|
KORAN SINDO, 11 Mei 2013
Belum lama ini berita yang cukup
mengejutkan datang dari Warakas, Jakarta Utara. Lurah Warakas Mulyadi
menyampaikan secara terbuka ke media massa bahwa dia akan menggugat pelaksanaan
kebijakan lelang jabatan di Provinsi DKI Jakarta ke Mahkamah Agung.
Mulyadi mengatakan bahwa dia sudah berkonsultasi dengan Yusril Ihza Mahendra perihal gugatannya (Kompas.com, 30/4). Polemik pun sempat memuncak walaupun belakangan akhirnya Mulyadi melunak dan bahkan mengaku aksinya itu salah. Dia bahkan beralasan saat itu sedang sakit sehingga emosinya tidak seperti biasa. Pada saat Mulyadi menyatakan hal itu, tahapan lelang jabatan sedang berjalan di tahap uji kompetensi bidang.
Sejalan dengan ucapannya yang menolak pelaksanaan lelang jabatan, Mulyadi bersama 79 orang birokrat lainnya dari mulai lurah, camat, sekretaris lurah (sekkel), wakil lurah, sekretaris kota (sekkot) kompak tidak hadir saat pelaksanaan ujian. Materi gugatan Mulyadi menyoal proses lelang jabatan yang ditengarainya melanggar Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
Teknoratis vs Populis
Dalam khazanah kebijakan publik, kebijakan yang didasarkan pada ilmu atau sering disebut kebijakan teknokratis sering dipertentangkan dengan kebijakan yang populis (Bangura, 2004). Misalnya, ketika pemerintah ingin menerapkan konversi minyak tanah ke gas beberapa tahun lalu karena pertimbangan minyak bumi suatu saat akan habis, penolakan terjadi di mana-mana.
Masyarakat sudah terbiasa dengan minyak tanah dan sebuah perubahan yang besar ketika tiba-tiba “dipaksa” memakai teknologi kompor gas untuk keperluan sehari- hari. Fenomena resistensi birokrat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas program lelang jabatan ini dapat dilihat dari kacamata kebijakan teknoratis versus kebijakan populis di atas. Kebijakan lelang jabatan dapat dikategorikan sebagai sebuah terobosan kebijakan yang bersifat teknoratis.
Pertama, kebijakan lelang jabatan berangkat dari salah satu indikator birokrasi yang ideal menurut Max Weber, yaitu diseleksi atas dasar kualifikasi profesional atas dasar merit system (Setiyono, 2012). Seperti kita ketahui bersama, kebijakan lelang jabatan mulai diterapkan untuk melakukan seleksi dan promosi di jabatan lurah dan camat di Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi mengatakan, dengan melakukan lelang jabatan ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nantinya mampu menempatkan seorang birokrat sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing. Selain itu, lelang jabatan juga bertahap sifatnya. Dari mulai assessment, tahapan psikotes, tes kepribadian, sampai dengan wawancara.
Tujuan tahapan itu adalah agar dapat diketahui seorang birokrat lebih tepat ditempatkan di bagian administrasi atau memiliki leadership sehingga tepat untuk dijadikan pemimpin wilayah (lurah atau camat). Dengan itu, akan tercapai tujuan yang ideal yakni kesesuaian kemampuan dengan jabatan seseorang. Kedua, lelang jabatan memiliki kelebihan karena sifatnya yang terbuka.
Sistem rekrutmen dan promosi birokrasi berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan bentuk dan penyelenggaraan negara. Jika dulu bentuk negara-negara di dunia pada umumnya masih berbentuk tradisional-patrimonial (kerajaan, kekaisaran), rekrutmen dan promosi birokrasi menggunakan pola yang berdasarkan “hubungan personal” (personal links) dengan penguasa, maka di era sekarang ini pola itu sudah layak berubah karena tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.
Pola yang compatible dengan bentuk negara yang republik dan demokratis adalah pola yang berdasarkan seleksi terbuka berdasarkan kemampuan (merit system). Dan lelang jabatan masuk dalam kategori merit-based itu. Di sisi lain, gugatan yang dilayangkan sejumlah birokrat itu dapat dibaca dari kacamata ketidakpopuleran kebijakan lelang jabatan di mata mereka.
Untuk para abdi masyarakat itu, sebagai pihak yang diatur oleh kebijakan lelang jabatan, prosedur baru itu tidak populer karena di atas kertas akan meruntuhkan bangunan budaya birokrasi yang sudah terbangun selama ini di internal mereka. Di samping itu, bagi mereka yang tidak kompeten, tidak melek teknologi, tidak berintegritas, metode promosi jabatan itu akan mematikan karier mereka.
Resistensi
Bila aturan main seleksi dan promosi jabatan termasuk telah termasuk ke dalam kebijakan yang teknokratis, pertanyaannya kemudian mengapa ada birokrat yang melakukan gugatan terhadap lelang jabatan? Jawabannya, pertama, persis ucapan mantan Presiden AS Richard Nixon, “Any change is resisted because bureaucrats have a vested interest in the chaos in which they exist.
” Penolakan yang dilakukan oleh para birokrat di Provinsi DKI Jakarta disebabkan terdapat kepentingan tersembunyi mereka. Setidaknya, kepentingan tersembunyi yang dimaksud bertalian dengan masa depan karier mereka. Nature dari mekanisme lelang jabatan yang terbuka, ujiannyayangmemilikibanyaktahapan, dan sangat menuntut mereka untuk memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi sangat mungkin mengganggu karier mereka bagi mereka yang tidak siap.
Ditambah lagi, seorang birokrat yang dulunya memegang jabatan camat atau lurah namun tidak cakap dan tidak menguasai lapangan kemungkinan besar akan sulit untuk bisa tetap menjabatkembali. Belumlagi dengan model tes yang menggunakan teknologi (paling tidak tes memakai komputer), kalau ada birokrat yang tidak melek dan atau terlatih dengan perangkat tersebut, jelas akan kewalahan. Kedua, resistensi terhadap kebijakanlelangjabatanmenunjukkan masih eksisnya cara pandang dan perilaku birokrat yang masih berbudaya politik lama.
Rabindra Shakya (2009) menyebutkan bahwa kegagalan reformasi birokrasi disebabkan salah satunya karena permasalahannya mindsetdan perilaku birokrasi belum berubah secara signifikan. Jokowi menegaskan bahwa lelang jabatan adalah reformasi birokrasi yang sebenarnya.
Penulis sependapat dengan Jokowi karena hakikat dan substansi lelang jabatan menyentuh sejumlah aspek area dari reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan oleh Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yakni tata laksana, SDM aparatur, akuntabilitas, dan mindset sertacultural set aparatur.
Tata laksana di dalam hal ini adalah lelang jabatan mendukung terbentuknya sistem, proses, dan prosedur yang jelas, efektif, efisien, dan terukur dalam proses promosi jabatan birokrasi. SDM aparatur maksudnya bahwa lelang jabatan diproyeksikan akan menghasilkan produk SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera.
Akuntabilitas di dalam hal ini yakni dikarenakan mekanisme yang ketat dan terbuka, maka mekanisme lelang jabatan dapat membantu terwujudnya peningkatan kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi. Terakhir, mindset dan cultural set aparatur artinya bahwa perubahan metode promosi karier ini diyakini dapat memaksa semua birokrat untuk memiliki integritas dan kinerja yang tinggi jika ingin kariernya mencorong. ●
Mulyadi mengatakan bahwa dia sudah berkonsultasi dengan Yusril Ihza Mahendra perihal gugatannya (Kompas.com, 30/4). Polemik pun sempat memuncak walaupun belakangan akhirnya Mulyadi melunak dan bahkan mengaku aksinya itu salah. Dia bahkan beralasan saat itu sedang sakit sehingga emosinya tidak seperti biasa. Pada saat Mulyadi menyatakan hal itu, tahapan lelang jabatan sedang berjalan di tahap uji kompetensi bidang.
Sejalan dengan ucapannya yang menolak pelaksanaan lelang jabatan, Mulyadi bersama 79 orang birokrat lainnya dari mulai lurah, camat, sekretaris lurah (sekkel), wakil lurah, sekretaris kota (sekkot) kompak tidak hadir saat pelaksanaan ujian. Materi gugatan Mulyadi menyoal proses lelang jabatan yang ditengarainya melanggar Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri).
Teknoratis vs Populis
Dalam khazanah kebijakan publik, kebijakan yang didasarkan pada ilmu atau sering disebut kebijakan teknokratis sering dipertentangkan dengan kebijakan yang populis (Bangura, 2004). Misalnya, ketika pemerintah ingin menerapkan konversi minyak tanah ke gas beberapa tahun lalu karena pertimbangan minyak bumi suatu saat akan habis, penolakan terjadi di mana-mana.
Masyarakat sudah terbiasa dengan minyak tanah dan sebuah perubahan yang besar ketika tiba-tiba “dipaksa” memakai teknologi kompor gas untuk keperluan sehari- hari. Fenomena resistensi birokrat di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta atas program lelang jabatan ini dapat dilihat dari kacamata kebijakan teknoratis versus kebijakan populis di atas. Kebijakan lelang jabatan dapat dikategorikan sebagai sebuah terobosan kebijakan yang bersifat teknoratis.
Pertama, kebijakan lelang jabatan berangkat dari salah satu indikator birokrasi yang ideal menurut Max Weber, yaitu diseleksi atas dasar kualifikasi profesional atas dasar merit system (Setiyono, 2012). Seperti kita ketahui bersama, kebijakan lelang jabatan mulai diterapkan untuk melakukan seleksi dan promosi di jabatan lurah dan camat di Jakarta.
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi mengatakan, dengan melakukan lelang jabatan ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta nantinya mampu menempatkan seorang birokrat sesuai dengan kemampuan dan keahliannya masing-masing. Selain itu, lelang jabatan juga bertahap sifatnya. Dari mulai assessment, tahapan psikotes, tes kepribadian, sampai dengan wawancara.
Tujuan tahapan itu adalah agar dapat diketahui seorang birokrat lebih tepat ditempatkan di bagian administrasi atau memiliki leadership sehingga tepat untuk dijadikan pemimpin wilayah (lurah atau camat). Dengan itu, akan tercapai tujuan yang ideal yakni kesesuaian kemampuan dengan jabatan seseorang. Kedua, lelang jabatan memiliki kelebihan karena sifatnya yang terbuka.
Sistem rekrutmen dan promosi birokrasi berubah dari waktu ke waktu mengikuti perkembangan bentuk dan penyelenggaraan negara. Jika dulu bentuk negara-negara di dunia pada umumnya masih berbentuk tradisional-patrimonial (kerajaan, kekaisaran), rekrutmen dan promosi birokrasi menggunakan pola yang berdasarkan “hubungan personal” (personal links) dengan penguasa, maka di era sekarang ini pola itu sudah layak berubah karena tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini.
Pola yang compatible dengan bentuk negara yang republik dan demokratis adalah pola yang berdasarkan seleksi terbuka berdasarkan kemampuan (merit system). Dan lelang jabatan masuk dalam kategori merit-based itu. Di sisi lain, gugatan yang dilayangkan sejumlah birokrat itu dapat dibaca dari kacamata ketidakpopuleran kebijakan lelang jabatan di mata mereka.
Untuk para abdi masyarakat itu, sebagai pihak yang diatur oleh kebijakan lelang jabatan, prosedur baru itu tidak populer karena di atas kertas akan meruntuhkan bangunan budaya birokrasi yang sudah terbangun selama ini di internal mereka. Di samping itu, bagi mereka yang tidak kompeten, tidak melek teknologi, tidak berintegritas, metode promosi jabatan itu akan mematikan karier mereka.
Resistensi
Bila aturan main seleksi dan promosi jabatan termasuk telah termasuk ke dalam kebijakan yang teknokratis, pertanyaannya kemudian mengapa ada birokrat yang melakukan gugatan terhadap lelang jabatan? Jawabannya, pertama, persis ucapan mantan Presiden AS Richard Nixon, “Any change is resisted because bureaucrats have a vested interest in the chaos in which they exist.
” Penolakan yang dilakukan oleh para birokrat di Provinsi DKI Jakarta disebabkan terdapat kepentingan tersembunyi mereka. Setidaknya, kepentingan tersembunyi yang dimaksud bertalian dengan masa depan karier mereka. Nature dari mekanisme lelang jabatan yang terbuka, ujiannyayangmemilikibanyaktahapan, dan sangat menuntut mereka untuk memiliki kapabilitas dan integritas yang tinggi sangat mungkin mengganggu karier mereka bagi mereka yang tidak siap.
Ditambah lagi, seorang birokrat yang dulunya memegang jabatan camat atau lurah namun tidak cakap dan tidak menguasai lapangan kemungkinan besar akan sulit untuk bisa tetap menjabatkembali. Belumlagi dengan model tes yang menggunakan teknologi (paling tidak tes memakai komputer), kalau ada birokrat yang tidak melek dan atau terlatih dengan perangkat tersebut, jelas akan kewalahan. Kedua, resistensi terhadap kebijakanlelangjabatanmenunjukkan masih eksisnya cara pandang dan perilaku birokrat yang masih berbudaya politik lama.
Rabindra Shakya (2009) menyebutkan bahwa kegagalan reformasi birokrasi disebabkan salah satunya karena permasalahannya mindsetdan perilaku birokrasi belum berubah secara signifikan. Jokowi menegaskan bahwa lelang jabatan adalah reformasi birokrasi yang sebenarnya.
Penulis sependapat dengan Jokowi karena hakikat dan substansi lelang jabatan menyentuh sejumlah aspek area dari reformasi birokrasi yang sudah dicanangkan oleh Kementerian Pendayagunaan dan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, yakni tata laksana, SDM aparatur, akuntabilitas, dan mindset sertacultural set aparatur.
Tata laksana di dalam hal ini adalah lelang jabatan mendukung terbentuknya sistem, proses, dan prosedur yang jelas, efektif, efisien, dan terukur dalam proses promosi jabatan birokrasi. SDM aparatur maksudnya bahwa lelang jabatan diproyeksikan akan menghasilkan produk SDM aparatur yang berintegritas, netral, kompeten, capable, profesional, berkinerja tinggi, dan sejahtera.
Akuntabilitas di dalam hal ini yakni dikarenakan mekanisme yang ketat dan terbuka, maka mekanisme lelang jabatan dapat membantu terwujudnya peningkatan kapasitas dan kapabilitas kinerja birokrasi. Terakhir, mindset dan cultural set aparatur artinya bahwa perubahan metode promosi karier ini diyakini dapat memaksa semua birokrat untuk memiliki integritas dan kinerja yang tinggi jika ingin kariernya mencorong. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar