Minggu, 12 Mei 2013

Duh, Buruh Nasibmu Kian Menjauh


Duh, Buruh Nasibmu Kian Menjauh
Arwendo Atmowiloto ;  Budayawan
KORAN SINDO, 11 Mei 2013


Buruh dalam pengertian orang yang bekerja pada orang lain untuk mendapatkan upah adalah bahasa resmi, meskipun tidak secara resmi dipergunakan. Kalangan pemerintah lebih menggunakan istilah tenaga kerja, sementara kalangan pengusaha menggunakan istilah karyawan. 

Seakan kata buruh berkonotasi buruk sehingga dihindari, yang sebaliknya justru dipakai penuh dalam menyebut organisasi atau serikat mereka yang menemukan identitasnya. Kata buruh dan tani pernah menjadi idiom kuat sebagai “soko guru revolusi”, tiang utama perubahan di negeri ini. 

Buruh bukan Budak 

Namun, agaknya nasib kaum buruh masih harus melalui jalan yang jauh. Langkah mereka masih akan berpeluh, tanpa didengar bagaimana mengeluh, dalam perjalanan seakan tanpa tempat berteduh. Sungguh aduh. Terutama kabar mengenai belasan buruh yang diperlakukan bukan hanya tidak manusiawi, melainkan melukai nurani. Mereka ini disekap, dipekerjakan sebagai budak—diperhamba semena-mena dan dihilangkan hak-haknya. 

Sehingga, secara bahasa hukum pasal yang bisa menjerat pengusaha kuali bisa berlipat. Sejak perizinan usaha itu sampai pemakaian buruh di bawah umur, penggelapan barang milik buruh, atau juga penipuan saat merekrut. Dan, pasal-pasal atau ayat-ayat untuk itu memang cukup banyak dan dengan kecakapan hukum bisa menjadi pasal yang hidup dan aktual. Apalagi, opini publik yang terbangun secara emosional menyudutkan sang pengusaha. 

Namun, sebenarnya masih ada dua hal yang masih mengganjal. Pertama, secara bahasa, pengertian buruh masih dihindari karena barangkali selalu terkait dengan rusuh. Padahal, sebenarnya banyak istilah buruh yang menempel dalam tubuh keseharian kita. Ada istilah buruh harian, buruh kasar, buruh musiman, buruh tani, buruh pabrik, buruh tambang, buruh gendong, dan atau berbagai sektor industri dan jasa yang ada. 

Dengan posisi awal yang sama: menggantungkan pada upah apa yang dikerjakan. Agak aneh juga pemerintah atau pengusaha mengemohi kata buruh. Yang kedua, yang sebenarnya mulai terungkap ke permukaan, adalah mekanisme yang memungkinkan terjadinya penyekapan dan perbudakan biadab ini. Pengusaha Yuki Irawan– atau siapa pun n a m a - nya– di T a - ngerang bisa melakukan semua ini, karena adanya hubungan dengan pemilik kekuasaan. 

Apakah itu TNI, Polri, atau para preman atau gabungan dari semua itu. Karena, seorang pengusaha rasanya sulit melakukan itu sendirian, tanpa merasa adanya beking, orang, atau orang-orang yang melindungi. Atau untuk aman dan tidak menimbulkan masalah ada oknum yang membekingi. Permasalahannya apakah ini bisa diurai atau cukup berhenti pada Yuki menjadi taruhan utama nasib buruh dan juga bukan buruh yang tak mempunyai akses dan fasilitas dengan pemilik kekuasaan dan kekuatan. 

Buruh bukan Musuh 

Kalau nantinya bisa terjabarkan mekanime hubungan kerja sama saling melindungi— bekingnya pastilah dapat upeti, barangkali proses yang lain bisa dipelajari lebih terbuka. Kasuskasus yang menjadi peristiwa menyedihkan seperti rebutan atau eksekusi lahan, demo buruh, penyerbuan, bisa menjadi terang. Kalau ini dibiarkan m e n g a m b - ang–biasanya begitu, kegamangan nasib buruh di kemudian hari mengalami hal yang kurang lebih sama. 

Karena realitas empiris menunjukkan bahwa buruh bukan hanya berhadapan dengan pengusaha atau pemerintah yang diartikan dalam triparti saja, melainkan ada kekuatan lain yang namanya beking atau pelindung dari mereka. Dalam bahasa sederhana, nasib kaum buruh masih berada dalam suasana gaduh, dalam keadaan mengaduh. Bukan sekadar pengusaha yang dihadapi, melainkan kepentingan lain yang menyertai. Apakah itu sistem yang sudah terbina selama ini, atau bahkan itu sebenarnya yang selama ini terjadi. 

Dan kalau ini tidak ada keterbukaan dan perbudakan pabrik kuali yang mengerikan hanya menjadi kasus lepas, kasus khusus yang tidak terjadi pada buruh lain di tempat yang berbeda. Padahal, bukan tidak mungkin apa yang dilakukan Yuki– atau siapa pun, menunjukkan kasus umum yang ada. Bukan untuk sekadar menyalahkan, melainkan untuk melihat kemungkinan yang lain dari apa yang selama ini berlangsung dan dianggap wajar. 

Misalnya saja, berapa biaya yang harus dikeluarkan pengusaha untuk perlindungan semacam ini? Apakah ini pengeluaran rutin dan ada pos tetap dan wajib? Apakah benar pengusaha memerlukan perlindungan semacam ini. Kalau pengandaian lain, bahwa buruh sebenarnya bukan ancaman bagi pengusaha juga bukan musuh. Atau juga dalam hitung-hitungan bisnis, apakah justru pengeluaran fixed cost kepada beking justru jauh lebih besar dibandingkan upah buruh yang menuntut upah terendah? 

Atau dijabarkan dalam bentuk lain, apakah pengurusan izin dan lain-lain yang menyebabkan pengusaha mencekik pendapatan buruh—karena tak berani menolak gaji beking pemberi izin? Pertanyaan-pertanyaan mendasar ini pun sebenarnya bisa dibuka oleh pengusaha, untuk dipahami pemerintah, untuk diterjemahkan dalam menentukan upah. 

Selama tidak ada rumusan bersama dalam hal yang sama, selama tidak saling terbuka, rasa-rasanya peristiwa buruh kuali masih akan terus terulang, dalam berbagai variasinya. Dan jalur pendek dengan beking masih akan berlangsung nyaring, meskipun tidak diakui keberadaannya. Dan demikian jalan perbaikan nasib buruh makin terasa jauh, yang harus dilalui dengan kaki dan hati melepuh, karena pengusaha dan pemerintah sendiri masih keruh. Duuuh, kasihan nian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar