuhan
demikian itu demi humanitas yang mereka cita-citakan. Siapakah Tuhan yang
demikian itu? Inilah yang harus dicari-cari oleh agama-agama di zaman modern
ini.
Di
kalangan kristiani, seorang teolog besar, Jürgen Molltmann, menjawab pertanyaan
dengan sebuah teologi yang disebut teologi salib. Dalam teologinya itu, Tuhan
direnungkan bukan sekadar pencipta dan penguasa semesta, yang mahaberkuasa atas
dunia, termasuk penderitaannya. Tuhan justru terlibat dalam dunia, ikut
menderita, dan memeluk penderitaan itu. Itulah yang terjadi dalam diri Yesus
saat Ia menanggung dan mengalami penderitaan hingga mati di kayu salib.
Dalam
teologi salib, Tuhan bukan pembenar bagi penderitaan seperti dituduhkan Ivan,
melainkan pemrotes yang mengajak manusia memberontak terhadap ketidakadilan dan
kekuasaan yang menyebabkan penderitaan mereka yang tak bersalah dan
diperlakukan tidak adil. Tuhan yang menderita dan tersalib itu adalah
inspirator dan agitator bagi perlawanan yang konkret terhadap ketidakadilan dan
penderitaan yang diakibatkannya. Di sinilah tampak teologi salib sesungguhnya
adalah awal dari teologi pembebasan. Mau tak mau teologi akhirnya harus berbuah
politik, yakni politik yang memihak kepada mereka yang lemah, tak berdaya, dan
menderita karena ketidakadilan.
Pandangan
teologis demikian mau tak mau juga akan mengubah praktik-praktik ritual dan
kesalehan. Doa, misalnya, tak dapat lagi dimengerti atau melulu dialami sebagai
kewajiban ritual, kesalehan, atau kekhusyukan pribadi yang tak ada kaitannya
dengan masalah sosial, lebih-lebih penderitaan dan ketidakadilan. Doa harus
menjadi doa yang terlibat dan membuahkan tanggung jawab. Maka, tepat apa yang
dikatakan teolog Johann Baptist Metz, ”Siapa
berdoa, dia akan berdiri di pihak korban, bukan di pihak pemenang.”
Teguran
Indah dan Tasripin
Semua
uraian di atas bermula dari kepedihan kita melihat nasib Tasripin dan Indah
Sari, yang kiranya juga nasib banyak anak-anak lain di Tanah Air ini. Dalam
kepedihan Indah dan Tasripin tersimpan gugatan Ivan Karamazov, yang menuntut
kita merefleksikan lagi konsep kita tentang Tuhan berhadapan dengan
penderitaan. Refleksi itu juga menunjukkan betapa kehidupan beragama bisa
mandul dalam menggugat penderitaan karena kita tak punya teologi atau theodicy yang kritis terhadap penderitaan
dan ketidakadilan.
Politik
dan praksis politik pun akan sangat ditentukan pandangan teologis kita tentang
Tuhan. Dan, itu kiranya berlaku lebih-lebih di negara kita, Indonesia ini, yang
mengaku dirinya sebagai negara religius, yang percaya kepada Tuhan, bahkan
mendasarkan salah satu pilarnya pada kepercayaan akan Tuhan yang Maha Esa itu.
Maka, sadarkah kita bahwa kepedihan anak-anak seperti Indah dan Tasripin itu
sesungguhnya sedang menggugat kita mempertanyakan kepercayaan kita itu?
Spontan
kita perlu mengakui bahwa penghayatan hidup beragama kebanyakan kita masih
sebatas ritualisme belaka. Tempat ibadat penuh dengan orang-orang yang berdoa
dengan khusyuk. Namun, ibadat itu tak memberi efek pada perjuangan dan
pembebasan sosial lebih-lebih bagi mereka yang lemah dan menderita. Mungkin ini
disebabkan karena kita tak punya atau belum mengembangkan teologi yang peka
terhadap penderitaan dan ketidakadilan.
Memang
rasanya kita belum memiliki teologi yang bisa melihat Tuhan yang ada dan
menjerit dalam penderitaan dan protes terhadap ketidakadilan. Teologi kita
hanya mengekor pada praktik-praktik mapan hidup keberagamaan. Akibatnya,
teologi dan hidup keberagamaan kita hanya mengurung Tuhan dalam sangkar ritual
dan memandulkan-Nya terhadap perjuangan sosial. Ini betul-betul fatal sebab,
betapa pun kita mengaku ber-Tuhan, dalam praktik kita telah menjauhkan Tuhan
dari masalah yang dihadapi bangsa, terlebih masalah ketidakadilan yang
mengakibatkan penderitaan mereka yang tak bersalah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar